FeaturePerspektif

Stagnasi Gerakan IPM (2): Keluar dari Elitisme ke Realisme

3 Mins read

Oleh: Yusuf Rohmat Yanuri*

Setelah berkaca pada tulisan yang pertama (baca: Stagnasi Gerakan IPM (1): Formalitas dan Rutinitas), penting kiranya bagi daerah bersama cabang ranting untuk memilih salah satu atau salah dua dari opsi-opsi yang ada untuk dijadikan sebagai brand utama dari daerah tersebut. Misalkan dalam hal ini kita ambil contoh di PD IPM Sukoharjo, salah satu daerah di Jawa Tengah.

PD IPM Sukoharjo mengambil isu student earth generation untuk menjadi isu se kabupaten yang akan diselesaikan dalam satu periode (2 tahun) bersama seluruh cabang ranting yang ada. Misalnya, spesifikasi isu yang di breakdown dari student earth generation adalah isu sampah plastik.

Dengan contoh kasus, pada awal periode kepemimpinan, masyarakat di Kabupaten Sukoharjo menghasilkan 1/2 ton sampah plastik setiap harinya, kemudian PD IPM Sukoharjo melakukan gerakan yang terstruktur, sistematis, dan masif sehingga target ketika Musyawarah Daerah di akhir periode adalah masyarakat di Kabupaten Sukoharjo hanya menghasilkan 0,2 ton sampah plastik setiap harinya.

Kegiatannya bisa berupa sosialisasi bahaya sampah plastik, kampanye pengurangan sampah plastik melalui seluruh jaringan yang dimiliki, pembagian botol minum kepada masyarakat, bersih-bersih sungai, pengolahan kembali sampah plastik, pendirian bank sampah, dan lain sebagainya, tergantung kreativitas dan kebutuhan masing-masing.

Ini akan menjadi gerakan yang riil dan berdampak secara nyata ke pelajar secara umum dan masyarakat luas. Jadi, tugas suatu kepemimpinan dalam satu periode dapat diukur dengan jelas, yaitu melalui target yang ingin dicapai di akhir periode sebagai goal utama. Sehingga, program kerja tidak disusun secara sembarangan dan mengikuti kebiasaan-kebiasaan periode sebelumnya yang dapat menimbulkan stagnasi gerakan.

Berangkat dari hal ini, identitas IPM secara substansial dapat terbentuk. IPM di Sukoharjo menjadi IPM yang berwajah ekologis. Jika ada pelajar umum di Sukoharjo yang mendengar kata “IPM”,  maka dia akan langsung teringat dengan gerakan ekologi, khususnya penanggulangan sampah plastik.

Baca Juga  Kisah Soekarno, Mengkritik Ulama yang Haramkan Donor Darah untuk Non Muslim

Hal ini sebagaimana yang terjadi ketika kader IPM melihat bendera partai yang berlambang pohon Beringin, dia pasti akan langung mengidentikkan bendera tersebut dengan bendera IPM. Pun dengan pelajar se Kabupaten Sukoharjo yang akan mengidentikkan IPM dengan gerakan ekologi. Jadi setidak-tidaknya ada 2 keuntungan sekaligus.

Yang pertama adalah manfaat dari keberadaan IPM dapat dirasakan secara riil. Dan yang kedua adalah identitas IPM menjadi menguat secara substansial.

Contoh yang lain adalah misalnya ada suatu daerah yang mengambil isu literasi sebagai pekerjaan utama kepemimpinan selama satu periode. Tugas utama kepemimpinan tersebut adalah memastikan setiap pimpinan (setiap gerakan harus dimulai dari yang menggerakkan terlebih dahulu) melek literasi.

Parameternya adalah menghabiskan 1 buku selama maksimal 1 bulan. Terlalu lama memang, namun tidak mengapa sebagai permulaan. Setelah selama 1 tahun penuh pimpinan dicetak untuk menjadi pembaca ulung, maka 1 tahun setelahnya pimpinan dilatih untuk menulis.

Parameternya adalah setiap pimpinan menghasilkan 1 tulisan, entah artikel, esai, puisi, cerpen, karya ilmiah, dan lain-lain, selama maksimal setiap 1 bulan. Sehingga dalam 1 periode, internal pimpinan daerah seluruhnya adalah orang-orang yang berwawasan luas dan melek literasi. Pada periode selanjutnya, gerakan ini dinaikkan 1 tingkat, yaitu mempengaruhi dan menyebarkan virus literasi. Sembari menerapkan pola lama kepada pimpinan yang baru masuk di periode setelahnya, pimpinan yang sudah menjabat dari periode sebelumnya bertugas untuk menyebarkan virus literasi.

Misalkan dengan parameter setiap pimpinan memiliki 5 kader di cabang ranting yang dikader secara serius, khususnya dalam hal literasi. Pola yang diterapkan bisa sama dengan pola yang internal, atau dibuat pola khusus kader. Jika ada 10 pimpinan lama yang sudah melek literasi masing-masing mengkader 5 orang dari cabang ranting, maka dalam satu periode akan muncul 50 kader yang melek literasi yang siap melanjutkan kepemimpinan di tingkat yang lebih tinggi.

Baca Juga  Buya Hamka dan Polemik dengan Kaum Adat Minangkabau Pertengahan Abad 20

Jika hanya 50% dari kader yang menetas, maka sekurang-kurangnya muncul 25 orang yang melek literasi. Dan ini adalah jumlah yang fantastis jika melihat realita literasi di Indonesia seperti hari ini. Jika pola perkaderan ini terus berlanjut hingga 3, 4, bahkan 5 periode, sedikit banyak hal ini akan mempengaruhi tingkat literasi nasional, dan akan membawa dampak perubahan positif ke negara Indonesia.

Hal ini akan menjadi manifestasi dari terminologi “karya nyata” yang akhir-akhir ini juga menjadi kata yang sering disuarakan di forum-forum IPM. Karya nyata ini bisa berbentuk konkret maupun abstrak. Konkret berupa tulisan, buku, video, film, merchandise, seni, dan aneka produk lain.

Abstrak bisa berbentuk manfaat yang dirasakan, misalnya berupa berkurangnya intensitas banjir, terselamatkannya pelajar dari amoral, munculnya kewirausahaan pelajar yang professional, pengawalan kebijakan publik yang pro terhadap pelajar, dan lain-lain tergantung isu yang diangkat.

Menuju era yang semakin dewasa ini, kegiatan-kegiatan yang bersifat pelatihan cum elitis yang masih mendominasi kegiatan di IPM harus mulai segera ditinggalkan. Kemudian digantikan dengan kegiatan yang bersifat gerakan yang lebih memberikan dampak positif kepada pelajar maupun masyarakat luas. Gerakan yang diangkat bisa bermacam-macam, tergantung tingkat bahaya isu di masing-masing tempat dan kemampuan kader-kader IPM.

Isu yang ada di agenda aksi tanfidz Muktamar XXI sangat cukup untuk menjadi rujukan pilihan bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia. Dan salah satu atau dua isu yang dipilih adalah lebih dari cukup, daripada semua isu sekaligus mencoba ditangani secara bersamaan, sehingga tidak memberikan dampak yang maksimal, dan justru menjadikan IPM bias identitas.

Fokus pada 1 atau 2 isu justru akan menghasilkan gerakan yang lebih masif. Beberapa best practice yang sudah dituliskan di tanfidz sekiranya dapat menjadi contoh yang baik bagi gerakan IPM, tinggal bagaimana gerakan ini lebih fokus dan lebih masif. Mengingat sejauh fakta yang penulis amati, kegiatan-kegiatan di IPM masih bersifat elitis, kering makna, formal, dan yang paling parah adalah selalu mengikuti pola kegiatan di periode sebelumnya.

Baca Juga  Tak Selamanya Surga Diraih dengan Susah Payah

Tentu, kegiatan berbasis gerakan akan lebih baik daripada kegiatan berbasis pelatihan formal elitis yang sering kering makna dan miskin RTL. Selamat mencoba!

*Ketua Pimpinan Wilayah IPM Jawa Tengah

Avatar
114 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Feature

Basra, Mutiara Peradaban Islam di Irak Tenggara

2 Mins read
Pernahkah kamu mendengar tentang kota di Irak yang terkenal dengan kanal-kanalnya yang indah, mirip seperti Venesia di Italia dan dijuluki dengan Venesia…
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds