IBTimes.ID – Yudi Latief menyebut bahwa alih-alih bicara tentang surga neraka, umat Islam justru harus menciptakan surga di dunia.
Kita harus memikirkan surga di dunia here and now. Karena konteks sosial kita sudah sangat berubah,” ujarnya.
Menurutnya, ayat-ayat Makkiyah banyak bicara tentang kehidupan pasca kematian karena masyarakat Arab jahiliyah tidak percaya dengan hal tersebut. Masyarakat Arab jahiliyah menyembah banyak patung untuk mencari keuntungan duniawi, bukan ukhrawi. Sehingga, penekanan tentang kehidupan afterlife dalam berbagai pengajian cocok untuk masyarakat jahiliyah.
Dalam konteks Indonesia di era modern ini, masyarakat justru perlu menghadirkan perbaikan kehidupan di dunia. Masyarakat perlu menghadirkan surga dalam kehidupan saat ini.
Menurutnya, penekanan umat Islam di Indonesia terhadap kehidupan akhirat secara berlebihan disebabkan oleh pemahaman terhadap teks Alquran. Sementara itu, pemahaman terhadap kitab suci menjadi salah satu penyebab eksklusivisme keagamaan.
Eksklusivisme Keagamaan
Yudi Latief menyebut bahwa eksklusivisme keagamaan dipengaruhi oleh cara seseorang memahami teks-teks kitab suci. Cara orang memahami kitab suci berbeda-beda, karena kitab suci tidak pernah bicara sendiri. Teks kitab suci hanya bisa disuarakan oleh pikiran orang-orang.
Maka, di dalam filsafat ada pepatah “semakin tinggi mutu subjektifitas suatu subjek, makin kaya objektifitas suatu objek”. Artinya, kekayaan teks kitab suci tergantung pada kekayaan pikiran manusia. Semakin kaya pikiran manusia yang menafsirkan kitab suci, kitab suci itu semakin objektif.
“Orang yang tidak paham tentang hakikat jenis-jenis batu akik, dia tidak akan tau berapa harganya batu tersebut,” ujarnya dalam Kajian Titik Temu yang diadakan oleh Nurcholish Madjid Society.
Mutu penafsir menentukan kualitas teks itu sendiri. Bagi yang tidak memiliki kekayaan wawasan yang jauh akan menafsirkan teks dengan dangkal.
Cara kita memahami agama, imbuh Yudi, juga sangat tergantung pada kebudayaan kita. Setiap konteks sosial memiliki cara sendiri untuk menafsirkan dan mengamalkan sebuah agama. Contohnya, sistem kasta di India yang sangat segregatif tidak ditafsirkan dengan begitu segregatif ketika ia dibawa ke Bali. Di Bali, kasta hanya sekedar pembelahan fungsional.
Sistem kasta di India bukan semata-mata produk Weda. Itu merupakan produk sosio kultural. Konteks sosial budaya memiliki pengaruh terhadap cara kita menafsirkan agama.
“Kenapa sekarang orang Islam terlalu menekankan aspek afterlife? Kehidupan semata-mata diukur dari dosa dan pahala saja. Bicara surga neraka. Dulu, dalam konteks Arab, itu cocok. Mereka memang memuja patung-patung. Tapi, mereka memuja patung tidak untuk afterlife, tapi untuk kekayaan di dunia. Orang Arab tidak percara kehidupan pasca kematian,” ujarnya.
Maka, ayat-ayat Makkiyah sangat menekankan tentang kehidupan afterlife. Karena saat itu orang-orang Arab jahiliyah tidak punya perspektif bahwa ada kehidupan setelah kematian.
Reporter: RH