Pada 13 Agustus 2003, 17 tahun yang lalu, Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengesahkan UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Hari itu juga, Undang-Undang (UU) tersebut diundangkan di dalam Lembaga Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316. Dua hari setelah itu, tepatnya 15 Agustus 2003, untuk pertama kalinya kita memiliki hakim Mahkamah Konstitusi. Keberadaan mereka disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M/Tahun 2003 setelah dilakukan pemilihan oleh DPR, Presiden dan MA. Besoknya, para hakim Mahkamah Konstitusi generasi pertama itu mengucapkan sumpah jabatannya di Istana Negara untuk berkomitmen dalam penegakan keadilan.
Mahkamah Konstitusi yang pada saat itu baru dibentuk, merupakan amanat UUD 1945 paska perubahan. Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan yang dimilikinya adalah menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sementara kewajiban yang diberikan oleh UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Produktivitas Mahkamah Konstitusi
Selama berdiri sejak tahun 2003, Mahkamah Konstitusi terhitung telah mengadili ribuan perkara. Tercatat sampai dengan 12 Agustus 2020, dilansir dari laman resmi MK, sebanyak 3898 perkara telah diputus. Putusan tersebut tersebar ke berbagai jenis perkara, mulai dari pengujian UU, sengketa kewenangan lembaga negara, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, hingga perselisihan hasil pemilihan umum.
Lebih detail, grafik putusan di laman resmi Mahkamah Konstitusi menunjukkan jumlah pada masing-masing jenis perkara. Putusan atas sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), memegang angka tertinggi dengan jumlah putusan sebanyak 1557. Diikuti oleh putusan pengujian undangundang (PUU) sebanyak 1333 putusan, sengketa hasil pilkada sebanyak 982 putusan, dan sengketa kewenangan lembaga negara sebanyak 26 putusan.
Di antara putusan yang pernah dikeluarkan, terlihat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak pernah memutus pembubaran partai politik. Mahkamah Konstitusi juga belum pernah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Hal tersebut dikarenakan Mahkamah Konstitusi memang tidak pernah menerima kedua permohonan.
Catatan Hitam Mahkamah Konstitusi
Sejak awal berdiri hingga sekarang, tahun demi tahun yang berlalu, sudah banyak hal yang dialami oleh Mahkamah Konstitusi. Tidak hanya sering mendapat apresiasi karena putusan-putusan besarnya, lembaga ini juga pernah terjangkiti virus judicial corruption. Judicial corruption terjadi di Mahkamah Konstitusi ketika dua hakimnya, di dua waktu yang berbeda, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Keduanya sama-sama ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus yang pertama dialami oleh Ketua Mahkamah Konstitusi pada saat itu, Akil Mochtar, yang diadili tahun 2014 lalu. Ia dinyatakan terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa pilkada dalam dakwaan kesatu, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas (3 milliar rupiah), Kalimantan Tengah (3 milliar rupiah), Pilkada Lebak di Banten (1 milliar rupiah), Pilkada Empat Lawang (10 milliar rupiah dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar 3 milliar rupiah). Berkat kasus yang menimpanya itu, ia menerima hukuman penjara seumur hidup. Meski sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dan kasasi ke Mahkamah Agung, permintaannya ditolak.
Kasus kedua dialami oleh Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar. Patrialis Akbar dinyatakan terbukti korupsi menerima suap dari pengusaha impor daging sapi, Basuki Hariman dan Ng Fenny. Patrialis Akbar terbukti menerima suap sejumlah 10.000 dollar AS (setara 133,53 juta rupiah) dan sekitar 4 juta rupiah. Suap tersebut diterima Patrialis untuk mendorongnya membantu memenangkan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materiil UU Nomor 41/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terhadap UUD 1945. Atas perbuatannya, ia menerima hukuman penjara selama 8 tahun dan denda sebesar Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Namun hukuman tersebut pada 2019 lalu, dikurangi MA yang semula 8 tahun menjadi 7 tahun penjara.
Dua kasus tersebut, menjadi catatan hitam bagi integritas MK yang secara umum dimaknai bahwa seorang hakim dipersonifikasikan sebagai orang terpilih. Mereka juga sering digambarkan sebagai Dewi Themis dengan mata tertutup sebagai simbol kenetralannya. Tidak boleh memihak kepada siapapun, kecuali memihak kepada penegakan keadilan. Sayang, praktik judicial corruption menjadi catatan kelam bagi kelembagaan MK dalam sejarahnya mengawal konstitusi.
Harapan Kita
Pada 13 Agustus 2020 yang lalu, MK menginjak usia 17 tahun. Besar harapan kita semua supaya MK tumbuh dan besar menjadi lembaga yang mampu menjaga integritas, imparsialitas, dan independensinya. Peradilan ini harus mutlak bebas dari kepentingan apapun, kecuali pada penegakan keadilan. Para hakim, dalam menjalankan tugas yudisialnya, tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun dan apapun, baik karena kepentingan jabatan maupun kepentingan ekonomi. Mereka hanya boleh memihak kepada kebenaran dan penegakan keadilan, karena mereka adalah corong yang menyuarakan nurani dan perasaan untuk penegakan keadilan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Para hakim dan jajaran, harus mendengar dan senantiasa ingat nasehat yang pernah di ucapkan oleh almarhum Satjipto Raharjo pada suatu waktu. Tuturnya, “Bangsa dan negara ini menghadapi aneka masalah besar, menggunung, dan berat. Pengadilan hanya menambah beban bangsa jika harapan masyarakat terus dikecewakan. Sebaliknya, pengadilan akan membantu mengurangi beban bangsa jika hakim tidak hanya berfikir menerapkan UU, tetapi secara progresif menjadi vigilante”.
Nasihat yang disampaikan almarhum Satjipto Raharjo, mewakili harapan besar kita kepada Mahkamah Konstitusi. Para hakim dan seluruh jajaran Mahkamah Konstitusi, jangan menambah deretan beban bangsa dengan melakukan tindakan yang mengecewakan. Mahkamah Konstitusi harus dijauhkan dari mafia peradilan dan praktik judicial corruption. Bangunlah Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang mandiri dan berintegritas, agar harapan masyarakat tidak terus dikecewakan. Kita juga berharap, lembaga ini menjadi sebenar-benarnya pengawal konstitusi dan demokrasi.
***
Terakhir, tuan dan puan hakim MK, dengarlah jeritan kami, jeritan yang diwakilkan oleh almarhum Satjipto Raharjo, sebelum ia wafat. Dari beliau, “Tuan-tuan hakim, ingatlah, betapa besar kekuasaan yang ada pada Anda. Para jumhur bangsa yang membuat UUD 1945 boleh menuliskan apa saja, para legislator boleh memproduksi undang-undang apa saja, tetapi pada akhirnya hakimlah yang menentukan arti satu frase dalam konstitusi dan arti satu perkataan dalam pasal undang-undang. Ronald Dworkin, filsuf hukum, mengatakan, setiap kali memutus, saat itu ia sedang berteori tentang apa hukum itu.”
Cek artikel lain dari penulis di laman pribadinya rinoirlandi.co
Editor: Shidqi Mukhtasor