Inspiring

Hamka, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Arab

6 Mins read

Oleh: Hairus Salim HS*

Saya berasumsi bahwa setiap penulis Indonesia yang berkarya di awal hingga pertengahan abad 20, senantiasa terseret dalam perjuangan sekaligus persaingan untuk membentuk, memperkaya dan memaknai Bahasa Indonesia. Upaya mengembangkan dan memperkaya Bahasa Indonesia itu dipengaruhi di antaranya oleh latar belakang kedaerahan dan orientasi pengetahuan. Di antara para penulis ini penting untuk menyebut Hamka (1908-1981), yang karya-karyanya sangat masyhur sejak akhir 1930an.

Hamka dan Bahasa Arab

Hamka terkenal karena dua novel populernya, yang bahkan hingga kini pun masih terbit dan dibaca, Di Bawah Lindungan Kabah (1938) dan Tenggelamnnya Kapal Van der Wijk (1939), serta beberapa karya nonfiksinya seperti Tasauf Modern (1950), dan lain-lain. Hamka memang bukan penulis  arus utama, karya-karyanya dianggap terlalu pop, tetapi pengaruhnya kuat menancap, terutama di lingkungan masyarakat Islam. Tak salah kalau H. B. Jassin menyebutnya sebagai wakil Islam dalam konstelasi sastra Indonesia. Mungkin dialah pemula genre sastra ‘pop Islami’. Di luar itu, ia menulis banyak masalah keagamaan, sosial, dan budaya.

Sebagai orang yang berasal dari Minang, Hamka merupakan satu dari barisan para penulis Minang yang turut memengaruhi kecenderungan Bahasa Indonesia, meminjam istilah Hamka sendiri, dengan “gaya bahasa alunan Minang-”nya. Pada usia belasan ia telah membaca buku-buku terbitan Balai Pustaka (BP), yang disebutnya sebagai “buku2 yang teratur bahasanya” dan karena itu pula ia suka “bahasa yang teratur.” Kelak beberapa karyanya juga diterbitkan oleh BP. Ia merasa sungguh-sungguh menjadi sastrawan di antaranya karena karyanya Laila Majnun (1932) diterbitkan oleh BP. Belakangan ia banyak mendorong anak muda menerjemahkan karya-karya bercorak sejarah dari Bahasa Arab seperti karya –karya George Zaidan.

Dengan paparan itu, maka problem utama penerjemah dan penulis yang membawakan pengetahuan berbahasa Arab ke Bahasa Indonesia dalam aksara Latin adalah ‘soal transliterasi’ sejumlah istilah atau nama. Apalagi jika diingat, sejauh penelusuran saya, hingga akhir 1960an, tidak ada kamus Arab-Indonesia (Melayu) dalam aksara Latin. Dua kamus Arab-Melayu terkemuka, Kamus Idris al-Marbawi karya Syeikh Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi Syeikh al-Marbawy (1937) dan Kamus az-Zahabi karya Mahmud Junus (1930), yang banyak dipakai kalangan pesantren saat itu, masih ditulis dalam aksara Arab Melayu (Arab pegon).

Demikianlah, maka transliterasi dilakukan dengan meraba-raba, mencoba-coba, berijtihad, terutama berdasarkan pengucapan, yang tentu dipengaruhi lidah kedaerahan. Contoh nama pengarang Arab yang karyanya banyak diterjemahkan periode ini ditulis berbeda-beda: Djardji, Djirdji, Djurdji, dan belakangan ditulis George, sedangkan nama belakangnya ditulis dengan dua versi: Zaidan dan Zeidan.

Bahasa Melayu

Di luar masalah itu, Hamka memiliki pandangan tersendiri terhadap apa yang disebut sebagai bahasa Melayu-Minang itu. Dalam Kenang-kenangan Hidup (1951[1971]), menyitir ahli Bahasa Melayu dan Indonesia Prof. Dr. Fokker, Hamka mengatakan bahwa pengucapan orang Minangkabau yang lahir dan besar di Deli, Medanlah, yang layak jadi standar dalam Bahasa Melayu.

Baca Juga  Kiai Usman, Pendekar dan Wakil Ketua Muhammadiyah Pertama di Surabaya

Mengapa Deli? Deli pada awal abad 20 adalah daerah perkebunan yang ramai dan didatangi banyak kalangan dari berbagai penjuru Nusantara. “Sikap orangnja bebas dan bahasa Melaju-nya lantjar, telah hilang langgam daerah asal keturunannja, sehingga dapat didjadikan tumpuan pertama daripada pembinaan “Bahasa Indonesia Baru.” Demikian tulisnya, dalam pengantar novel Merantau ke Deli (terbit pertama sebagai buku 1941) yang mengambil latar kehidupan multietnis Deli. Bagi Hamka, perkembangan Bahasa Indonesia masa depan terletak pada hasil interaksi dan pergaulan warga bangsanya.

Kita tahu bahwa pada tahun-tahun 193oan, tak lama setelah ikrar ‘Sumpah Pemuda’ yang di antaranya menyatakan ‘berbahasa satu, bahasa Indonesia”, para cendekiawan pemuda yang bersumpah itu masih dihadapkan pada masalah internal: bahasa Melayu dialek mana yang cocok diangkat sebagai Bahasa Indonesia? Karena pada kenyataannya, Bahasa Melayu saat itu tidak hanya satu. A.H. Wignjadisastra (via Soewarsono, “Nuansa Politik Bahasa Indonesia”, 1998), menyebut setidaknya ada empat jenis Bahasa Melayu yang ada dan berkembang saat itu.

Pertama, Melayu Sekolah yang dipergunakan oleh mereka yang mengenyam pendidikan dan dipakai dalam buku-buku seperti Hikayat Hang Toeah, Si Miskin, Bachtiar, dan lain-lain. Kedua, Melayu Pasar, yang digunakan oleh orang bukan Melayu sebagai medium percakapan, terutama oleh mereka yang tinggal di Jawa. Dikenal juga sebagai ‘Melayu Kacauan’, karena dikacaukan dan dicampur dengan istilah-istilah local sesuai daerah masing-masing. Ketiga, Melayu Balai Pustaka, yakni Bahasa Melayu yang dikonstruksi oleh Balai Pustaka, yang sesuai dengan ejaan Van Ophuysen dan berbasis pada bahasa Melayu Kesultanan Riau. Tapi tak satu pun, kata Wignjadisastra, yang pantas dipilih menjadi Bahasa Indonesia. Karena itu, ia mengajukan alternatifnya, sebagai jenis dialek Bahasa Melayu yang keempat, yaitu Bahasa Melayu yang dipakai dalam surat-surat kabar Indonesia, yang saat itu sedang bertumbuh. Bahasa Melayu ini yang dipakai oleh media yang kemudian dikenal sebagai ‘bacaan liar’.

Menarik bahwa dalam perdebatan itu, Hamka menawarkan “pengucapan orang Minangkabau yang lahir dan besar di Deli, Medanlah, yang layak jadi standar dalam Bahasa Melayu”. Dalam bahasa lain, Hamka menawarkan bahasa Melayu Pasar atau yang menjadi lingua franca di kawasan Deli, yang jika mengikuti pembagian dan sekaligus pemikiran Wignjadisastra sama dengan Melayu Pasar,  yang berkembang di Jawa (dan mungkin daerah-daerah lain), dan sama tak bisa dipilih sebagai acuan Bahasa Indonesia.

Asal-usul Bahasa Indonesia

Tetapi di sisi lain, Hamka mengagungkan bahasa Melayu ‘Balai Pustaka’ yang dipandangnya memiliki  ‘bahasa yang teratur’. Sebagai kita tahu kemudian, atas usulan S. T. Pamuncak, ejaan resmi yang dipakai Bahasa Indonesia adalah ejaan Van Ophuysen berdasar kitabnya Logat Melajoe, yang kurang lebih juga menjadi acuan Balai Pustaka. Hamka, dengan demikian, dalam hal ini berada dalam pusaran arus utama.       

Baca Juga  Memahami Akal Merdeka ala M. Natsir

Hamka mengingatkan bahwa Bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu yang sangat terkait dan banyak menyerap dari Bahasa Arab. Karena itu, ia berpandangan, jika tidak ada suatu istilah dalam Bahasa Melayu, maka Bahasa Arab harus didahulukan sebagai sumber untuk ditimba. Demikian salah satu karakter Bahasa Melayu ‘Balai Pustaka’. Sebagaimana pernah disebut Pramoedya Ananta Toer, Bahasa Melayu Balai Pustaka banyak memasukkan kata-kata dari Bahasa Arab dan Eropa, dan menabukan istilah-istilah lokal serta menganggapnya asing.

Berbeda dengan para penulis yang menguasai Bahasa Belanda atau Inggris yang banyak memasukkan kosakata kedua bahasa itu ke dalam bahasa Indonesia, maka Hamka banyak menyelipkan kosakata Arab. Sudah umum dikenal bahwa Hamka memang sangat menguasai bahasa dan kesusastraan Arab, tetapi relatif terbatas dalam penguasaan bahasa asing yang lain. Ia mengenal karya-karya sastra dunia dari terjemahan dalam Bahasa Arab.  Ingat, ia pernah menerjemahkan karya Alexander Dumas Jr. ke dalam Bahasa Indonesia, Margaretta Gauthier (1943), bukan dari Bahasa Prancis, Inggris atau Belanda, tapi dari Bahasa Arab.

Dengan paparan itu, maka kerisauan Hamka dengan perkembangan Bahasa Indonesia adalah apa yang dianggapnya sebagai gejala untuk “…memerdekakan Bahasa Indonesia dari hubungan dengan Arab…” Agak menarik istilah yang dia pakai ‘memerdekakan’. Artinya, Bahasa Indonesia pada dasarnya subordinat terhadap dan sangat banyak berutang pada Bahasa Arab. Hubungan antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab amat dekat sekali. Tetapi kini ‘hubungan’ antara keduanya itu hendak diputus.

Memutus Hubungan dengan Arab

Pertama-tama hal itu ditandai dengan pemilihan aksara Latin dan penyingkiran aksara Arab (Arab pegon/Arab Melayu). Proses ini berlangsung sejak tahun 1930an, ketika pemerintah kolonial Hindia-Belanda membuka sekolah-sekolah umum. Mereka memutuskan untuk menggunakan huruf latin, dan bukan aksara Arab Melayu/pegon, yang sebenarnya lebih populer di masyarakat saat itu. Pemerintah Indonesia merdeka kemudian meneruskan kebijakan ini dan aksara Arab pun menghilang.

Kedua, ‘soal transliterasi’ sejumlah istilah atau nama, yang menurutnya, banyak mengubah makna kata. Contoh penggantian (‘) atau ‘koma di atas’ untuk huruf ‘ain, menjadi ‘k’. Misal ni’mat menjadi nikmat. Terakhir, penyingkiran istilah Melayu atau Arab, dengan kata-kata dari Inggris, Belanda, atau belakangan Jawa. Contoh, pelancong menjadi turis, atau tamasya menjadi wisata. Bahasa Arab adalah salah satu akar Bahasa Melayu, dan tercerabut dari akar inilah, menurut Hamka, satu faktor Indonesia menjadi terpisah dengan saudaranya serumpun, Malaysia.

Baca Juga  Abdul Kalam, Presiden Intelektual dari India

Hamka mengeluhkan kecenderungan perkembangan Bahasa Indonesia ini ketika ia mulai menulis hingga tahun 1970an. Tetapi kalau kita memeriksa perkembangan mutakhir bahasa Indonesia, justru yang kini berlangsung gejala yang sebaliknya, terjadi semacam ‘arabisasi’  –sebagai bagian dari semangat Islamisasi– terhadap kata-kata yang telah tersedia dalam bahasa Indonesia, yang (mungkin) dianggap ‘tidak islami’.

Lalu, sebagai bagian dari ‘islamisasi’ itu, sebagian besar istilah dari bahasa Arab ini ditulis dengan transliterasi yang mereka pandang sesuai dengan bunyi dan maknanya, berbeda dengan transliterasi baku. Yang muncul kemudian suatu gejala yang disebut dalam tatabahasa Indonesia sebagai ‘hiperkorek’ (hypercorrect), yakni yang sudah betul dibetul-betulkan lagi akhirnya malah menjadi salah.

Gejala ini khas Bahasa Indonesia dan bukan kebetulan banyak berhubungan dengan kata-kata Arab, karena kenyataan bahwa Bahasa Indonesia tidak memiliki beberapa fonem yang dimiliki Arab.  Contoh, –saya mengulang sedikit apa yang pernah saya tulis di alif.id–, kata ramadan misalnya ditulis dengan berbagai cara yang diasumsikan mendekati aslinya: ramadhan, ramadlan, romadhon. Kata salat sering ditulis shalat atau sholat. Kata musala ditulis musholla, mushala, mushalla. Kata afdal ditulis afdhal atau afdhol. Contoh-contoh gejala hiperkorek ini bisa dideretkan lebih panjang lagi.

Arah Perkembangan Bahasa

Para ‘ikhwan’ itu merasa penulisan yang tidak sesuai dengan bagaimana kata-kata itu aslinya diucapkan akan mengubah makna.  Tetapi mereka lupa bahwa kata-kata itu ditulis dengan aksara Latin dalam Bahasa Indonesia. Sebab, seperti dikatakan ahli tata bahasa Indonesia J. S. Badudu sekian tahun lampau, dari segi lingustik, Indonesia tidak memiliki fonem-fonem seperti /f, kh, sy, z/ seperti yang ada dalam Bahasa Arab.

Karena itulah variasi antara f – p, kh – k – h, sy – s, z – j, tidak menimbulkan perbedaan arti. Beberapa  kata Arab yang sudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia sedemikian rupa seperti kata hadir tak perlu ditulis hadhir atau hadlir. Atau batin tidak harus lagi ditulis bathin, dan cara penulisan seperti ini tidak akan mengubah arti sama sekali.

Islamisasi kata-kata dan hiperkorek dalam berbahasa menandai perkembangan sebagian masyarakat Islam Indonesia akhir-akhir ini. Bahasa memang merupakan gelanggang tawar menawar budaya dan identitas yang lunak, tapi tak jarang juga keras sekali.  Ke mana perkembangan ini menuju tampaknya akan ditentukan proses-proses sosial, politik, dan budaya di masa mendatang.

Apakah perkembangan seperti ini yang dibayangkan dan diinginkan Hamka? Tampaknya tidak demikian. Hamka, yang jika kita tilik di beberapa karyanya masih menyebut ‘Ramadan’ dengan ‘bulan puasa’ atau ‘salat’ dengan ‘sembahyang’, sebenarnya mengusulkan untuk mencari dulu ke dalam khazanah bahasa Arab istilah yang tidak ada dalam Bahasa Indonesia, bukan mengganti atau menggeser istilah-istilah yang sudah ada tersebut dengan istilah-istilah yang baru, entah dari bahasa Inggris atau Jawa, tak terkecuali juga dari bahasa Arab. Demikian Hamka tentang Bahasa Indonesia, sependek yang saya telusuri, sebatas yang saya pahami.

*) Editor dan penulis.

Avatar
1 posts

About author
Esais. Bekerja di Yayasan LKiS dan Gading Publishing, Jogjakarta.
Articles
Related posts
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…
Inspiring

MY Esti Wijayati, Legislator Perempuan di Balik Perjuangan Panjang UU TPKS

3 Mins read
Bicara tentang pendidikan dan juga pemberdayaan perempuan, MY Esti Wijayati atau sering disapa Mbak Esti, bukan orang baru dalam dua percakapan tersebut….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *