Oleh: M Husnaini
Dalam waktu yang tidak berselang lama, Muhammadiyah kehilangan dua tokohnya. Pada Kamis, 21 November 2019, Bahtiar Effendy meninggal dunia di RSIJ Cempaka Putih. Menyusul Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, Yunahar Ilyas juga menghadap Sang Pencipta pada Kamis, 2 Januari 2020 di RS Sarjito Yogyakarta, setelah sekitar satu bulan koma.
Untuk mengenang kedua tokohnya, beberapa intelektual dan aktivis Muhammadiyah kemudian menulis artikel untuk dikumpulkan menjadi sebuah buku. Tentang Bahtiar Effendy, telah terbit dengan judul Mengenang Sang Guru Politik dan diluncurkan di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin, 10 Februari 2020. Yang sekarang di tangan pembaca adalah buku berisi kumpulan tulisan untuk mengenang kepergian Yunahar Ilyas atau biasa dipanggil Buya Yunahar.
Islam itu Mudah
Buya Yunahar adalah guru kita semua. Kendati tidak menjadi mahasiswa beliau secara langsung di kelas, saya merasa banyak mengasup ilmu dari Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut. Buya Yunahar juga ulama yang enak dalam penyampaian, baik lisan maupun tulisan. Pilihan bahasa beliau mudah dipahami. Dalam beberapa ceramah, Buya Yunahar sering atau biasa menjelaskan suatu peristiwa, seperti riwayat hidup ulama, secara panjang tetapi runtut.
Persoalan yang rumit menjadi mudah ketika disampaikan oleh Buya Yunahar. Sebagai tokoh besar, pendapat-pendapat beliau juga tidak kontroversial. Jika ada yang menyangka Buya Yunahar itu keras dan kaku, barangkali dia belum mengenal dan apalagi mendalami pemikiran-pemikiran beliau. Sepengetahuan saya, Buya Yunahar sangat moderat dan tidak kaku dalam berpendapat.
Di tengah pertarungan pendapat sebagaimana lazim terjadi di era media sosial, Buya Yunahar justru mengembangkan, bahkan dapat dibilang, menjaga wasatiyyah Islam. Wasatiyyah, menurut M Quraish Shihab dalam buku Wasathiyyah adalah keseimbangan dalam segala persoalan hidup duniawi dan ukhrawi, yang selalu harus disertai upaya menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi berdasarkan petunjuk agama dan kondisi objektif yang sedang dialami. Lawan dari wasatiyyah adalah tatharruf atau ghuluw, yang biasa dipersamakan dengan ekstremisme.
Wasatiyyah, kata penulis Tafsir Al-Mishbah itu, tidak sekadar menghidangkan dua kutub lalu memilih apa yang di tengahnya. Wasatiyyah juga bukan sikap menghindar atau lari dari situasi sulit, karena Islam sejatinya mengajarkan keperpihakan pada kebenaran secara aktif namun harus dengan penuh hikmah.
Wasatiyyah yang menjadi ciri ajaran Islam, dan ini tampaknya dipegangi Buya Yunahar. Ialah keseimbangan antara ruh dan jasad, dunia dan akhirat, agama dan negara, individu dan masyarakat, ide dan realitas, yang lama dan yang baru, naqal dan akal, agama dan ilmu, modernitas dan tradisi, dan seterusnya.
***
Silakan klik dan simak ceramah-ceramah Buya Yunahar yang berserak di YouTube. Buya Yunahar sangat menekankan dakwah yang menggembirakan. Beliau tidak setuju dengan cara penyampaian ajaran Islam yang melulu menggunakan pendekatan hukum dan main vonis.
Yang sering Buya Yunahar kutip adalah riwayat Muadz bin Jabal ketika diutus Rasulullah berdakwah ke Yaman. Pesan Rasulullah, “Gembirakan, jangan kau bikin orang kabur. Mudahkan, jangan kau bikin orang susah.”
Buya Yunahar lantas menjelaskan perbedaan antara pendekatan hukum dan pendekatan dakwah. Berdakwah berbeda dengan menjadi hakim. Kalau ada orang yang belum shalat, Buya Yunahar mencontohkan, tetapi dia berpuasa Ramadhan, jangan langsung divonis salah.
Sebab, hubungan dia dengan Islam akan putus sama sekali. Jika mengikuti pendekatan dakwah, sebaiknya biarkan dulu dia berpuasa. Begitu sudah berpuasa dan lihat orang berbuka puasa di masjid, dia akan ikut. Setelah berbuka puasa kemudian lihat orang shalat magrib, dia coba-coba ikut shalat. Lama-lama dia akan berpuasa dan juga mengerjakan shalat.
“Kalau perlu, apabila ada yang mengerjakan rukun Islam dengan membaca kalimat syahadat kemudian langsung nomor dua adalah haji, tidak apa-apa,” tegas Buya Yunahar. Yang demikian itu proses keberislaman seseorang. Mudah-mudahan tidak lama dia akan mengerjakan rukun Islam secara paripurna. Jika setiap proses segera divonis dengan salah dan sesat, para pengamal ajaran Islam pemula itu akan kabur dan enggan lagi dekat-dekat masjid atau majelis taklim.
Kalau dulu ulama-ulama datang dari Hadramaut dan Gujarat ke Indonesia untuk mengislamkan orang kafir di Indonesia, jangan sampai sekarang justru muncul ustadz-ustadz yang mengafirkan orang Islam.
Sedikit-sedikit bidah, munafik, dan kafir. Mengutip Buya Hamka, Buya Yunahar berkelakar dalam ceramah yang lain, “Berislam itu sesungguhnya mudah. Yang bikin susah itu para ustad.” Mendengar itu, terdengar suara tawa hadirin.