Oleh : Aulia Ta’arufi
Satu abad lalu, tepatnya 20 Mei 1919, terjadi letusan Gunung Kelud di Blitar, Jawa Timur. Letusan gunung api tersebut menelan ribuan korban jiwa. Pemerintah dan masyarakat merespon kejadian tersebut dengan menghimpun bantuan dana, logistik, dan pertolongan medis. Pada saat itu juga terbentuk perkumpulan yang bernama Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) di Yogyakarta bekerja sama dengan Steun Comite Keloed.
Gerak dan langkah pelayanan PKO Muhammadiyah saat kondisi bencana pertama kali dicetuskan oleh Kiai Syujak. PKO merupakan embrio dari hadirnya Muhammadiyah Disaster Management Center atau MDMC (Muarif, 2018) yang dikukuhkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Muktamar ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta. Tugas PKO pada saat itu terbatas pada upaya respon tanggap darurat: membantu korban bencana, memberikan pelayanan medis, dan penyediaan kebutuhan logistik bagi pengungsi.
Saat ini di era modern, sejalan dengan prinsip Muhammadiyah yang berkemajuan, upaya PKO dikembangkan dalam konsep rumah sakit dan masyarakat aman bencana. Rumah sakit dan masyarakat aman bencana merupakan komitmen Muhammadiyah melalui MDMC untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi kondisi darurat dan bencana.
MDMC sebagai pelopor rumah sakit dan masyarakat aman bencana menyadari bahwa terdapat banyak risiko yang dapat menimpa masyarakat modern. Ulrich Beck dalam Risk Society (1992) menyatakan bahwa dalam masyarakat risiko, segala kemungkinan buruk dapat terjadi. Baik risiko yang disebabkan oleh alam maupun kegagalan teknologi.
Perkembangan Rumah Sakit Aman Bencana ala Muhammadiyah di Indonesia
Terletak di lokasi cincin api pasifik (ring of fire), Indonesia berhadapan dengan risiko beragam bencana. Aktivitas patahan dan gunung api di wilayah Indonesia selain memberikan sumber daya alam dan kesuburan tanah juga berpotensi dalam memunculkan risiko bencana. Pada peta Indeks Risiko Bencana (IRB) yang dirilis oleh BNPB, hampir semua wilayah berwarna merah, artinya memiliki risiko bencana yang tinggi. Dalam wilayah tersebut terdapat sekitar 1.300 rumah sakit yang berada dalam lingkar cincin api.
Saat terjadi bencana, rumah sakit adalah fasilitas penting yang harus tetap memberikan pelayanan. Hal ini terkait dengan keselamatan pasien, keluarga pasien, tenaga medis, tenaga pendukung pelayanan, dan masyarakat. Oleh karena itu, rumah sakit perlu memiliki kapasitas dalam bentuk keterampilan dan fasilitas untuk menghadapi bencana.
Muhammadiyah memiliki lebih dari 300 rumah sakit di Indonesia. Pengalaman kejadian gempa bumi di D.I Yogyakarta pada tahun 2006 menggerakkan Muhammadiyah untuk makin peduli bencana. Kala itu, banyak amal usaha Muhammadiyah yang terdampak bencana. Kejadian gempa menyebabkan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar. Selain itu menyadarkan bahwa sumber daya manusia dalam tubuh Muhammadiyah masih sangat minim pengalaman dalam menghadapi bencana.
Melalui program kesiapsiagaan, Muhammadiyah memberikan pelatihan kesiapsiagaan bencana di rumah sakit Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang ada di Palembang, Jakarta, Bantul, Malang, dan Makasar. Untuk melengkapi kerja Muhammadiyah dalam upaya kesiapsiagaan rumah sakit, di tahun 2016 rumah sakit aman bencana diterapkan di wilayah timur Indonesia, tepatnya di RS PKU Muhammadiyah Bima, Nusa Tenggara Barat dan RS PKU Muhammadiyah Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Selanjutnya, MDMC terus bergerak melalui inisiasi rumah sakit Muhammadiyah Sulawesi Utara yang lumpuh pasca diterjang gempa dan tsunami pada akhir 2018 lalu.
Melalui program rumah sakit aman bencana, gerak PKO diatur secara sistematis melalui pembentukan tim medis bencana di tiap rumah sakit. Tim medis bencana ini disiapkan sebagai garda depan dalam upaya pertolongan medis bagi masyarakat terdampak di luar wilayah mereka.
Pelibatan Masyarakat sebagai Modal Sosial menuju Ketangguhan Bencana
Upaya peningkatan kesiapsiagaan bagi rumah sakit Muhammadiyah berkolaborasi dengan masyarakat yang berada di sekitar rumah sakit. Kolaborasi ini tercipta melalui pelatihan bersama, lokakarya penyusunan dokumen-dokumen kerja sama, dan geladi-geladi (atau lazim disebut simulasi bencana). Upaya penanggulangan bencana merupakan sinergi beragam pihak, sehingga Muhammadiyah juga bekerja sama dengan rumah sakit pemerintah, dinas kesehatan setempat, fasilitas kesehatan terdekat (puskesmas, klinik), BPBD, tim SAR, PMI, kepolisian, dan TNI untuk membentuk sebuah support system dalam menghadapi bencana.
Risiko bencana berimbas pada kerentanan beberapa kelas sosial menjadi korban ketika terjadi bencana. MDMC menyadari bahwa belum semua masyarakat Indonesia mendapat akses informasi dan pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana. Padahal kesiapsiagaan terhadap bencana harus dipahami setiap individu. Untuk itu, MDMC melakukan penguatan kapasitas masyarakat melalui pengajian-pengajian Muhammadiyah sebagai basis masyarakat di tingkat ranting dalam jamaah tangguh bencana.
Pelibatan masyarakat dan tokoh masyarakat adalah wujud ketangguhan sosial. Masyarakat dapat aktif terlibat dalam pengambilan keputusan terkait penanggulangan bencana, sehingga membantu pemulihan psikologis pasca-bencana. Hal ini juga mendorong keberdayaan masyarakat untuk aktif dalam setiap upaya tanggap darurat. Pelibatan masyarakat ini dalam kondisi darurat bencana menempatkan masyarakat sebagai subjek dan bukan objek. Tokoh masyarakat pun harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pengorganisasian pengungsi dan langkah-langkah selanjutnya untuk bangkit dari kondisi bencana, seperti proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
Kini, satu abad pasca letusan Gunung Kelud di Blitar, satu abad sudah relawan Muhammadiyah berbakti pada negeri. Hingga tulisan ini dimuat, Relawan MDMC selalu setia mendampingi masyarakat terdampak bencana di berbagai tempat seluruh penjuru Nusantara.
*) Relawan MDMC