Orientasi dan tujuan hidup manusia seringkali dipengaruhi oleh trend kekinian. Hal ini terjadi pada semua generasi, termasuk Gen Z. Selama ini Gen Z sudah terkenal menjadi manusia yang suka hepi, healing dan nongki-nongki. Apapun keadaan dan kondisinya, yang penting bisa bahagia. Motto hidupnya jelas, hidup hanya sekali mutlak untuk dinikmati.
Dalam bahasa saat ini, itulah yang disebut dengan YOLO atau You Only Live Once. Konotasi YOLO ini yang sering membuat saya risih. Betul hidup cuman mampir ngguyu, tapi kalau bisa sekalian madhang juga boleh. Tapi makna YOLO lebih ke arah negatif, sangat identik dengan pragmatisme dan hedonisme.
Fenomena YOLO mulai beralih ke YONO, tentu bukan komika yang juara SUCI itu. YONO sendiri merupakan akronim dari You Only Need One atau yang kamu butuhkan cuman satu. Narasi ingin menunjukkan bahwa ada sesuai yang harus dituju dan ada sesuatu yang harus dicapai. Berarti hidup tidak hanya sekedar hidup. Ini persis dengan kata tokoh yang saya kagumi itu, Buya Hamka namanya. Dia sering menyebut “Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.”
Tren YONO di Korea
Fenomena YONO mulai muncul di Korea, tentu bukan Korea Utara. Anak muda Korea mulai menyadari bahwa mereka butuh tujuan yang jelas. Anak Korea yang biasanya suka jajan atau nongkrong, mereka mulai memilih mana yang nongkrong yang benar-benar positif dan mana yang negatif. Pemilihan ini mulai menyadarkan mereka bahwa hidup butuh berhemat. Kalau kata Kak Ros dalam serial Ipin dan Upin, butuh berjimat.
Fenomena ini juga terjadi karena inflasi yang tinggi di Korea. Anak-anak muda merasakan bahwa tingkat pertumbuhan pendapatan sangat rendah. Sedangkan kecenderungan harga barang semakin tinggi, kebutuhan mereka juga semakin tidak terkontrol. Ini menarik, karena kesadaran hidup hemat sudah ada diajarkan sejak zaman nenek moyang kita.
Fenomena kehidupan modern Korea menunjukkan tidak selalu relate dengan Gen-Z. Pertunjukan fashion kekinian artis Korea sebagai sebuah model dapat diterima. Hanya saja Gen-Z sadar bahwa terkadang itu hanya ingin menunjukkan di media sosial, bukan benar-benar kebutuhan.
Fokus utama YONO terletak pada pemilihan apa yang penting dan apa yang tidak penting. Hidup harus memilih, harus pandai memilah mana keinginan dan mana kebutuhan. Dua hal yang bukan hanya Gen Z, kaum Millenials seperti saya juga masih sering bingung.
YONO di Indonesia
Fenomena YONO di Indonesia masih dalam tataran trend saja, belum sampai pada aksi nyata. Padahal jika melihat faktor YONO di Korea sebenarnya masih memiliki korelasi dengan Indonesia. Gen-Z di Indonesia dan Korea hari ini dihadapkan pada faktanya sulitnya untuk memiliki rumah. Ini diakibatkan oleh inflasi yang semakin meningkat. Harga rumah meroket sedangkan peningkatan gaji sulit didapatkan.
Gen Z di Indonesia juga sangat menggandrungi berbagai produk fashion Korea. Konser atau hanya sekedar fan sign, hingga fan meeting begitu digandrungi. Seringkali yang terjadi, kebutuhan untuk ikut dalam pertunjukkan tersebut bukan datang dari diri sendiri, melainkan karena ramai dan riuhnya media sosial yang membicarakan tentang idola yang akan datang.
YONO seharusnya mulai dijadikan sebagai alasan untuk tetap melanjutkan kehidupan positif. Gen-Z diharapkan mulai menyadari bahwa hidup ini akan selalu memilih. Pilihan itu seharusnya muncul dari diri sendiri, bukan karena faktor teman atau lagi karena FOMO (Fear of Missing Out). Sebab jika diruntut lebih jauh, orang yang menyadari siapa dirinya sesungguhnya akan sampai memahami akan kebutuhannya diri sendiri.
Perjuangan Mimpi Gen Z
Jika dirunut ke belakang, YONO bisa menjadi jawaban terhadap permasalahan Gen Z. Gen Z sering lupa yang mana mimpi semu dan yang mana mimpi nyata. Mimpi semu itu adalah ingin menjadi orang lain, terutama mereka yang di media, yang terlihat wah padahal faktanya nggak. Sedangkan mimpi nyata adalah ekspektasi terhadap aku ingin menjadi apa? yang disertai dengan usaha atau dalam konteks ini disebut masalah daya juang.
Daya juang tersebut terpatri kuat di dalam pikiran dan tindakan. Hal ini yang sering luput dari penglihatan Gen Z. Dalam bahasa sederhana ini yang disebut hilang fokus. Pada kondisi tertentu hilang fokus merupakan hal yang wajar. Tapi jika selalu kehilangan fokus itu yang tidak wajar.
Gen Z harus menyadari bahwa mimpi harus diperjuangkan. Saya termasuk orang yang masih yakin “no pain, no gain“. Kalau anda ingin mencapai mimpi yang instan itu tidak mungkin. Contoh sederhana, semakin tinggi sebuah bangunan yang ingin dibuat, maka pondasinya harus semakin kuat. Jika ingin mimpi tercapai, siap-siaplah untuk berkorban dengan mimpi itu. Kata Socrates “hidup yang tidak direfleksikan tidak layak untuk lanjutkan“.
Editor: Assalimi