Inspiring

Marlboro Man: Simbol Titik Jenuh Atas Modernitas

3 Mins read

Modernitas seringkali dikaitkan dengan adanya proyek industrialisasi dan arus globalisasi yang sangat pesat. Menurut Anthony Gidden, modernitas memang memiliki implikasi yang logis ke arah globalisasi. Salah satu karakter globalisasi sendiri adalah semakin kaburnya border dan akses atas informasi yang kian tak terbatas.

Arus informasi yang tak terbatas ini ternyata tidak diiringi oleh penyelesaian tiga fenomena yang menyertainya: disparitas kaya-miskin, destruksi lingkungan dan penindasan rulling class. Modernitas jika tidak terpantau dengan baik, maka akan berpotensi menjadi ‘tersangka’ atas kerusakan yang ada.

Marlboro Man

Seorang filsuf kontemporer, Albert Borgmann menganalogikan era modernitas ini dalam konteks Marlboro Man yang diciptakan oleh Leo Burnett Worldwide. Kala itu publik Amerika Serikat memiliki kekaguman besar pada kesempurnaan dan kharismatik sosok Marlboro Man yang dihadirkan oleh televisi dan media.

Marlboro Man menghadirkan sosok seorang cowboy yang gentle, maskulin dan tentu diidam-idamkan oleh generasi muda Amerika Serikat pada zamannya. Akan tetapi, realitas sesungguhnya sangat kontradiktif dengan gambaran tersebut. Karena ternyata Marlboro Man hanya berada di televisi sebagai sebuah skenario.

Bahkan, aktor yang memerankan karakter Marlboro Man memiliki karakter pribadi yang sangat berbeda dari yang kebanyakan orang kira. ‘Maskulinitas’ yang ditampilkan hanyalah sebuah kontruksi belaka.

Tempat bernuansa gurun yang dijadikan sebagai lokasi khasnya juga hanyalah gambaran yang sepenuhnya tak sesuai dengan realita. Pun dengan pemain senjata yang dieksploitasi sendiri juga tidak sepenuhnya benar. Singkatnya, konstruksi tersebut sebenarnya jauh dari realitas yang sesungguhnya.

Titik Jenuh Modernitas

Tanpa disadari bahwa sebetulnya kepalsuan telah beririsan dengan realita melalui teknologi komunikasi. Kondisi inilah yang disebut Borgmann sebagai “Post-modern world”. Dunia post-modern ini hingga sekarang masih menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan praktisi sosial. Padahal masalahnya sederhana: kemajuan telah melahirkan absurditas.

Baca Juga  Tsunami Awareness Day 2020: Peluang Wakaf untuk Recovery

Borgmann pun menyimbolkan absurditas tersebut dengan karakter Marlboro Man. Manusia kian menjadi mekanis dan mudah terasing dari realitasnya ketika tidak menceburkan diri ke dalam absurditas tersebut.

Realitas yang muncul dari dunia post-modern adalah realitas yang beririsan dengan konstruksi. Hal tersebut tercermin dari pola komunikasi manusia yang kian kompleks. Jika saat itu manusia berkomunikasi secara langsung, kini komunikasi mengandalkan jaringan telepon, internet atau fasilitas teknologi lain yang mengesampingkan jarak dan waktu.

Dampak sosialnya, manusia tidak perlu lagi keluar rumah untuk berkomunikasi. Cukup berdiam di tempat tinggal, tanpa perlu melihat realitas yang ada di lingkungannya, ia sudah dapat dikatakan “makhluk sosial”. Persoalannya, bagaimana manusia tersebut merespon masalah sosial yang muncul ketika ia harus menghadapi realitas secara fisik?

Maka, hadirnya sosok Marlboro Man menjadi simbol bahwa apa yang nampak di media bahkan di dunia maya tidak selamanya dapat direalisasikan. Sebab modernitas telah menghilangkan sedikit demi sedikit batasan antara idealita dan realita.

Pada kasus negara Jepang, hal ini telah lama menjadi problem mereka. Sebagian kita mengenal generasi muda Jepang yang menarik diri dari lingkungan sosialnya, yang biasa disebut hikikomori.

Ciri utama dari generasi ini adalah menutup diri dari dunia luar dan cenderung menghabiskan waktunya di dalam kamar dengan bermain game, mendengarkan musik atau kegiatan lainnya tanpa berinteraksi dengan dunia luar.

Padahal, teknologi sebenarnya juga memiliki nilai paradoks berupa munculnya ‘realitas maya’ yang mengalienasi manusia dari ruang fisikal-material tempat ia hidup sehari-hari.

Gaya Individualis

Hal-hal semacam di atas ini, dalam konteks masyarakat Indonesia akan menjadi sangat problematis, karena berpotensi melahirkan individualisme ekstrem. Cara seperti ini tidak lagi memikirkan dimensi etis ketika kita bersosial.

Baca Juga  Asma Barlas, Pelopor Kesetaraan Gender di Pakistan

Bahkan, menurut Prof. Quraish Shihab, fase ini merupakan masa hilangnya akhlak dari kehidupan kita. Moral yang diajarkan oleh bangsa dan leluhur kita, demikian juga yang diajarkan oleh agama kita, kini sudah sirna dalam hidup keseharian.

Gaya individualis akan sangat bertumpu pada apa yang akan melahirkan kesenangan hidup pada dirinya, dengan meniadakan pemikiran atas apa yang menjadi hak-hak orang lain. Dampaknya, modal sosial akan dikesampingkan.

Pada titik yang lebih ekstrem, cara berpikir tersebut rawan jatuh pada logika “Homo homini lupus”, seperti yang diungkapkan oleh Thomas Hobbes. Manusia akan menjadi serigala bagi manusia lain atau tidak segan membunuh demi kesenangan dirinya. Moral manusia berubah menjadi skeptis. Akibatnya, kita menghadapi pergeseran dalam persoalan moralitas.

Standar-standar moral yang telah secara tegas terwarisi dari kultur sebelumnya menjadi absurd. Ketika moralitas tersebut bergeser orientasi, maka muncul kekhawatiran akan ditinggalkannya dimesi etis yang digantikan oleh hedonisme, konsumerisme dan individualisme sebagai efek dari modernitas itu sendiri.

Masa Dekonstruksi

Era modernitas yang sangat berlandaskan pada aspek duniawi akan meninggalkan nilai spiritualitas dan agama, karena menjadi sulit dinalar dalam realitas yang kompleks. Bahkan, jika hal tersebut diabsurdkan, kita tidak hanya menghadapi fenomena sekularisasi, tetapi juga sikap-sikap anti agama.

Dalam masa modernitas semua lini akan didekonstruksi, termasuk soal keagamaan yang sentral dalam masyarakat Indonesia. Hal ini yang menjadikan basis moralitas terdefinisi ulang dan berpotensi melahirkan kerawanan-kerawanan, karena interaksi dengan alam yang rasional dan meninggalkan etika.

Akhirnya, kita akan dihadapkan dengan pertanyaan berikut: Siapa yang mendorong modernitas dan kemajuan zaman? Apakah manusia yang mendesain informasi dan menggunakannya untuk kemajuan? Atau justru informasilah yang mengkonstruksi cara berpikir manusia?

Baca Juga  Mbah Liem dan Slogan NKRI Harga Mati

Akibatnya, akan bermunculan absurditas-absurditas baru. Pada titik ini, era pasca industrial akan menjadi sangat problematis. Satu yang terpenting adalah kita jangan berharap Marlboro Man akan datang bagai pahlawan dan menjawab segala absurditas yang ada.

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
4 posts

About author
Filsuf Jalanan | Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *