Opini

Yi Man: Etos Keikhlasan dan Keberkahan dalam Tradisi Keilmuan Pesantren

5 Mins read

Mukaddimah

Dalam khazanah keilmuan di pesantren dan kebudayaan Islam, dawuh atau petuah seorang kiai seringkali mengandung kedalaman teologis, spiritual dan moral, melampaui bentuk bahasanya.

Salah satu yang paling menggetarkan ialah dawuh Kiai Abdurrahman Syamsuri — dikenal dengan panggilan Yi Man — yang berbunyi: “Pok ngaji Qur’an, rejeki teko ra klawan-klawan”. (“Hendaklah mengaji al-Qur’an, rezeki akan datang tanpa tandingan”).

Ungkapan sederhana ini menyimpan basis spiritual dan epistemologis yang kuat. Ia bukan sekadar pernyataan optimistik, melainkan ekspresi keimanan tentang keterhubungan antara ta’alluq (ketergantungan spiritual kepada Allah) dan kasb (ikhtiar manusiawi).

Di tengah arus materialisme modern yang menilai hidup dari hasil ekonomi semata, dawuh tersebut menjadi kritik moral dan tawaran alternatif: bahwa keberkahan dan rezeki sejati bersumber dari pengabdian yang ikhlas kepada al-Qur’an.

Tulisan ini mengurai makna dawuh Yi Man dalam bingkai biografis, teologis, dan sosial; menelusuri akar spiritualnya dari tradisi pesantren yang berpadu dengan etos Muhammadiyah di Paciran khususnya; serta menegaskan aktualitas pesan beliau bagi pendidikan dan kemanusiaan masa kini.

Biografi Kiai Abdurrahman Syamsuri

Kiai Abdurrahman Syamsuri lahir pada 1925, dan wafat 1997, di Lamongan. Beliau lahir dalam keluarga religius yang menempatkan al-Qur’an sebagai pusat kehidupan. Pendidikan formal dan spiritualnya berakar dari tradisi Pendidikan Pesantren.

Misalnya: Langgar Duwur (Kiai Idris), Tarbiyatut Talabah Kranji (Kiai Musthafa), Al-Amin Tunggul (Kiai Amin), Mangunsari Tulungagung (Kiai Abdul Fattah) dan Tebuireng (Kiai Hasyim Asy’ari), dan Kedunglo Kediri (Kiai Ma’roef). Di berbagai pesantren tersebut, beliau menyerap kedalaman ilmu al-Qur’an, hadits, aqidah, fiqh, akhlak, dan tasawuf.

Sekembalinya ke Paciran, Yi Man mendirikan Pesantren dinamai Ponpes Karangasem, yang fokus pada pengajaran al-Qur’an, Hadits, Ilmu Alat (Nahwu – Sarf), dan Kajian Turats. Di dunia kepesantrenan, beliau menempuh jalur pengabdian di bidang Pendidikan dengan pengaruh yang sangat luas.

Beliau menjalin interaksi intelektual dengan beragam ulama, baik dari kalangan NU ataupun Muhammadiyah setempat. Dalam interaksi tersebut, beliau menyerap semangat tajdid (pembaruan) tanpa meninggalkan tafaqquh fi al-din dalam kerangka tradisional.

Sosoknya kemudian menjadi jembatan antara dua arus besar Islam di Indonesia: tradisionalisme pesantren yang mendalam dan rasionalisme Muhammadiyah yang progresif. Kedua arus itu melebur dalam pribadinya—seorang kiai yang khusyuk, terbuka, dan berorientasi pengabdian dengan menejemen modern.

Dalam aktifitas sosial keagamaan, beliau sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Anggota Tanwir Muhammadiyah, dan Hakim Nasional MTQ Cabang MHQ 30 Juz.

Baca Juga  Viral Lalu Minta Maaf, Tradisi Barukah?

Sintesa Pesantren–Gerakan Muhammadiyah

Pesantren Karangasem yang didirikan beliau sejatinya, menurut Kiai Abdul Hakam Mubarok (salah satu putera dan penerus beliau yang biasa dipanggil Kiai Barok) dimaksudkan sebagai tempat belajar berbagai kalangan, baik dari kalangan Muhammadiyah ataupun NU. Oleh karena itu, nama awal Pesantren ini tanpa embel-embel Muhammadiyah. Tambahan penamaan Muhammadiyah dilakukan sejak kepemimpinan Kiai Barok.

Paciran merupakan ruang sosial yang khas: pesantren, madrasah, dan amal usaha Muhammadiyah hidup berdampingan dalam interaksi kultural yang dinamis. Dalam konteks sintesa Pesantren dan Gerakan Muhammadiyah, Yi Man menjadi figur sentral. Dari pesantren beliau menyerap disiplin keilmuan, kesahajaan, dan adab al-‘alim. Dari Gerakan Muhammadiyah, beliau memetik semangat rasionalitas, kebersihan akidah, dan tanggung jawab sosial.

Sintesis ini melahirkan paradigma dakwah dan pendidikan yang luwes namun substansial. Dalam halaqah-halaqah Qur’annya, Yi Man tidak sekadar mengajarkan tajwid dan qira’ah, melainkan menanamkan kesadaran eksistensial bahwa mengaji adalah jalan hidup. Beliau kerap mengajarkan nilai-nilai ilmu dan kemuliaan melalui syi’ir.

Menurut Kiai Nur Ahmad (salah seorang santri beliau yang sekarang mengasuh MBS Ki Bagus Hadikusumo Jompong Bogor), ajaran berupa syi’ir itu sangat berkesan dan mudah diingat. Berikut di antaranya: “Ngaji iku ora mung maca, nanging urip karo sing maca kowe.” (“Mengaji itu bukan sekadar membaca, tetapi hidup bersama yang dibaca”).

Dawuh lainnya disebutkan dalam buku biografi beliau: “Tarju al-najah wa lam tasluk masalikaha, Inna al-safinata la tajri ‘ala al-yabasi” (Engkau berharap jalan keselamatan, sedangkan engkau tidak pernah menempuh jalannya. Sungguh perahu tidak berlayar di tempat kering”).

Dalam konteks relasi makna dawuh-dawuh beliau, dawuh “Pok ngaji Qur’an, rejeki teko ra klawan-klawan” mengandung ragam makna: taat pada proses, spiritualitas dan sosial. Sebagai ketaatan kepada proses, logika menempuh jalan keilmuan tidak bisa instan dan tanpa proses panjang. Taat mengikuti proses berarti kesiapan menempuh jalan ilmu tanpa syarat dan keluh kesah.

Secara spiritual, dawuh beliau menegaskan bahwa al-Qur’an dan taat proses di jalan keilmuan adalah sumber keberkahan. Secara sosial, dawuh beliau menumbuhkan etos kerja dan pengabdian—bahwa siapa pun yang hidup bersama al-Qur’an serta taat proses dalam menempuh jalan keilmuan dengan ikhlas lillahi ta’ala akan diberi jalan rezeki dan kemuliaan dalam berbagai bentuk.

Baca Juga  Tantangan Sharp Power bagi Indonesia

Berkhidmah dengan al-Qur’an dan Jalan Ilmu

Konsep khidmah (pengabdian) merupakan inti ajaran Islam. Yi Man menempatkan khidmah kepada al-Qur’an dan jalan ilmu sebagai orientasi hidup. Beliau tidak pernah memandang mengajar Qur’an sebagai profesi, tetapi sebagai amanah suci.

Dalam setiap majelisnya, tidak ada tarif, tidak ada batasan waktu, dan tidak ada syarat sosial. Siapapun yang ingin belajar, diterima dengan senyum dan kesabaran. Beliau percaya bahwa setiap orang yang mengabdikan diri menjaga dan mengajarkan Qur’an, akan menjadi bagian dari penjagaan Ilahi terhadap wahyu-Nya. Selaras dengan khidmah Qur’aniyah sebagai manifestasi dari “inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun” (QS. al-Hijr [15]: 9).

Praktek berkhidmah ini sudah beliau jalani sejak masa mondok di Pesantren. Beliau ngawula kepada Kiai dan gurunya. Disebutkan misalnya ketika mondok di Tulungagung, sering membantu menimba air untuk bak mandi Kiai-nya. Yang beliau harapkan dari ngawula kepada Kiai adalah doa keberkahan dan kebermanfaatan ilmu. Keberkahan ilmu salah satu tandanya adalah kondisi disiplin dalam belajar dan menempuh jalan ilmu.

Beliau memaknai rezeki bukan sebagai income ekonomi, melainkan outcome spiritual: keberkahan hidup, keluarga yang sakinah, murid yang berbakti, dan masyarakat yang tercerahkan. Dalam pandangan beliau, siapapun yang berkhidmah kepada Qur’an akan “dibiayai langsung oleh Allah”.

Dalam kaitan ini, ada dawuh yang didengar langsung oleh Kiai Ahmad Mufti Labib (Putera beliau yang juga berkhidmah di Karangasem), yaitu: “Barangsiapa yang mewakafkan dirinya untuk ilmu, maka Allah akan menanggung kehidupannya.” Pandangan ini sejalan dengan hikmah Ibn ‘Atha’illah al-Sakandari: “Barang siapa beramal karena Allah, maka Allah cukup baginya dalam segala urusannya.”

Sosok Low Profile: Seteguh Batu Karang, Seteduh Pohon Asem

Salah satu aspek paling menonjol dari pribadi Yi Man adalah kesederhanaannya yang luar biasa. Beliau tidak pernah memamerkan kesalehan, tidak mencari popularitas, dan tidak menampilkan simbol keulamaan. Namun, di balik kesahajaannya, tersimpan keteguhan iman dan keteduhan moral yang kokoh — seteguh batu karang, seteduh pohon asem. Karakter ini menjadi judul buku biografi beliau.

Seteguh Batu Karang menggambarkan keteguhan prinsip beliau dalam menjaga kemurnian niat dan istiqamah di jalan Qur’an. Godaan dunia, tawaran jabatan, dan penghormatan sosial tidak menggoyahkan sikapnya.

Baca Juga  Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

Beliau tetap mengajar di pesantren yang didirikannya, dengan papan tulis sederhana, mushaf, dan kitab kuning, tanpa merasa kurang. Keteguhan ini menandakan istiqamah ‘ala al-haqq — komitmen terhadap kebenaran yang tidak bergantung pada keadaan.

Seteduh Pohon Asem melambangkan kelembutan dan keteduhan jiwa Yi Man. Seperti pohon besar yang menaungi siapa saja, beliau menjadi tempat bernaung bagi murid, tetangga, bahkan masyarakat yang membutuhkan nasihat.

Suaranya lembut, tutur katanya pelan, dan senyumnya hangat. Tidak sedikit orang datang hanya untuk menenangkan diri di dekatnya, tanpa bicara, cukup dengan duduk dan mendengarkan beliau melantunkan ayat.

Karakter “batu karang” dan “pohon asem” ini menyatu dalam figur Yi Man: kuat dalam prinsip, lembut dalam pelayanan. Di situlah letak otentisitasnya—keteguhan tanpa kekakuan, keteduhan tanpa kelemahan. Dalam konteks kepemimpinan spiritual, Yi Man mencontohkan bentuk al-quwwah fi al-din wa al-ra’fah fi al-insaniyyah—kekuatan dalam keyakinan dan kelembutan dalam kemanusiaan.

Dalam kaitan ini, menurut Kiai Barok, ada tiga pesan abadi penting yang kerap disampaikan beliau untuk santri-santri, yaitu: 1) Carilah tempat tinggal yang dekat dengan masjid, sehingga kalian tetap bisa menjaga shalat berjamaah dan bermasyrakat dengan baik; 2) Rutinkan membaca al-Qur’an sebagai upaya membangun wasilah untuk selalu mengingat Allah; dan 3) Rutinkan shalat Tahajjud sebagai wasilah taqarrub ilallah dan meminta solusi masalah secara langsung dari Allah.  

Akhirul Kalam

Dawuh Yi Man bukan sekadar ekspresi lokal, tetapi manifesto teologis tentang hubungan antara ilmu, ikhlas, dan keberkahan. Ia menolak logika pragmatisme absolut yang menakar nilai ilmu dari besaran materi. Dalam pandangannya, al-Qur’an adalah sumber energi spiritual yang melahirkan rizq ma’nawi (kecukupan batin) dan rizq hissi (kebutuhan lahiriah).

Sosok Yi Man membuktikan bahwa keagungan tidak harus tampil mencolok. Keteguhan dan keteduhannya menjadi inspirasi bagi generasi pengabdi al-Qur’an hari ini, terutama bagi para pendidik yang kerap terhimpit oleh beban administratif dan pragmatisme pendidikan.

Di tengah zaman yang serba instan, dawuh Yi Man adalah panggilan untuk kembali pada etos barakah: bahwa siapa pun yang hidup bersama al-Qur’an dengan keikhlasan, akan memperoleh rezeki yang melimpah dalam bentuk yang paling tinggi—ketenangan, kemuliaan, dan kebermaknaan hidup.

Editor: Soleh

Avatar
20 posts

About author
Ketua STIQSI Lamongan; Sekretaris PDM Lamongan; Ketua Divisi Kaderisasi & Publikasi MTT PWM Jawa Timur
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *