IJIMS (Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies) adalah jurnal di Program Pasca Sarjana IAIN Salatiga. Untuk saat ini, IJIMS telah terindeks Scopus Q1, Crossref, Index Copernicus, Index Islamicus, dan masih lagi. Selain itu, IJIMS telah mendapatkan akreditasi nasional (A) dari Kementerian Ristek Dikti. Berikut interview Basuki Kurniawan dari Media Center Fakultas Syari’ah dengan Prof. Dr. Zakiyudin Bhaidawy, M.Ag Rektor IAIN Salatiga 2019-2023 bersama Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I tentang Jurnal IJIMS di Hotel Aston Jember, tanggal 26 Juni 2019.
Bagaimana awal memulai Jurnal IJIMS?
Junal IJIMS lahir pada tahun 2011 bersamaan dengan saya diberikan amanat sebagai asisten direktur 1 program Pascasarjana. Karena pada tahun 2011, kita mengawali program Pascasarjana. Sedangkan, ketua pendiriannya adalah saya. Dan berdasarkan SK, saya diberikan amanah sebagai asisten direktur dan saya mempunyai gagasan besar karena IAIN Salatiga mempunya visi besar yaitu IAIN Salatiga sebagai pusat rujukan studi Islam Indonesia. Apabila kita ingin menjadi rujukan, maka kita harus mempunyai academic tower. Academic tower itu selain kajian, juga harus mempunyai jurnal ilmiah yang memuat gagasan-gagasan Islam Indonesia.
Kedua, karena kita mempunyai aspirasi internasional, maka jurnal ini tidak ditulis dalam bahasa Indonesia. Awalnya, jurnal ini ditulis dalam dwi bahasa yakni bahasa Inggris dan bahasa Arab. Cuma, kami selaku pengelola mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam mengelola naskah-naskah berbahasa Arab, seperti kendala mencari penulis bahasa Arab. Mengelola jurnal berbahasa Arab lebih sulit daripada mengelola artikel bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. IJIMS pernah menerbitkan jurnal 3 kali dalam dwi bahasa. Tapi pada edisi keempat, kami fokuskan ke bahasa Inggris sampai sekarang.
Apa yang membedakan Journal IJIMS dengan jurnal-jurnal yang lain di Indonesia?
Di Indonesia banyak kajian Islam, namun dalam mengambil nama jurnalnya pun berbeda. Saya lebih cenderung menonjolkan moslem societies-nya. Jadi, kajian-kajiannya tidak tekstual murni, tetapi warna Islam sebagai praktik, sosiologis, antropologis, humanity, dan social science-nya lebih menonjol. Lebih jelasnya, yang diteliti itu adalah pluralitas Islam sendiri.
Membangun kajian tekstual dan sosio-historis itu jangan berdiri sendiri. Jika sendiri-sendiri maka akan menimbulkan gap antara ortodoksi dan heterodoksi. Padahal kenyataannya, Islam tidak hanya great tradition tapi banyakjuga local tradition-nya. Kajian besar disebut ortodoksi dan kajian kecil disebut heterodoksi. Kajian kami lebih suka pendekatan inter dan transdisiplin. Jadi, melibatkan kajian Islam dan mendekatkan kajian social science.
Kenapa kata “moslem society” itu dipilih? Karena lebih disukai oleh para pembaca dari Barat. Kita membaca kecenderungan kajian di luar itu, yakni Islam yang bukan hanya sebagai dogma/doktrin, tapi juga sebagai society yang dipraktikkan. Kalau melihat studi agama di Eropa, Islam itu dilihat sebagai society atau community bukan sebagai dogma. Karena alasan itulah kami mengambil istilah itu sebagai nama jurnal.
Sejak kapan terindeks Scopus Q1?
Sejarahnya, kita berdiri tahun 2011. Setelah 3 tahun, tepatnya tahun 2014, alhamdulillah langsung terakreditasi A dari Kemenristekdikti (dulu Kemendikbud istilahnya). Dari situ, kita harus mempunyai roadmap yang jelas. 3 tahun ke depan, visinya tidak hanya jurnal yang diakui nasional, tapi juga harus diakui internasional. Dari situ, jurnal ditulis dengan bahasa Inggris. Bagaimana pun caranya, kita membuat roadmap dalam jangka 3 tahun ke depan untuk bisa terindeks Scopus. Untuk itu, kita memperbaiki banyak hal. Pada tahun 2016 tepatnya pada bulan April, kita submit ke Scopus. Alhasil, pada tanggal 13 Agustus 2017, indeks Scopus pun akhirnya diterima (accepted). Artinya, dari 13 Agustus 2017, sudah terindeks Scopus.
Setelah Scopus muncul, untuk masuk di Schimago, butuh satu tahun lagi. Akhirnya, mereka menjanjikan akhir Mei atau awal Juni baru nama kita muncul di Schimago. Alhamdulillah, tepat 1 juni 2019 pas, jurnal IJIMS pun masuk di Schimago. Kami seakan-akan menerima Lailatul Qodar. Schimago itu merupakan salah satu lembaga yang mengeluarkan peringkat untuk jurnal sedunia. Awalnya kami tidak menyangka Scopus Q1, kami memprediksi Q3. Tapi ternyata, jumlah sitasinya melampaui. Kami mendapatkan Scopus Q1 dengan terindeks 0,161 padahal minimal 0,15. Kami bersyukur sebagai satu-satunya lembaga yang tembus Q1, belum ada lembaga Q1 di Indonesia.
Apa kiat-kiat agar jurnal terindeks Scopus Q1?
Ya, saya kira kita harus open acces, open journal system. Artikel yang kita upload, harus didiseminasi seluas mungkin. Karena jika semakin banyak terindeks di lembaga-lembaga Internasional, maka kesempatan kredibilitas semakin tinggi. Jika semakin tinggi keterbacaan, maka peluang scientibility dikutip semakin tinggi.
Biasanya, ketika ada artikel baru yang sudah terbit, ketika itu juga kami sebar link artikel tersebut ke mana-mana, supaya peluang keterbacaannya tinggi. Kita bagi ke mana-mana. Siapapun yang punya jaringan, kita sebar. Jika peluang keterbacaannya tinggi, maka scientibility-nya juga tinggi. Dari situ kemudian bisa meningkatkan sitasi. Sebab Q1, Q2, dan Q3 itu rumusnya jumlah kutipan dibanding jumlah artikel (dokumen). Hasil 0,161 itu hasil jumlah kutipan dengan jumlah artikel. Seluruh artikel yang sudah dikutip dan dipublikasi. Saya berusaha bagaimana caranya artikel 2011 bisa terindeks Scopus. Dan ternyata dikabulkan.
Yang paling penting adalah menjaga stamina dalam mengelola jurnal, konsistensi, dan aspirasi. Selain itu, harus ada penulis internasional di setiap kali edisi penerbitan artikel jurnal. Kalau bisa diusahakan ada 2 penulis dari luar negeri (internasional). Dari total artikel yang masuk, hanya terbit 6 artikel setiap edisi. Saya yakin, semua PTKIN pasti bisa, tergantung istiqomah dan kemauan dalam menerbitkan artikel. Sekali lagi, diupayakan ada penulis Internasional walau cuma satu penulis internasional dalam setiap kali terbit.
Bagaimana ceritanya, dapat mengalahkan jurnal-jurnal terindeks Scopus Q1 yang lain di Indonesia?
Secara pribadi, kita mempunyai peluang yang sama apakah PTKIN atau non-PTKIN. Setiap perguruan tinggi baik negeri dan swasta mempunyai peluang yang sama untuk menjadi besar. Masalahnya mau diambil apa tidak peluang itu. PTKIN itu ada 5 yang terindeks Scopus. PTKIN fokus pada sosial humaniora dan tidak dimiliki lembaga di bawah Ristekdikti. Ristekdikti hanya Jurnal Wacana yang sosial humaniora. Kemudian IAIN Kudus terakhir yang terindeks Scopus.
Artinya, dalam sosial humaniora itu, PTKIN sudah menjadi kiblat di Indonesia. Dalam kategori social humanities, kita lebih unggul dibanding PTU. Maka dari itu, harus dibaca sebagai peluang. PTKIN itu punya peluang untuk masuk sosial dan humaniora. Kajian kita ada sub kategori religious studies, yang mana, itu masih sangat kurang. Maka, peluang kita terindeks Scopus cukup besar, nanti kita masuknya art humanities sebagai payung besarnya dan sub kategorinya religious studies. Ketika kita men-submit jurnal di religious studies, maka peluangnya cukup besar. Itu merupakan bagian dari strategi (submission), jangan sampai salah kamar.
Dapat penghargaan dari mana saja Jurnal IJIMS setelah status Q1 ?
Hehe (senyum), mendapatkan apresiasi dari Kemenag dan ucapan selamat dari mana-mana. Menristekdikti akan memberikan award. Kemenag pun juga akan memberikan award.
Dengan mendapatkan Q1, apa yang dilakukan jurnal IJIMS selanjutnya? Terlebih lagi Anda sebagai Rektor IAIN Salatiga?
Menebarkan virus ke jurnal-jurnal lain di lingkungan kami dan lingkungan yang lain di semua lembaga pendidikan tinggi. Saya masih editor IJIMS, saya editor IJIMS kedua yang menjadi Rektor IAIN Salatiga.
Apa ada pengaruh kebijakan pimpinan terhadap pengelola IJIMS?
Harapan kita semoga semakin meningkat, membuat peluang yang lebih besar, dan juga dukungan bukan hanya moril, infrastruktur, dan upgrade ke SINTA 2, tapi juga larilah ke SINTA 1. Kalau target kami, ada dua lagi Scopus di IAIN Salatiga.
Apa saran Prof. Zakiyudin untuk dosen-dosen agar dapat menulis di jurnal Internasional terindeks Scopus Q1?
Harus rajin berlatih, kalau tidak dilatih, susah. Karena menulis di jurnal Internasional apalagi yang terakreditasi, tidak bisa instan. Harus terbiasa ditolak (rejected). Kami rata-rata setiap bulan menerima 30 artikel dan dalam 6 bulan hanya 6 artikel yang terpublish. Kami satu bulan hanya mengambil satu artikel. Dari 30, kita ambil satu artikel setiap bulan.
Apa saran-saran bagi pengelola jurnal agar bisa mengikuti jejak IJIMS?
Mengelola jurnal tidak dibutuhkan orang banyak, cukup 2 sa,pai 4 orang. Tapi, harus dibangun sebagai tim yang konsisten bekerja secara terus menerus. Kami (IAIN Salatiga) hanya 4 orang yang paling inti. Seterusnya harus konsisten dan terus harus dijaga.