Di bulan Ramadan, ada dua kewajiban yang sepaket yaitu puasa dan zakat. Keduanya bisa dilaksanakan jika yang akan melaksanakannya istitha’ah (mampu secara fisik dan mental). Sekalipun keduanya adalah Rukun Islam namun dikecualikan jika sedang sakit, dalam perjalanan jauh, dan tentunya tidak cukup materi atau kebutuhan untuk mengeluarkan zakat.
Memaknai Kembali QS at-Taubah Ayat 60
Agama Islam memiliki tuntunan yang lengkap atau Standard Operating Procedure (SOP) dalam pelaksanaan suatu ibadah, baik ibadah Mahdah maupun Ghairu Mahdah. Tak terkecuali tuntunan terkait pelaksanaan zakat wa bil khusus zakat fitrah. Selain ukurannya (nishab), haulnya (masa setahun) juga para penerima zakat (mustahik).
Berdasarkan QS at-Taubah ayat 60 ada 8 kriteria yang wajib menjadi penerima zakat.
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat itu untuk orang fakir, miskin, amil zakat, muallaf, hamba sahaya, orang-orang terjerat utang, berjuang di jalan Allah dan ibnu sabil sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Namun yang perlu ditinjau kembali adalah pemaknaan dari 8 term (asnaf zakat) yang disebutkan dalam al-Qur’an. Karena jika kita hanya berpaku pada term sesuai teks, maka al-Qur’an tidak akan meng-cover berbagai permasalahan sosial yang terjadi saat ini dan mereka juga wajib dizakati.
Delapan golongan ini tidak bisa dikurangi menjadi tujuh atau lima saja dan tidak bisa ditambah menjadi sepuluh. Yang bisa ‘diubah’ hanya pada pemaknaan atau tafsirnya sesuai realitas dewasa ini.
Di samping itu, ada juga mustahik yang sepertinya dalam satu tempat sudah tidak ada. Dan ini perlu ditinjau kembali. Dalam konteks Indonesia saat ini, kemiskinan dan pengangguran adalah permasalahan yang cukup rumit. Dan ditambah lagi banyaknya buruh yang di PHK karena perusahaan pailit.
Informasi dari data Badan Pusat Statistik (BPS) periode Agustus 2024 menyebutkan ada 7,74 juta warga yang menjadi pengangguran. Kemudian kemiskinan ada diangka 24,06 juta orang.
Korban PHK Termasuk Mustahik?
Korban PHK adalah mereka yang sudah tidak punya pekerjaan, baik itu untuk memenuhi kebutuhan pribadi lebih-lebih untuk kebutuhan keluarga.
Data dari Kementrian Ketenagakerjaan periode Desember 2024 menunjukkan ada kurang lebih 80.000 buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Dan diawal tahun ini kita menyaksikan gelombang PHK yang terjadi pada perusahaan Tekstil terbesar di Indonesia yaitu PT Sritex. Tangis haru bercampur kecewa mengiringi pemberhentian kerja ribuan buruh yang sudah puluhan tahun bekerja.
Hal yang paling mengkhawatirkan bagi mereka yang sudah tidak bekerja adalah bisa saja terjerumus ke dalam fase kemiskinan ataupun terjerat utang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi saat ini harga kebutuhan pokok semakin meroket. Ditambah lagi banyak buruh korban PHK yang tidak memiliki jaminan BPJS, jaminan Hari Tua atau pun pesangon.
Jika dimaknai kembali Qs at-Taubah ayat 60 di atas korban PHK memiliki hubungan ‘maknawi’ dengan term وَالْمَسَاكِينِ (miskin) dan وَالْغَارِمِينَ (orang-orang yang berutang).
Sebagaimana dalam Tafsir Kementrian Agama RI, jika kata miskin diartikan sebagai orang yang punya pekerjaan tapi tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak lalu bagaimana dengan korban PHK yang sudah jelas workless? Dan tidak ada jaminan untuk mendapatkan pekerjaan kembali?
Bagi yang berfikiran jangka pendek, pinjaman online (pinjol) adalah satu solusi untuk menopang kehidupan sehari-hari. Namun sayangnya pinjol juga menimbulkan banyak mudharat.
Lalu siapa yang bertanggungjawab untuk memastikan mereka hidupnya terjamin? Dalam hal ini apakah mereka bisa menjadi mustahik yang tepat sasaran?
Tentu kita kembalikan ke pemerintah sebagai penentu kebijakan negara dan ulama sebagai penafsir agama. Bahwa korban PHK pun dipertimbangkan ataupun sudah masuk kategori mustahik.
Jika kemudian korban PHK terjerat pinjol ataupun pinjaman lainnya, menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa kriteria bagi mereka sebagai Gharim untuk diberi zakat. Di antaranya adalah berhutang bukan untuk tujuan maksiat dan berutang karena kebutuhan hidup apalagi mereka yang punya banyak tanggungan keluarga.
Kemudian cara penyaluran zakatnya adalah diberikan langsung kepada mustahik agar bisa membayar utang baik secara keseluruhan atau sebagian. (Hukum Zakat, Pustaka Litera Antar Nusa, 1996).
Namun yang perlu kemudian digarisbawahi jika korban PHK termasuk mustahik maka:
• Beragama Islam tentunya
• Perlu pendataan yang cermat baik secara de facto maupun de jure
• Melihat keadaan ekonomi masing-masing korban PHK
• Melihat tanggungan keluarga
• Melihat status pinjaman utang jika ada
• Melihat apakah punya tabungan atau tidak
• Ulil amri dalam hal ini Ketua RT ataupun Ketua RW bertanggungjawab penuh atas kendali warganya yang menjadi korban PHK
Zakat sebagai Kebajikan Moral
Agama dilandasi salah satunya adalah prinsip Ihsan. Ihsan dari kata hasana yang berarti baik atau indah. Ihsan secara beragam diterjemahkan sebagai kesalehan, perilaku indah atau kebajikan moral (Wajah Sejuk Agama, Jamal Rahman, Penerbit Zaman, 2012).
Agama harus menjadi penopang hidup bagi mereka yang terpinggirkan secara ekonomi, apakah karena kemiskinan, pengangguran, ataupun korban PHK.
Apalagi sesuai amanah al-Qur’an dalam surah Ali Imran ayat 92 dikatakan bahwa :
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan sampai kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apapun yang kamu infakkan sesungguhnya Allah Maha Tahu akan hal itu”.
Ayat di atas memberi penekanan bahwa kita harus memperhatikan saudara kita yang tidak beruntung secara ekonomi. Simpati atau empati kepada saudara-saudara kita yang terimbas PHK juga adalah sunnah nabi. Kebaikan yang akan kita peroleh dari simpati kepada mereka tentunya adalah ridha Allah Swt. Rasa simpati juga bisa menguatkan ukhuwah islamiyah serta kepuasan batin.
Selain itu, zakat juga sebagai pembersih jiwa dan harta. Mengapa harus dibersihkan? Menurut Quraish Shihab dalam salah satu ceramahnya boleh jadi selama proses pengumpulan harta ada saja hal-hal yang tidak mengenakkan, misal dalam proses tawar menawar antar penjual dan pembeli ada yang tidak ikhlas.
Zakat, sedekah, ataupun infak adalah bentuk kesadaran personal ataupun kolektif. Kesadaran bahwa agama mengamanahkan untuk memperhatikan saudara kita yang terlilit masalah. Gelombang PHK selain masalah pribadi juga masalah negara. Dan zakat bisa menjadi salah satu solusi untuk menstabilkan perekonomian jika dikelola dengan baik, tepat sasaran, dan mengutamakan skala prioritas.
Dengan adanya zakat, diharapkan para mustahik bisa lebih khusyuk dalam beribadah di bulan Ramadan dan tidak perlu khawatir akan kebutuhan ekonominya.
Zakat juga bisa menjadi motivasi untuk mengubah pola pikir agar tidak ‘jalan di tempat’. Artinya jika tahun ini masih menjadi Mustahik, maka tahun selanjutnya diharapkan sudah bisa menjadi Muzakki.
Editor: Soleh