Perspektif

50 Tahun Pidato ‘Sekularisasi’ Nurcholish Madjid: Pembaruan atau Keterburu-buruan?

4 Mins read

Oleh: Ismail Al-‘Alam

Saudara Hasnan Bachtiar dalam esai Memahami Cak Nur dalam 120 Detik memunculkan istilah “sekularisme Islami”. Ketika menutup esainya, Hasnan menisbahkan istilah itu pada sosok Cak Nur, sambil mengutip teks Cak Nur, “Letakkan hal-hal yang bersifat duniawiyah secara duniawi, dan letakkan pelbagai persoalan kegamaan secara religius.” (Teks asli Cak Nur: “…menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.”)

Istilah “sekularisme Islam” atau “sekularisme Islami” sebenarnya tak ada dalam karya-karya Cak Nur. Sidang pembaca dapat memeriksanya dengan mengetikkan kata kunci ini di ebook Karya Lengkap Nurcholish Madjid (2019) yang disebutkan Hasnan. Selama belajar di Universitas Paramadina dan mendapat kuliah dari murid-murid Cak Nur, saya juga belum pernah mendengar istilah tersebut dari mereka.

Budhy Munawar Rahman, Ihsan Ali Fauzi, dan Wahyuni Nafis, untuk menyebutkan beberapa di antaranya yang rajin mewacanakan Sekularisme, tak pernah menisbahkan gagasan itu pada diri Cak Nur. Mereka paling jauh sekadar mengakui beliau sebagai mentor dan inspirator.

Buku Budhy, Argumen Islam untuk Sekularisme, memang menjadikan Cak Nur sebagai pijakan awal. Tetapi isi buku tersebut adalah elaborasi dan sistematisasi pandangan beberapa sarjana muslim Indonesia di zaman buku itu ditulis, termasuk pandangan Budhy sendiri, tentang sekularisasi dan sekularisme.

Kontroversi Sekularisasi

Kebetulan sekali, di bulan Januari 2020 ini, kita memperingati 50 tahun pidato monumental itu. Tawaran Cak Nur tentang sekularisasi, dan perdebatan yang muncul akibatnya, menandai babak baru peran intelektualnya dalam mewarnai wacana keislaman di Indonesia –sampai sekarang. Tawaran itu terdapat di dalam teks Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, yang disampaikannya di hadapan aktivis PII, HMI, dan lainnya, 2 Januari 1970.

Baca Juga  Pesan Kuntowijoyo Kepada Prabowo dan Sandiaga Uno

Menurut Ihsan Ali-Fauzi (2008), teks ini memang “…paling otentik produk Cak Nur.” Teks-teks Cak Nur lainnya, yang tentu jauh lebih tebal dari teks ini, adalah “… catatan kaki, eksplorasi lebih jauh, atau kamuflase yang ia pandang penting untuk berdakwah.” Saya sepakat dengannya, karena teks ini semacam pengkristalan dari apa yang menjadi renungan dan kegelisahan Cak Nur semenjak berkiprah sebagai intelektual muda (pra-teks) berusia 31 tahun, sekaligus pijakan bagi argumen-argumennya sebagai intelektual yang lebih matang setelah itu (pasca-teks).

Teks tersebut ringkasnya hendak mendobrak kebekuan yang terjadi di kalangan muslim Indonesia. Bagi Cak Nur, umat Islam terlalu menyakralkan tradisi, organisasi, atau partai politik, bahkan mengidentikkannya dengan Islam itu sendiri. Sakralisasi terkesan menjaga integrasi (persatuan) umat, tapi tak lagi memadai bagi zaman baru yang modern.

Liberalisasi harus dilakukan dengan tiga perinciannya: sekularisasi, kebebasan berpikir, dan idea of progress. Sekularisasi dipisahkannya dari Sekularisme; jika yang terakhir adalah suatu ideologi yang bertentangan dengan Islam, yang pertama adalah desakralisasi atas tradisi, organisasi, dan partai politik. Sekularisasi dalam pikiran Cak Nur “…bukan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis.”

Konteks pernyataan tersebut adalah sambutan Cak Nur atas peluang-peluang bagi umat Islam yang tersedia di awal Orde Baru, tetapi zonder Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi, yang berharap partai Islam terbesar ini direhabiltasi oleh Orde Baru, begitu kecewa ketika mengetahui Soeharto tak mewujudkan harapan itu dan HMI juga tak memperjuangkannya. Ada banyak cerita di balik sikap HMI tersebut tetapi terlalu panjang jika dibahas di sini.

Rumusan Sendiri

Tatkala kesadaran keberislaman mulai tumbuh di kalangan masyarakat biasa sampai birokrasi, Cak Nur merasa partai Islam –apalagi yang jelas-jelas memperjuangkan Negara Islam- tak lagi relevan.

Baca Juga  Membajak Demokrasi

Untuk menguatkan pandangannya itu, ia memasuki wilayah filosofis dan teologis tentang sekularisasi. Di sinilah konteks lain tentang Cak Nur yang jarang dibahas: wacana sekularisasi tersebut tak bercatatan kaki sehingga sulit dilacak (si)apa rujukannya, selain dugaan bahwa hal tersebut adalah rumusan Cak Nur sendiri yang begitu emosional melihat keadaan umat Islam. Ini terlihat dari pengakuannya di kemudian hari di buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi.

Pada mulanya, Mohammad Rasjidi menulis buku Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi. Sebagai sarjana yang menguasai filsafat Barat, Rasjidi menunjukkan pandangan-pandangan para filsuf dan ilmuwan sosial tentang sekularisasi. Semua menunjukkan bahwa sekularisasi, yang berkata dasar sekular dan menghasilkan kata turunan lain Sekularisme, adalah paham tentang pemisahan agama dari kehidupan manusia, baik di tingkat individu, masyarakat, maupun negara.

Istilah ‘sekular’ sudah mengandung muatan filosofis sejak awal, sehingga tak bisa disamakan dengan kata sosial yang bisa dikembangkan menjadi sosialisasi, dengan makna bebas-nilai, tetapi dapat pula menjadi Sosialisme yang langsung menandai ideologi tertentu. Rasjidi lantas mengatakan bahwa Cak Nur membuat arti sekularisasi secara arbitrair atau “semau gue”, yang karenanya bisa saja diganti dengan pisang goreng atau es jeruk.

Cak Nur lantas mengakui kekeliruannya menggunakan istilah tersebut di buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi yang terbit tahun 1985 itu. Meski menyumbang tulisan berjudul Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia, ia menulis catatan kaki no. 1 yang begitu panjang tentang kontroversi gagasan sekularisasi dan peringatan Rasjidi padanya. Catatan kaki tersebut ditutup dengan paragraf berikut:

Kesimpulannya, terdapat perbedaan cukup prinsipal antara pengertian “sekularisasi” secara sosiologis dan secara filosofis. Dan karena sedemikian kontroversialnya istilah “sekular”, “sekularisasi” dan “sekularisme” itu, maka adalah bijaksana untuk tidak menggunakan istilah-istilah tersebut, dan lebih baik menggantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.

Keterburu-buruan

Apakah pengakuan Cak Nur tersebut dapat dimaknai sebagai, dalam bahasa Ihsan Ali-Fauzi di atas, “kamuflase… untuk berdakwah”?

Baca Juga  Memahami Sejarah, Menjaga Semangat Transformasi Al-Qur’an

Jika mengabstraksi teks dan konteks pidato itu, kita akan menemukan persoalan yang lebih substansial, yakni hubungan Islam dan modernitas. Cak Nur hendak menjawab persoalan yang menjadi bahan perbincangan hampir seluruh sarjana muslim di dunia setelah melewati masa kolonialnya.

Sekularisasi menjadi salah satu tema perbincangan itu, baik sebagai wacana sosiologis-politis maupun teologis. Alih-alih mengacu pada argumentasi yang beredar, Cak Nur menyusun argumennya sendiri sampai membuat Rasjidi mencurahkan seluruh wawasannya tentang sekularisasi. Baru di teks yang datang kemudian, Masalah Pembaruan Pemikiran dalam Islam, Cak Nur merujuk Harvey Cox tentang pembedaan sekularisasi dan Sekularisme.

Jika sejak awal menggunakan istilah yang (seperti diakuinya) “…lebih tepat dan netral”, tak terburu-buru menggunakan istilah sekularisasi, Cak Nur mungkin bisa merangsang dialog yang lebih dingin dan lekas tuntas dalam beberapa kali polemik. Apalagi sasaran gagasannya hanyalah penyakralan masyarakat yang keliru terhadap hal-hal kultural dan politis, sesuatu yang hampir terjadi di setiap masa.

Keterburu-buruan itu lantas membuka pintu terlalu lebar bagi liberalisasi pemikiran Islam di kemudian hari, yang bahkan sangat inferior dalam mengapresiasi sesuatu yang ditolak Cak Nur sendiri: Sekularisme.

Wallahu A’lam

Editor: Nabhan Mudrik Alyaum
Avatar
1 posts

About author
Alumnus Program Studi Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina; bekerja di Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara dan Rumah Pengetahuan Amartya, Yogyakarta.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds