Zoroaster atau Zoroastrianisme adalah agama yang dipraktikan oleh bangsa Persia sebelum Islam masuk ke daerah tersebut. Zoroastrianisme dinamakan demikian karena pengikutnya menganggap Zarathustra sebagai nabi. Beberapa kelompok di India dan Iran masih menganut agama ini meskipun mayoritas mereka memeluk Islam setelah penaklukan Islam.
Zoroaster dalam Al-Quran
Dalam istilah Islam, Zoroaster disebut Majusi, Allah berfirman dalam Al-Quran, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shbi’in, Nasrani, dan orang-orang yang menyekutukan Allah akan Allah berikan keputusan di antara mereka pada Hari Kiamat. Sesungguhnya Allah menjadi saksi atas segala sesuatu.” (QS. al-Hajj [22]: 17).
Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar menuliskan, “Allah telah menjadikan Majusi sebagai kelompok yang independen, dan hadis mengatur perlakuan terhadap mereka seperti Ahli Kitab dalam hal berakhirnya pertempuran mereka dengan membayar jizyah (upeti). Hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah Ahli Kitab, meskipun tidak ada yang tersisa dari mereka yang secara eksplisit disebutkan sebagai Ahli Kitab, tetapi Ali bin Abi Thalib telah meriwayatkan pendapat ini, dan asy-Syafi’i telah memastikannya dalam al-Umm.”
Allah berfirman, “Betapa banyak nabi yang telah Kami utus kepada umat-umat terdahulu.” (QS. az-Zukhruf [43]: 6). Dalam tafsir As-Sa’di yang ditulis oleh Abdurrahman As-Sa’di disebutkan, “Ini adalah sunah Allah dalam penciptaan, bahwa Dia tidak meninggalkan mereka, para penduduk bumi, tanpa pemberi peringatan Dia telah mengutus para rasul yang memerintahkan mereka untuk menyembah Allah semata tanpa sekutu.” Allah berfirman, “Tidak ada satu umat pun, kecuali telah datang kepadanya seorang pemberi peringatan.” (QS. Fathir [35]: 24.
Dalam banyak firman Allah banyak menyebutkan bahwa suatu kaum akan diturunkan Nabi dan Rasul kepadanya, ayat-ayat di atas hanya sebagian dari ayat-ayat yang memaktubkan bahwa Nabi dan Rasul itu diutus kepada kaum tertentu, secara garis besar ayat-ayat tersebut di antaranya, QS. Ghafir [40]: 78, QS. an-Nisa’ [4]: 164, QS. ar-Ra’d [13]: 7 7 59 dan QS. An-Nahl [16]: 36. Zoroaster atau Majusi adalah umat tersendiri, sehingga dari ayat-ayat ini kita bisa menyimpulkan bahwa Allah telah mengutus nabi-nabi kepada bangsa Majusi untuk mengajak mereka menyembah Allah semata dan menjauhi syirik. Ini merupakan keadilan Allah untuk mengutus mereka kepada setiap umat, tanpa mengecualikan umat lain. Oleh karena itu, hukum-hukum samawi tidak hanya terbatas pada Syam, Hijaz, Irak dan Mesir saja dalam hal wahyu, namun juga di tengah bangsa dan daerah lain.
Allah dalam Al-Quran juga menyebutkan tentang Zulkarnain, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah, ‘Akan aku bacakan kepadamu kisahnya.’ Sesungguhnya Kami telah memberi kedudukan kepadanya di bumi dan Kami telah memberikan jalan kepadanya (untuk mencapai) segala sesuatu. Maka, dia menyusuri suatu jalan. Hingga ketika telah sampai ke tempat terbenamnya matahari, dia mendapatinya terbenam di dalam mata air panas lagi berlumpur hitam. Di sana dia menemukan suatu kaum (yang tidak mengenal agama). Kami berfirman, ‘Wahai Zulkarnain, engkau boleh menghukum atau berbuat kebaikan kepada mereka (dengan mengajak mereka beriman).’ Dia (Zulkarnain) berkata, ‘Adapun orang yang berbuat zalim akan kami hukum. Lalu, dia akan dikembalikan kepada Tuhannya. Kemudian, Dia mengazabnya dengan azab yang sangat keras. Adapun orang yang beriman dan beramal saleh mendapat (pahala) yang terbaik sebagai balasan dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah.’” Qs. al-Kahf [18]: 83-88.
Dalam Al-Quran Allah menyebutkan tentang raja yang beriman, Zulkarnain, bahwa Dia memberinya jalan untuk mencapai segala sesuatu, dan menjadikannya penguasa di tengah-tengah bangsa tersebut. Kisahnya telah disinggung dalam beberapa ayat surat al-Kahf yang penuh dengan pelajaran dan bukti yang jelas, dan banyak dari kita telah membaca ayat-ayat yang terang tersebut.
Hal yang menarik adalah penelitian kontemporer telah menegaskan bahwa Zulkarnain adalah Koresy, Raja Persia. Di antara orang-orang pertama yang meneliti secara mendalam tentangnya dan sampai pada kesimpulan ini adalah penulis dan ahli tafsir India, Abu al-Kalam Azad, yang merupakan Menteri Pendidikan pertama setelah kemerdekaan India atas Inggris. Dia merupakan peneliti penting tentang Zulkarnain. Dalam hal ini ada banyak peneliti lainnya yang setuju dengannya. Dia mengatakan, “Zulkarnain, Raja Koresy yang Agung, adalah seorang yang beriman kepada Allah, monoteis, yang mengikuti agama Zarathustra.” Sejarah juga menyatakan bahwa Koresy atau Cyrus the Great atau Cyrus the Grand adalah seorang Zorastrian.
Jika kita memastikan bahwa Zulkarnain adalah Koresy, dan bahwa Koresy mengikuti agama Zarathustra, itu bisa menjadi indikasi yang dapat ditarik dari Al-Quran bahwa agama Zarathustra adalah agama yang benar. Allah berfirman, “Betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut (-nya) yang bertakwa.” (QS. ali-‘Imran [3]: 146). Perlu diingat bahwa terdapat lebih dari satu bacaan (qira’ah) dalam ayat ini. Ada yang menggunakan kata qutila (terbunuh) dan ada yang menggunakan kata qatala (berperang), dan setiap bacaan ini sama-sama dibaca Nabi Muhammad. Ini adalah mukjizat Al-Quran, di mana terdapat lebih dari satu bacaan tanpa adanya kontradiksi dalam makna, bahkan ada penambahan makna.
Berdasarkan ayat ini, jika mengacu pada cerita Zoroastrian tentang nabi Persia yang diyakini oleh para penganut Zarathustra, yaitu Zarathustra, kita akan menemukan bahwa peristiwa kematiannya terjadi di dalam sebuah kuil di kota Balkh, Persia. Ketika dia diserang oleh pasukan musuh dari suku Turanian pagan yang agresif (ini adalah peperangan antara mereka). Mereka membunuh Zarathustra saat dia sedang beribadah kepada Allah dan mengangkat pedangnya melawan mereka. Dia terbunuh bersama para sahabat dan pengikutnya di antara para ahli agama dan ahli ibadah.
Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas, “Menurut sebuah pendapat, maknanya adalah berapa banyak nabi dan para pengikutnya yang terbunuh dan dibunuh bersamanya.” Makna kata ribbiyyun katsir (sejumlah besar pengikut) menurut al-Hasan adalah banyak ulama. Diriwayatkan juga dari al-Hasan bahwa maknanya adalah para ulama yang sabar, baik hati, dan bertakwa. Ibnu Jarir meriwayatkan dari beberapa ahli nahwu Bashrah bahwa yang dimaksud dengan ribbiyyun katsir adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah dan yang lain mengatakan ribbiyyun adalah para pengikut.
Semua makna ini mendekati kisah Zarathustra dengan pengikutnya yang dianggap oleh bangsa Persia sebagai seorang nabi, yang menurut sumber-sumber Zoroastrian memiliki murid-murid dan pengikut seperti banyak nabi lainnya. Dengan demikian, dimungkinkan jika kita berpegang pada bukti ini saja bahwa Zarathustra adalah salah satu dari para nabi yang terbunuh bersama banyak pengikutnya, sebagaimana yang diberitakan Allah dalam Kitab-Nya (dan yang benat adalah dia merupakan seorang nabi yang diutus oleh Allah kepada bangsanya, Persia).
Allah berfirman, “Kami telah menurunkan kitab suci (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) dengan (membawa) kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai penjaganya (acuan kebenaran terhadapnya).” (QS. al-Ma’idah [5]: 48.
As-Sa’di berkata. “Allah telah menurunkan Al-Quran, kitab yang paling utama dan mulia, dengan kebenaran dan mencakup kebenaran dalam berita-berita, perintah-perintah, dan larangan-larangan-Nya. Karena Al-Quran ini memberikan kesaksian dan sejalan dengannya, kabar beritanya sesuai dengan kabar berita kitab-kitab sebelumnya, syariat-syariatnya yang agung sesuai dengan syariat-syariat dalam kitab-kitab sebelumnya, kitab-kitab sebelumnya juga mengabarkan Al-Quran ini sehingga keberadaannya menjadi bukti kebenaran kabar berita kitab-kitab sebelumnya. Ia juga memuat apa yang dimuat kitab-kitab sebelumnya, dengan tambahan berupa tuntunan-tuntunan Ilahi dan akhlak jiwa.”
Jika kita melihat sisa-sisa kitab suci Zoraostrianisme (Majusi) yang disebut Avesta, kita akan menemukan bahwa banyak doktrin dan hukum agamanya mendekati Al-Quran yang menunjukkan kemungkinan asal-usulnya yang Ilahi. Nabi Muhammad bukanlah seorang nabi yang datang dengan seruan baru yang bertentangan dengan seruan para nabi sebelumnya.
Allah berfirman, “Katakanlah (Muhammad), ‘Aku bukanlah seorang rasul yang pertama di antara para rasul dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat (Allah) kepadaku dan kepadamu.” (QS. al-Ahqaf [46]: 9). Dalam tafsir as-Sa’di disebutkan, “Nabi Muhammad bukanlah nabi pertama yang datang kepada mereka sehingga mereka merasa heran dengan risalahnya dan menolak seruannya. Para rasul dan nabi lain telah mendahuluinya, dan siapa yang setuju dengan seruannya, maka dia setuju dengan seruan mereka. Jadi, mengapa mereka menolak risalahnya?”
Referensi
- Vesta Sarkhos Curtis & Stewart Sarah , Birth of The Persian Empire: the Idea of Iran, Tauris London New York, 2005.
- Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah lil Kitab, 1990.
- As-Sa’di, At-Taisir al-Karim ar-Rahman, Mu’assasah ar-Risalah, 2000.
- Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Ma’a Qashash as-Sabiqin fi al-Quran, Dar al-Kalam, 1979.
- Amin Riyadh La’ribi, Az-Zaradusytiyyah ad-Diyanah as-Samawiyyah allati Basysyarat bi Muhammad, Dar Qurthubah, 2023.
Editor: Soleh

