Perspektif

Belajar untuk Eksistensi Hidup

4 Mins read

Belajar, istilah yang akrab di telinga kita. Dalam belajar, kita mencapai suatu pencapaian yang belum dicapai sebelumnya. Namun, disadari atau tidak, fakta kurangnya kesadaran untuk belajar dapat kita jumpai dalam kehidupan keseharian. Kita boleh menyebut contoh guru di sekolah dan dosen di perguruan tinggi.

Ada guru dan dosen yang mandek kapasitas keilmuan dan kemampuan mengajarnya. Setiap saat guru dan dosen menghimbau siswa-mahasiswanya untuk rajin belajar, tetapi dirinya malah alpa melaksanakan himbauan itu. Guru dan dosen lupa untuk meningkatkan kapasitasnya. Pengetahuan dan wawasan tak bertambah, kemampuan mengajar dan edukasi tak berkembang. Tak hanya guru dan dosen, tetapi juga kita dengan beragam pekerjaan dan profesinya. Kita acapkali mengabaikan keniscayaan belajar untuk meningkatkan kualitas diri.

Kita cenderung merasa puas dengan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. Padahal, ilmu pengetahuan terus berkembang. Bahkan, kita dapat menyaksikan bahwa ilmu alam dan ilmu sosial kerapkali mengalami revisi dan pengayaan. Apa yang kita pelajari dahulu mungkin tidak sesuai lagi dengan konteks zaman yang kita hadapi saat ini.

Manusia Cepat Puas dengan Ilmu yang Didapat

Sesungguhnya ketidaktahuan kita tak terhingga dan apa yang kita ketahui terbatas. Kita yang tidak memiliki kesadaran terkait kekurangan diri seringkali merasa puas dengan keterampilan yang telah dimiliki. Padahal, seiring kemajuan zaman, kita juga dituntut menguasai kecakapan dan keterampilan tertentu demi kemajuan kehidupan.

Rendahnya kesadaran untuk belajar menyebabkan kita tak mawas diri telah melakukan sikap dan perilaku kurang bijak, seperti tidak dapat mengendalikan emosi, mudah melakukan kekerasan, kurang bisa menghormati orangtua, menghalalkan cara negatif untuk mencapai tujuan, melanggar hak manusia lain untuk hidup dan berkembang, berbuat kerusuhan, merusak lingkungan, enggan meminta maaf atas kesalahan, dan sulit mengucap terimakasih atas pertolongan orang lain.

Baca Juga  Niat untuk Belajar, Satu Hal yang Hilang dari Pendidikan Kita

Tak mampunya kita membuang sampah di tempat sampah, tidak bisa mengantre dengan tertib, dan kurang disiplin dalam berlalu lintas juga mencerminkan kurangnya kesadaran kita untuk belajar. Keengganan belajar terkadang membuat kita bebal dan mencari pembenaran atas pendapat yang salah.

Bagi kita, sejatinya belajar merupakan keniscayaan. Belajar adalah sarana kita untuk terus tumbuh dan berkembang sebagai makhluk hidup ciptaan-Nya di muka bumi ini. Dengan belajar, kita akan mengalami perubahan. Perubahan itu dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar (Nana Sudjana, 1988).

Belajar ialah Saat Terjadi Progres

Kita dapat dikatakan telah belajar apabila mengalami perubahan ke arah positif. Mohamad Surya (2004) menyebutkan ada ciri-ciri yang menandai perubahan sebagai hasil belajar, yakni perubahan itu disadari, bersifat kontinyu dan fungsional, bersifat positif dan aktif, bersifat relatif permanen dan bukan temporer, serta bertujuan dan terarah. Belajar merupakan proses yang dilakukan dengan sengaja karena dorongan dan tujuan yang hendak kita capai. Dengan proses belajar, seluruh aspek kepribadian kita mengalami perubahan yang lebih baik.

Dengan kata lain, yang dinamakan belajar tidak melulu bertambahnya wawasan dan pengetahuan. Kita perlu belajar untuk menguasai keterampilan dan kecakapan hidup, sehingga menjadi manusia yang kreatif, inovatif, produktif, dan kontributif. Kita belajar untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangan diri. Kita perlu belajar mengembangkan sikap dan karakter terpuji. Kita harus belajar mengembangkan kebiasaan positif dan belajar memperbaiki perilaku.

Belajar tak terbatas ruang dan waktu. Belajar tidak berhenti pada usia tertentu, namun berlaku sepanjang kehidupan kita. Belajar tidak melulu lewat pendidikan formal. Belajar bisa dilakukan di mana pun dan kapan saja. Kita perlu belajar di rumah, di lingkungan masyarakat, di tempat kerja, di pasar maupun di tempat-tempat lainnya.

Baca Juga  Tuduhan kepada UAH: Yang Diterangkan, Yang Digelapkan

Siapa saja yang Perlu Belajar?

Tidak hanya siswa dan mahasiswa, belajar juga perlu dilakukan ibu rumah tangga, orangtua, guru-dosen, wartawan, pedagang, nelayan, buruh, tukang becak, karyawan, pemimpin negara, pejabat pemerintahan, politisi, dan selainnya.

Belajar bisa dilakukan secara mandiri maupun dengan bantuan pihak lain. Kita bisa belajar untuk memperkaya dan menambah ilmu, wawasan, pengetahuan, keterampilan ataupun hal lainnya dengan membaca buku dan surat kabar, mengikuti kajian atau kuliah nonformal, mengikuti pelatihan dan penyuluhan, dan semacamnya

. Dalam hal ini, kita seyogianya juga menilai hasil belajar kita secara kualitatif. Dari belajar Matematika, kita tidak akan melakukan korupsi, karena 10-4=6, bukan 5; 7+11=18, bukan 25.

Dengan belajar sejarah, kita merasakan pahit getirnya penjajahan dan tumbuh semangat untuk berkontribusi positif di alam kemerdekaan. Hafalan lima sila Pancasila juga terinternalisasi dalam sikap dan perilaku kita. Selalu menjalankan ibadah sesuai agama kita, memanusiakan manusia lain, merekatkan jalinan persatuan, menghormati perbedaan pendapat, memerhatikan kehidupan orang lain yang kekurangan, menegakkan tata ekonomi yang berkeadilan, memiliki empati sosial, merasa gelisah melihat kehidupan masyarakat yang tidak sejahtera, dan sebagainya.

Dengan belajar, kita akan mengurangi penggunaan plastik karena mengetahui dampak buruk sampah plastik terhadap lingkungan, air tanah, serta ekosistem binatang laut dan ikan. Dengan belajar, kita memahami bahwa sampah makanan termasuk penyebab pemanasan global, sehingga tidak membuang-buang makanan percuma.

Pun, kita bisa belajar ketika mendaki gunung, menikmati matahari tenggelam di pantai, menatap bulan di malam hari ataupun  ketika merasakan keindahan alam lainnya bahwa alam semesta tidak pernah berproses secara instan. Kita bisa belajar bahwa kehancuran dan keterpurukan akan kita dapatkan apabila menyalahi hukum alam.

Baca Juga  Wahai Orangtua, Libur Pandemi COVID-19 Bukan Untuk Pelesiran!

Buah dari Belajar

Begitu banyak nilai, karakter, dan manfaat positif yang bisa kita dapatkan dari proses belajar. Dengan belajar, kita akan memiliki pemahaman yang lebih baik dan lebih indah terhadap diri sendiri, dunia, manusia, lingkungan hidup, alam, dan Tuhan. Seberapa pun usia kita, kita perlu terus-menerus belajar agar lebih baik, lebih hebat, lebih kreatif, lebih tangguh, lebih berdaya, dan lebih mulia dalam menjalani kehidupan.

Sejatinya kita belajar bukan demi sekolah, tetapi demi hidup, non scolae sed vitae discimus (Ibe Karyanto, 2004). Belajar itu untuk eksistensi hidup! Zaman senantiasa berkembang dengan tantangan dan peluang masing-masing. Dengan belajar, kita akan dapat menghadapi zaman, apapun tantangan dan peluangnya. Jadilah pembelajar seumur hidup, seru Komaruddin Hidayat (2010), karena semakin bertambah umur selalu saja muncul hal-hal baru yang harus kita pelajari agar kita menjadi lebih bijak.

Sebagaimana pepatah Cina: hidup sampai tua, belajar sampai tua. Siapa pun perlu menyadari pentingnya belajar tiada henti. Kita perlu membangun, menumbuhkan, dan menguatkan tradisi belajar. Sesungguhnya belajar untuk eksistensi hidup kita. Kuatnya tradisi belajar yang kita miliki akan menciptakan peradaban bangsa ini lebih apik dan bermartabat. Belajarlah sepanjang hayat. Wallahu a’lam

Editor: Wulan

Avatar
2 posts

About author
Pekerjaannya adalah belajar, berpikir, berjuang, dan berkarya. Pembelajar dan manaruh minat terutama pada agama, pendidikan, kearifan hidup, sastra, dan sejarah.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *