Kita kembali menelitik ke belakang, bagaimana sejarah awal Pancasila ditetapkan sebagai ideologi negara dan asas tunggal dalam Muhammadiyah. Mungkin kita terlalu asing dengan sejarah ini, akibat yang ditimbulkan dari penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal di Muhammadiyah membuat warga persyarikatan hampir terpecah belah.
Pada tanggal 18 Maret 1982, terjadi bentrokan antara pendukung Partai Golongan Karya (Golkar) dan simpatisan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di lapangan Banteng, Jakarta. Sejumlah mobil rusak parah, tokoh-tokoh banyak yang dijarah. Kerusakan itu membuat 318 orang ditangkap, 274 di antaranya pelajar SD hingga SMA.
Presiden Soeharto dan Asas Tunggal Pancasila
Presiden Soeharto mengecam keras kerusuhan tersebut. Dalam pidato kenegaraan di Gedung DPR, pada 16 Agustus 1982, Pak Harto menilai jika bentrokan itu terjadi karena adanya perbedaan ideologi. Maka dari itu, untuk menghindari kejadian serupa atau bahkan lebih parah lagi, Pak Harto kemudian ingin semua partai dan organisasi Indonesia menggunakan dasar atau ideologi yang sama, yaitu Pancasila.
Melalui pidato kenegaraan itu, Pak Harto ingin semua partai politik di Indonesia berdasarkan asas tunggal Pancasila. Berdasarkan pidato tersebut, sebenarnya asas tunggal Pancasila hanya ditujukan kepada organisasi politik saja. Namun, seiring perkembangannya, asas tunggal Pancasila juga diwajibkan kepada semua organisasi atau perkumpulan yang ada di Indonesia.
Pak Harto menganggap bahwa penerapan asas tunggal Pancasila adalah sesuatu yang sangat mendesak dan harus segera direalisasikan, demi terciptanya Indonesia yang aman. Keinginan itu beberapa kali disuarakan oleh Pak Harto. Untuk menghindari penolakan dari golongan Islam, Pak Harto buru-buru menyatakan, “Pancasila tidak sama sekali tidak akan mengurangi arti dan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Pak Harto sangat yakin jika Pancasila sebagai asas tunggal politik dan kemasyarakatan akan mampu menciptakan masyarakat Indonesia yang sosialistis dan religius. Dan beliau pun meminta dukungan kepada MUI untuk segera mensosialisasikan hal tersebut kepada masyarakat di seluruh penjuru tanah air.
Sikap NU dan Muhammadiyah Menerima Asas Tunggal
“Pancasila tidak bisa disejajarkan dengan Islam, karena ia adalah asas hidup bersama yang disepakati dengan pemeluk agama-agama lain.” kata Munawir Sjadzali, selaku ketua MUI dalam rapat kerjanya dengan MUI, pada 5 Maret 1984.
Menteri agama terpaksa mengeluarkan pernyataan tersebut karena banyak ulama dan tokoh masyarakat yang tidak bersedia menerima asas tunggal, termasuk NU dan Muhammadiyah. Namun NU menjadi ormas Islam pertama yang menerima gagasan tersebut. Itu terjadi setelah melalui beberapa diskusi antara K.H. As’ad Syamsul Arifin dengan Pak Harto di Cendana.
Setelah melalui beberapa diskusi, akhirnya K.H. As’ad paham maksud Pak Harto. Beliau pun menyatakan jika NU siap menerima Pancasila dan akan membantu pemerintah mensosialisasikannya kepada masyarakat. Menurut K.H. As’ad, kebijakan Pak Harto itu sesuai dengan garis perjuangan NU yang memang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
Jika K.H. As’ad menerima gagasan asas tunggal Pancasila, tidak demikian dengan Pak AR. Beliau mengakui jika tantangan terberat bagi Muhammadiyah adalah ketika harus mengambil keputusan antara menerima dan menolak. Walaupun Pak AR pernah mengumumkan instruksi melalui radio, agar semua kekuatan sosial politik di Indonesia harus menerima asas tunggal Pancasila.
Sebenarnya Muhammadiyah tidak terlalu mempersoalkan hal itu. Sebab, secara historis, Muhammadiyah memiliki hubungan yang sangat erat dengan pancasila. Tokoh-tokoh Muhammadiyah, seperti Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Kiai Kahar Muzakkir, ikut serta dalam menyempurnakan rumusan Pancasila pada 18 Agustus 1945. Hanya saja, permintaan itu tidak bisa diterima Muhammadiyah dengan begitu saja tanpa adanya pertimbangan.
Dalam pandangan Muhammadiyah, jika dasar Islam diganti dengan Pancasila, hal itu sama saja dengan membunuh karakter dan jati diri Muhammadiyah sebagai ormas Islam. Menolak Pancasila tentu tidak mungkin, tetapi menghapus asas Islam di Muhammadiyah jauh lebih tidak mungkin lagi.
Sebab, persyarikatan ini lahir Islam, sehingga Islam ditiadakan, maka tidak bisa dikatakan lagi Muhammadiyah. Sehingga, perlu beberapa pertimbangan dalam menyikapi gagasan Pemerintah Orde Baru.
Pak AR Bijak Menyikapi Asas Tunggal Pancasila
Pak AR gelisah, beliau kemudian memanggil anggota PP Muhammadiyah yang ada di Yogyakarta untuk bersidang. Dalam siding tersebut, Pak AR menyampaikan ihwal pidato kenegaraan Pak Harto tentang asas tunggal Pancasila. Rupanya para penguru PP juga sudah tahu. Pak AR kemudian menanyakan, bagaimana sikap Muhammadiyah atas kebijakan itu?.
Secara pribadi, Pak AR mengaku khawatir penepatan asas tunggal Pancasila akan mencederai keyakinannya sebagai seorang Muslim. Namun, beberapa pengurus PP Muhammadiyah berpandangan lain. Mereka mengatakan jika Indonesia adalah negara hukum, sehingga tidak seharusnya warga Muhammadiyah resah dan gelisah.
Pak AR dan pengurus PP Muhammadiyah lainnya mengambil sebuah keputusan untuk berdiam diri sejenak. Artinya, beliau belum mengambil sebuah keputusan terkait asas tunggal Pancasila. Sehingga Pak Harto mengatakan, maksud Pancasila adalah asas bernegara, bermasyarakat, dan politik.
Pak AR kemudian menjelaskan jika Muhammadiyah dapat berasas Pancasila dalam bermasyakarat, berbangsa dan bernegara, serta berpolitik. Namun, terkait hal-hal yang selain itu, tidak. Pak AR memberi contoh, orang Islam yang warga Malaysia bisa bergabung menjadi anggota Muhammadiyah dari segi Islam. Tetapi, dari segi bernegara tidak boleh, karena dia bukan warga negara Indonesia.
Pak AR sadar jika Pak Harto adalah tipe pemimpin yang semua kemauannya diikuti. Di bawah pemerintahan beliau, Orde Baru dikenal sebagai rezim otoriter. Pak Harto sangat intens mendoktrinkan slogan-slogan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia.
Asas Tunggal dan Dampaknya Bagi Muhammadiyah
Mochamad Faried Cahyono dan Yuliantoro Purwowijayadi di dalam buku Pak AR yang Zuhud: Memimpin Umat dengan Islam yang Menggembirakan, menerangkan bahwa untuk mempertahankan kekuasaannya, pemerintah Orde Baru berusaha menguasai perpolitikan tanah air dengan membuat produk undang-undang yang menjamin kemenangan mereka.
Situasi yang mulai semakin tidak jelas arah, membuat Pak AR belum berani untuk mengambil sebuah keputusan yang pasti terkait hal itu. Sehingga dalam menyikapi hal itu, PP Muhammadiyah menggelar Sidang Tanwir, pada Mei 1983. Sidang itu digelar karena agenda Muktamar ke-41 Muhammadiyah ditunda hingga pemerintah mengesahkan undang-undang mengenai asas tunggal itu.
Lukman Harun dalam buku Muhammadiyah dan Asas Pancasila menjelaskan, Sidang Tanwir menghasilkan tiga hal penting. Pertama, Muhammadiyah sepakat memasukkan Pancasila ke dalam Anggaran Dasar, dengan tidak mengubah asas Islam. Kedua, mengingat masalah yang sedang dihadapi adalah masalah nasional, maka PW, PD, dan yang ada dibawahnya tidak diperbolehkan mengambil sikap terkait persoalan ini.
Setelah Muhammadiyah melaksanakan Muktamar ke-41 itu, Muhammadiyah menyatakan menerima asas tunggal Pancasila. Persyarikatan pun segara menyesuaikan diri dengan mengubah AD/ART.
Setelah Muhammadiyah menyatakan menerima asas tunggal Pancasila, situasi di dalam persyarikatan menjadi ramai. Ada sebagian anggota, bahkan pengurus inti, yang menyatakan keluar dari Muhammadiyah. Mereka mengira bahwa dengan menerima asas tunggal Pancasila, maka Muhammadiyah tidak lagi berasas Islam. Wallahu a’lam.
Editor: Zahra