Fiqih Menghadap Arah Kiblat
Dalam perspektif bayani, perintah menghadap kiblat bisa kita jumpai dalam beberapa ayat al-Qur’an. Di antaranya ialah Q.S. al-Baqarah (2): 150, Q.S. al-An’am (6): 97, dan Q.S. al-Nahl (16): 16 (Butar-butar, 2018).
Dalam pandangan empat madzhab (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah), menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah shalat (Izzan dan Saifullah, 2013). Akan tetapi, ulama berselisih pendapat akan detail menghadap kiblat (Butar-butar, 2018).
Sebagian berpendapat bahwa menghadap kiblat adalah menghadap Ka’bah secara fisik, sedangkan sebagian lainnya berpandangan bahwa menghadap kiblat adalah menghadap Arah Ka’bah.
Seluruh ulama bersepakat tentang wajibnya menghadap bangunan Ka’bah saat seseorang shalat di kompleks Masjid al-Haram. Akan tetapi, saat berada di luar kompleks masjid al-Haram, terdapat beragam pandangan.
Ulama madzhab Syafi’iyah tetap mewajibkan menghadap ke bangunan Ka’bah, sedangkan ulama pada tiga madzhab lainnya mewajibkan menghadap arah Ka’bah saja (Butar-butar, 2018).
Terlepas dari ragam pandangan terkait menghadap kiblat sebagaimana dipaparkan di atas, penentuan arahnya adalah hal urgen. Bagi mereka yang berada di kompleks Masjid al-Haram dan bisa menyaksikan bangunan Ka’bah secara langsung, bukanlah masalah.
Pun demikian, untuk mereka yang di luar kompleks Masjid al-Haram namun masih di kota Mekah, mereka cukup menghadap ke Masjid al-Haram saja. Namun demikian, bagi orang-orang di luar kota Mekah atau bahkan di luar negara Arab Saudi, penentuan arahnya mungkin menjadi problem tersendiri.
Alhamdulilah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, telah banyak membantu menyelesaikan problem penentuan kiblat bagi mereka yang di luar kota Mekah.
Metode Penentuan Arah Kiblat
Metode penentuan arah kiblat di berkembang dari waktu ke waktu. Hal tersebut dapat kita lihat dari perkembangan sains dan teknologi yang digunakan. Teknologi-teknologi yang telah dimanfaatkan untuk penentuan arah kiblat adalah miqyas, tongkat istiwa’, rubu’ mujayyab, kompas, dan teodolit (Azhari, 2011).
Saat ini, pendekatan yang sering digunakan dalam penentuan arah kiblat adalah matematis dan eksperimen. Secara matematis, arah kiblat dapat ditentukan menggunakan ilmu trigonometri bola yakni ilmu ukur segitiga bola.
Selain dengan ilmu trigonometri bola, penentuan arah kiblat secara matematis dapat dilakukan menggunakan ilmu geodesi. Penentuan arah kiblat dengan ilmu geodesi, hasilnya lebih akurat daripada ilmu trigonometri bola.
Mengapa hasilnya lebih akurat? Karena teori geodesi menambahkan variabel ketinggian tempat. Namun, penentuan arah kiblat dengan ilmu geodesi belum banyak dipraktikkan. Menurut penulis, hal itu karena persamaan matematika yang digunakan lebih rumit, sehingga belum banyak pihak yang menguasainya.
Pendekatan kedua yang lazim digunakan dalam penentuan arah kiblat adalah eksperimen. Penentuan arah kiblat dengan pendekatan eksperimen dilakukan dengan memanfaatkan bayang-bayang kiblat. Pendekatan ini dilakukan dalam 4 tahap, yakni pertama: menghitung arah kiblat suatu tempat, kedua: menghitung kapan saat matahari membuat bayang-bayang setiap benda (tegak) mengarah persis ke Ka’bah, ketiga: mengamati bayang-bayang benda saat matahari persis di atas Ka’bah, dan keempat: mengabadikan bayang-bayang tersebut sebagai arah kiblat (Azhari, 2011).
Sebagaimana telah kita pahami bahwa hakim tertinggi dalam sains dan teknologi ialah eksperimen. Dengan demikian, meskipun arah kiblat sebuah tempat sudah ditentukan dengan pendekatan matematis, tetap disarankan untuk melakukan kalibrasi arah kiblat dengan pendekatan eksperimen. Kapan saatnya? Ketika kulminasi Matahari di atas Ka’bah.
Kulminasi Matahari di atas Ka’bah
Kejadian Matahari di atas Ka’bah merupakan fenomena alam. Dalam setahun, peristiwanya terjadi 2 kali, tanggal 27 atau 28 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 15 atau 16 Juli sekitar pukul 16.27 WIB (Azhari, 2011). Kulminasi Matahari di atas Ka’bah terjadi saat deklinasi matahari sama dengan lintang tempat/geografis Ka’bah (Izzan dan Saifullah, 2013).
Seperti kita pahami bahwa nilai deklinasi Matahari berubah sepanjang tahun, dari +23°26’30” sampai dengan -23°26’30” (Azhari, 2007). Deklinasi Matahari tertinggi di sebelah utara equator terjadi pada tanggal 21 Juni, sedangkan di selatan equator terjadi pada tanggal 22 Desember (Azhari, 2007).
Lintang Tempat/Geografis
Secara etimologi, lintang tempat/geografis dalam bahasa Inggris disebut latitude, sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan urd al-balad. Pada Astronomi, simbol yang digunakan untuk menyatakannya adalah phi.
Secara terminologi, lintang tempat/geografis adalah jarak sepanjang meridian bumi diukur dari khatulistiwa sampai dengan tempat tertentu (Azhari, 2007). Lintang tempat/geografis minimal 0° dan maksimal 90°. Berdasarkan kesepakatan, tempat-tempat di belahan bumi utara diberi tanda positif (+), sedangkan tempat-tempat di belahan bumi selatan diberi tanda negatif (-).
Ka’bah menempati belahan bumi utara, tepatnya di kota Mekah, dengan lintang tempat/geografisnya 21°25′ (Izzan dan Saifullah, 2013).
Kapan deklinasi Matahari bernilai 21°25′ sama dengan lintang tempat/geografis kota Mekah sebesar 21°25′?
Deklinasi Matahari bernilai 21°25′ terjadi pada tanggal 27 atau 28 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 15 atau 16 Juli sekitar pukul 16.27 WIB (Azhari, 2011). Pada tahun non-kabisat, deklinasi Matahari 21°25′ terjadi pada tanggal 28 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 16 Juli sekitar pukul 16.28 WIB. Adapun pada tahun kabisat, deklinasi Matahari 21°25′ terjadi pada tanggal 27 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 15 Juli sekitar pukul 16.27 WIB.
Tahun 2022 merupakan tahun non-kabisat, sehingga pada tanggal 28 Mei 2022 sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 16 Juli 2022 sekitar pukul 16.27 WIB, Ummat Islam di Indonesia dapat menentukan arah kiblat secara eksperimen (Anugraha, 2012). Pukul 16.18 WIB tanggal 28 Mei 2022 dan pukul 16.27 WIB tanggal 16 Juli 2022 bukanlah waktu mutlak. Pihak-pihak yang pada menit dan detik tersebut mengalami kendala, maka ia dapat menentukan arah kiblat pada 3 menit sebelum atau sesudahnya (Anugraha, 2020).
Tanggal 28 Mei 2022 dan 16 Juli 2022 juga bukanlah tanggal mutlak yang tidak mempunyai toleransi. Pihak-pihak yang pada tanggal tersebut mengalami kendala, maka bisa menentukan arah kiblat pada 2 hari sebelum atau sesudahnya (Anugraha, 2012).
Wa Allah a’lamu bi al-shawab
Semoga bermanfaat.
Editor: Yahya FR