Fikih

Zakat Untuk Korban Pinjaman Online (Pinjol)

4 Mins read

Beberapa hari lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis data daftar 102 Pinjaman Online (Pinjol) legal berizin OJK per 22 April 2022. Di sisi lain, pada 24 Mei 2022 OJK melalui Satgas Waspada investasi menemukan 100 pinjol illegal. Artinya sejak tahun 2018 s.d. April 2022, jumlah pinjol ilegal yang telah ditutup menjadi sebanyak 3.989 pinjol ilegal.

Data-data tersebut semakin membuat menunjukkan maraknya masyarakat yang terjerat pinjaman online (pinjol) illegal hingga berdampak pada kegaduhan sosial akibat cara-cara penagihan hingga pemerasan ke korban pinjol yang cukup menyita empati publik.

Salah satu patologi sosial yang muncul di era derasnya perkembangan teknologi dan informasi dalam jebakan minimnya tingkat literasi dari masyarakat kita.

Tercatat selama kurun waktu 2019-2021, OJK menerima aduan terhadap penyelenggaraan fintech peer-to-peer (P2P) lending resmi, maupun pinjaman online (pinjol) ilegal mencapai 19.711 kasus.

Dengan jenis empat isu yang masuk kategori aduan berat di antaranya; pencairan dana atau pinjaman tanpa persetujuan pemohon, ancaman penyebaran data pribadi, penagihan kepada seluruh kontak HP (milik korban) dengan teror atau intimidasi, dan penagihan dengan kata kasar disertai pelecehan seksual. 

Sialnya, kondisi ekonomi yang sulit khususnya selama pandemi dimanfaatkan oleh rentenir digital (pelaku pinjaman online illegal) untuk menjerat mereka dengan kemudahan dan kecepatan pencairan dana hanya tinggal satu klik. Meskipun setelah itu, kemudahan dan kecepatan dikonversi dengan suku bunga tinggi, fee besar, denda tak terbatas, dan teror atau intimidasi.

Artinya tingkat rapuhnya masyarakat dalam hal literasi keuangan dan digital berada di level darurat, mengingat bahwa indeks literasi keuangan hanya sebesar 38,03 persen per 2019.

Sementara, indeks literasi digital berada di level 3,49 pada 2021. Didukung dengan keberadaan marketing yang persuasif menambah terhipnotisnya masyarakat untuk mendapatkan pinjaman uang dengan cara dan waktu instan.

Baca Juga  Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

Fungsi Sosial dan Ekonomi Zakat

Zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kekayaan orang-orang kaya untuk diberikan kepada mereka yang berhak menerima zakat (Mustahik). Zakat menjadi salah satu piranti keagamaan sekaligus sosial-ekonomi yang dipayungi oleh Nash al-Quran dan penciri dari identitas seorang Muslim.

Konsep zakat merupakan obligatory system yang pengelolaannya harus dilakukan oleh pemerintah dan pengambilan zakat dilakukan secara paksa serta ada sanksi bagi orang yang tidak membayarkanya.

Sedangkan di Indonesia yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang memiliki keunikan dengan perkembangan yang signifikan dalam pola maupun tatakelola perzakatannya. Data dari BAZNAS RI menyebutkan bahwa potensi dana zakat tahun 2022 mencapai Rp 327 triliun.

Sedangkan, target pengumpulannya pada angka Rp 26 triliun dari akumulasi dari total target pengumpulan seluruh 562 organisasi pengelola zakat resmi secara nasional dengan target jumlah muzakki secara nasional sebanyak 10,7 juta jiwa.

Adapun fungsi zakat dalam surat at-Taubah:103 baik bagi muzakki, mustahik dan harta itu sendiri. Yakni Pertama, bagian dari cara mensucikan dan fungsi sosial. Bagi muzaki dan mustahik sebagai sarana mensucikan diri dari sifat dengki, iri, amarah, rakus dan kikir. Bagi harta, zakat mensucikan dari kotoran dan syubhat yang ada padanya. Secara sosial, zakat mampu menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tentram, harmonis, berkah dan adil.

Kedua, bagian dari mengembangkan fungsi ekonomi. Bagi Mustahik maupun Muzakki, zakat berfungsi meningkatkan pendapatan dan konsumsi yang berdampak pada peningkatan sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply). Bagi harta, zakat dapat berdampak secara makro berupa pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kerkeadilan (sustainable growth with equity).

Kontekstualisasi Gharimin: Korban Pinjol

Dalam Surat At-Taubah ayat 60 disebutkan bahwa salah satu dari 8 golongan Ashnaf yang masuk kategori mustahik zakat adalah gharimin. Yakni orang atau kelompok orang yang memiliki hutang dan sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk melunasinya. Para ulama mendetailkan definisi tentang Gharimin secara variatif. Ada yang mendefinisikan al-gharim adalah orang yang terlilit hutang saja. Ada yang menambahkan definisi al-gharim dengan menyertakan penyebab hutangnya.

Baca Juga  PSIPP ITB AD Buat Draf untuk Penguatan Zakat bagi Korban Kekerasan terhadap Perempuan

Imam Mujahid mendefinisikan al-gharim sebagai orang yang menanggung hutang karena rumahnya terbakar, terseret banjir atau untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sedangkan Ibnu Atsir berbeda, bahwa al-gharim merupakan orang yang berhutang untuk pelunasan hutang orang lain. Atau bangkrut karena mencukupi kebutuhan hidup, tidak untuk berbuat maksiat atau berlaku boros (tabdzir).

Korban pinjol illegal merupakan bentuk gharimin baru di era digital. Mereka yang terjerat hutang berkali-kali lipat dari nominal yang dihutang karena kecanggihan teknologi yang mempoles akses keuangan secara mudah dan cepat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Misal korban pinjol yang seorang guru TK di Malang yang diteror puluhan debt collector pinjol karena untuk kebutuhan biaya kuliahnya. Akibat hal itu dia dipecat dari tempatnya mengajar.

Dia pinjam ke Pinjol Rp 1,8 juta, yang cair hanya Rp 1,2 juta dan harus membayar sejumlah Rp 40 juta. Misalkan berangkat dari kasus tersebut, maka kontekstualisasi gharimin akibat jeratan pinjol sangat layak untuk memenuhi tafsir baru sebagai gharimin sehingga berhak untuk diberi zakat.

***

Yang mana mereka dengan memenuhi kriteria Gharimin yang berhak diberi zakat; (a) Gharimin yang memang tidak bisa melunasi hutangnya dengan harta keseluruhan yang dimilikinya, (b) hutangnya untuk masalah kebaikan atau mubah yang tidak dilakukan secara berlebih-lebihan (ishraf), serta hutangnya bukan untuk kepentingan haram kecuali jika dia sudah benar-benar bertaubat (taubat nasuha). (c) hutangnya yang sudah jatuh tempo (segera butuh dilunasi) dan disesuaikan dengan total penghimpunan dana zakat yang didapatkan oleh Amil.

Kasus lainnya, seperti kasus Dedi, salah satu korban pinjol yang berhutang Rp 2,5 juta tidak kunjung lunas meski sudah dia bayar Rp 100 juta. Korban pinjol lainnya di Solo yang pinjam Rp 5 juta membengkak Rp 75 juta. Mengingat pola kasusnya yang dari nominal awal pencairan lalu menjadi berkali-kali lipat, terlebih menyasar pada kelas menengah ke bawah, belumlagi jatuh tempo pembayaran yang urgen untuk segera dibayar. Mereka mengalami kebangkrutan dengan percaya pada pinjol untuk memenuhi kebutuhannya.

Baca Juga  Secara Historis, Petani itu Orang Kaya: Membaca Ulang Zakat Pertanian

Maka korban akibat jeratan pinjol layak masuk kategori gharimin yang berhak menerima dana zakat dari para muzakki.  Mengingat bahwa akibat kebangkrutan jeratan pinjol tersebut mengurangi tingkat kesejahteraan dan melemahkan daya beli masyarakat. Sehingga, melalui dana zakat tersebut Gharimin mendapatkan stimulus untuk mengembalikan daya beli bahkan menjadi modal awal mustahik untuk membuka kran pendapatan baru guna melunasi hutang di pinjol. Akhirnya berdampak pada peningkatan kesejahteraan umat.

Editor: Yahya FR

Avatar
6 posts

About author
Dosen Prodi Perbankan Syariah FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds