IBTimes.ID – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut bahwa umat Islam harus melakukan integrasi spiritual dan intelektual dalam ajaran Islam. Menurutnya, religiusitas dalam Islam tidak terbatas pada aspek spiritualitas, namun juga intelektualitas.
Haedar mengutip Iqbal yang memandang bahwa iman harus bersatu dengan akal. Hal tersebut ia sampaikan dalam pembukaan Pengajian Ramadhan 1443 H PP Muhammadiyah, Selasa (5/4/2022).
“Bagi Iqbal, pengetahuan dan pengalaman religius dimulai dengan pembahasan tentang hakikat pengetahuan filosofis yang didasarkan pada akal, dan pengetahuan religius yang didasarkan pada iman, yang dilandang saling melengkapi,” ujarnya.
Dengan integrasi tersebut, imbuhnya, umat Islam harus mengembangkan paham keislaman yang wasathiyah dan berkemajuan. Hal itu senada dengan surat Al-Baqarah ayat 143 yang berbunyi:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Menurut Haedar, ada beberapa jalan agar religiusitas menjadi religiusitas yang mencerahkan. Pertama, tokoh agama harus hadir dengan keberagamaan yang hanif, sehingga memancarkan pencerahan akal budi di dalam dirinya maupun dengan sesama dan lingkungannya.
“Para tokoh dan ulamanya menjadi suri teladan, bukan pengirim kegaduhan dan keresahan. Hidup damai, adil, tengahan, toleran, dan rendah hati menjadi budaya dan perilaku luhur keseharian umat beragama,” imbuhnya.
Sebaliknya, ia berpesan agar tokoh agama menjauhkan diri dari segala perangai buruk, esktrem, keras/garang, tidak adil, intoleran, semuci, dan ananiyah hizbiyah atau egoisme kelompok yang melahirkan wajah kusam dan anomali kehidupan beragama.
Kedua, pria kelahiran Bandung, 25 Februari 1958 tersebut mengutip Risalah Pencerahan Muhammadiyah yang menjelaskan bahwa dalam beragama, umat Islam harus berwatak tengahan, membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, menjunjung tinggi keadaban mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia yang diwujudkan dalam sikap hidup amanah, adil, ihsan, toleran, kasih sayang terhadap umat manusia tanpa diskriminasi, menghormati kemajemukan, dan pranata sosial yang utama sebagai aktualisasi nilai dan misi rahmatan lil-‘alamin.
Menurut risalah tersebut, beragama yang mencerahkan berarti menghadirkan risalah agama untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kultural.
“Gerakan pencerahan menampilkan agama untuk menjawab masalah kekeringan ruhani, krisis moral, kekerasan, terorisme, konflik, korupsi, kerusakan ekologis, dan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan,” tegas Haedar.
Ketiga, selain itu, beragama yang mencerahkan juga berarti menyebarluaskan penggunaan media sosial yang cerdas disertai kekuatan literasi berbasis tabayun, ukhuwah, ishlah, dan ta’aruf yang menunjukkan akhlak mulia.
Sebaliknya menjauhkan diri dari sikap saling merendahkan, tajassus, su’udhan, memberi label buruk, menghardik, menebar kebencian, bermusuh-musuhan, dan perangai buruk lainnya yang menggambarkan akhlak tercela.
Keempat, dalam beragama yang mencerahkan, imbuh Haedar, umat Islam memaknai dan mengaktualisasikan jihad sebagai ikhtiar mengerahkan segala kemampuan (badlul-juhdi) untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Jihad dalam pandangan Islam bukanlah perjuangan dengan kekerasan, konflik, dan permusuhan.
“Umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihad li-al-muaradhah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihad li-al-muwajahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama,” ujarnya.
Terakhir, dalam Risalah Pencerahan tersebut dijelaskan bahwa beragama yang mencerahkan diperlukan untuk membangun manusia Indonesia yang relijius, berkarakter kuat dan berkemajuan untuk menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi dengan bangsa-bangsa lain dan demi masa depan Indonesia berkemajuan yang dicirikan oleh kapasitas mental yang membedakan dari orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat khusus lainnya.
Sementara itu, nilai-nilai kebangsaan lainnya yang harus terus dikembangkan adalah nilai-nilai spiritualitas, solidaritas, kedisiplinan, kemandirian, kemajuan, dan keunggulan.
Beragama yang mencerahkan, sebagaimana dikutip Haedar, diwujudkan dalam kehidupan politik yang berkeadaban luhur disertai jiwa ukhuwah, damai, toleran, dan lapang hati dalam perbedaan pilihan politik.
“Seraya dijauhkan berpolitik yang menghalalkan segala cara, menebar kebencian dan permusuhan, politik pembelahan, dan yang mengakibatkan rusaknya sendi-sendi perikehidupan kebangsaan yang majemuk dan berbasis pada nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa,” imbuhnya.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bermisi dakwah dan tajdid berkomitmen kuat untuk mewujudkan Islam sebagai agama yang mencerahkan kehidupan. Jiwa, alam pikiran, sikap, dan tindakan para anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah niscaya menunjukkan pencerahan yang Islami sebagaimana diajarkan oleh Islam serta diteladankan dan dipraktikkan oleh Nabi akhir zaman.
Reporter: Yusuf