Ivan Lanin, seseorang yang dikenal publik sebagai orang yang ulet mengkampanyekan bahasa Indonesia baik dan benar, mengeluh di akun Twitternya, ‘pemaknaan kata tidak perlu dicari dalam kamus. Cukup tanyakan kepada politikus’. Saya kira, keluhan Ivan Lanin setelah Presiden Jokowi membedakan istilah mudik dan pulang kampung ini adalah keluhan yang sia-sia, keluhan yang tidak perlu. Gerak pengetahuan yang membentuk makna kata memang selalu hasil konstruksi kekuasaan.
Benar kata saya, kan? https://t.co/dg1UQC3a8x
— Ivan Lanin (@ivanlanin) April 22, 2020
Bukankah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sebagai penghasil kamus yang absah adalah sebuah bentuk kekuasaan? Mengapa mesti kesal dan mengeluh menyaksikan kekuasaan yang lebih tinggi mengoreksi kekuasaan lebih rendah dalam hal pemaknaan kata mudik? Itulah sebab saya mengatakan keluhan Ivan Lanin adalah sebuah kesia-siaan.
Antara Mudik dan Pulang Kampung
Bila itu dirasa sebagai ketidakadilan, maka seperti yang pernah dikatakan Patrik, si bintang laut di serial Spongebob, “Hidup ini memang tidak adil, jadi biasakanlah” bisa menjadi saran yang perlu dipikirkan. Biasakanlah bahwa batas keberadaban kita sebagai bangsa masih terbatas pada bangsa yang masih membiarkan seseorang mati kelaparan karena hanya minum air selama dua hari.
Masa krisis, seperti krisis COVID-19 ini hanya memperjelas ketimpangan yang ada di negeri ini, termasuk ketimpangan relasi pengetahuan dan kekuasaan. Ketimpangan yang awalnya laten, kini benderang menyilaukan mata sehingga kita mulai mengeluh.
Pengetahuan hanyalah sebuah ruang tempat subjek membentuk dunia seperti apa yang mesti diyakini oleh orang lain. Tentu subjek di sini adalah subjek berkekuasaan karena hanya kekuasaan yang mampu mengerahkan sumber daya administrasi, senjata, dan uang untuk mewujudkan pengetahuan tersebut menjadi kebenaran.
Berabad lalu Immanuel Kant memberikan pengertian baru mengenai pengertian. Pengertian yang semula diyakini terbentuk secara alami bahkan adikodrati, disebut Kant sebagai hanya merupakan hasil konstruksi. Bila hasil konstruksi, subjek dapat mengomposisi pengertian atau pengetahuan seturut kepentingan atau kehendaknya.
Maka bila kekuasaan menghendaki pembedaan antara mudik dan pulang kampung, sangat niscaya itu menjadi kebenaran karena pembedaan itu mewujud dalam administrasi yang dijalankan oleh aparatur negara dan bersanksi hukum. Bila pun kebenaran yang disodorkan teramat menyimpang dari nalar publik, bisa saja kekuasaan mengatakan bahwa itu adalah kebenaran atau fakta alternatif seperti dicontohkan Presiden Donald Trump dan melabeli pengetahuan yang beredar di publik sebagai hoaks.
Ilmu Pengetahuan Ikut Kekuasaan
Buku Belenggu Ilmuwan dan Ilmu Pengetahuan karya Andrew Goss pun sudah menyajikan cerita sejarah relasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan di Indonesia dari zaman Hindia Belanda sampai Orde Baru yang tidak berubah. Ilmu pengetahuan bergerak seturut telunjuk kekuasaan mengarahkan.
Maka mengherankan bila Ivan Lanin masih mengeluh, seharusnya kita sudah terbiasa dan sudah banal terhadap ketidakmasukakalan yang sudah punya sejarah panjang ini. Kalau kita menjadi masuk akal justru itu yang tidak masuk akal.
Menurut idealnya bahwa negara demokratis itu mengandaikan kekuasaan berjalan dengan mengikuti saran-saran ilmu pengetahuan karena dasar demokrasi mengandalkan rasionalitas manusia sebagai fondasi filosofinya. Apa lagi yang lebih rasional di dunia ini daripada selain ilmu pengetahuan? Bukankah demikian idealnya.
Oleh sebab itu, demokrasi menentang keras otoritarianisme yang dianggap melecehkan rasionalitas manusia karena menghendaki rakyatnya selalu menunduk di hadapan kekuasaan. Menghadapi kemelut mudik dan pulang kampung di masa krisis ini, ada baiknya kita memikirkan lebih dalam, lebih jujur, seperti apa bangsa ini telah berjalan?
Ilmu pengetahuan adalah bentuk pengakuan manusia akan keterbatasannya. Manusia dapat saja salah. Oleh sebab itu, kebenaran ilmu pengetahuan terletak di luar diri. Sikap paling baik seorang ilmuwan adalah menganggap hasil kerja intelektualnya ditentukan oleh gerak pengetahuan itu sendiri bukan ditentukan oleh kehendak diri. Maka tidak ada kemutlakan dalam ilmu pengetahuan.
Manusia mesti tahu diri di hadapan ilmu pengetahuan. Tahu bahwa dirinya dapat dapat saja salah dan tersesat. Secara intrinsik ilmu pengetahuan memberi ruang terhadap koreksi-koreksi. Oleh karena itu pula, ilmu pengetahuan dianggap yang paling tepat menjadi penuntun kekuasaan.
Kurir Pernyataan Alam Semesta
Dalam garis pemikiran demikian, apa yang dikatakan ilmuwan bukanlah pernyataan ilmuwan itu sendiri. Ilmuwan hanya menjadi kurir pernyataan alam semesta. Mempertimbangkan ilmu pengetahuan dalam pelaksanaan kekuasaan adalah bentuk keinsafan manusia bahwa seturut kehendak kita atau tidak, alam semesta berjalan sebagai mestinya.
Ada atau tidak kehidupan manusia di suatu kawasan yang memiliki potensi gempa bumi dan likuifaksi, potensi itu tetap ada sebagaimana adanya. Bila tanah kawasan tersebut bergerak dan membuat kehidupan manusia di atasnya lenyap, bukan gerak tanah yang membunuh manusia tersebut, tetapi kekuasaan yang mewujud dalam bentuk administrasi perizinan yang membunuhnya.
Pandangan kerja intelektual sebagai bentuk komunikasi manusia dengan fenomena, tentu pula menyertakan potensi miskomunikasi yang dapat terjadi dan menghasilkan misrepresentasi, serta menghasilkan beragam interpretasi karenanya koreksi, verifikasi, bahkan falsifikasi menjadi wajar adanya.
Menghadapi keriuhan akademik itu, kompas moral kekuasaan memilah dan memilih pernyataan alam semesta yang mampu mencegah kemudharatan dan membawa kemaslahatan atau paling sedikit mencegah kemudharatan menimpa rakyatnya.
Editor: Nabhan