Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read

Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab tafsir selalu dihegemoni oleh mufassir laki-laki. Penelusuran dari berbagai kitab indeks mufassir dan kitab tafsir seperti karya Az-Zahabi dengan “Tafsir Wal Mufassirun” dan Ahmad ibn Muhammad Al-Adnadwi kitabnya berjudul “Thabaqat Al-Mufassirin” tidak menyebutkan mufassir Bintu Syathi’ sebagai cendekia tafsir Qur’an (Adnadwi, 1997; Az-Zahabi, 2000).

Asma Barlas dalam bukunya “Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an” mengkritik dominasi tafsir laki yang selalu mewartakan dalil-dalil misoginis serta mempertanyakan apakah Tuhan menghendaki supremasi laki-laki? (Barlas, 2019, p. 2). Oleh karena itu, kemunculan sosok Bintu Syathi’ merupakan figur sentral sebagai mufassir perempuan yang cenderung bernuansa sastrawi. Bintu Syati’ merupakan tokoh sentral dalam membuka keran wacana penafsiran bagi perempuan, walaupun nuansa yang dihadirkan tidak begitu kuat atas usaha menghilangkan hegemoni tafsir laki-laki.

Pendekatan sastra dalam Al-Qur’an bernilai sastra tinggi yang diakui para sastrawan Arab (Zahniser, 2020, p. 278). Pandangan Al-Qur’an sebagai huda dan bagian dari haqaiq tarikhiyah ijtim’iyah (Mofid & Hamdy, 2021, p. 241). Hal ini pun diadopsi Syathi’ dalam merumuskan tafsir sastranya. Rumusan penafsiran sastra dirinya berlandaskan argumen Amin al-Khulli yang pada perjalanan kehidupannya tidak hanya sebagai guru, tetapi berstatus istri di kemudian hari.

Pandangan Amin Al-Khulli yang diadaptasi Syathi’ adalah pemahaman Al-Qur’an melalui sastra yang dianggap mampu menghilangkan subjektifitas penafsir yang bersifat ideologis maupun politis. Hal ini karena sastra mengedepankan hikmah dan nilai-nilai keindahan dalam Al-Qur’an (Mofid & Hamdy, 2021, p. 244). Dirinya juga menegaskan bahwa Al-Qur’an harus dianggap sebagai teks sastra biasa (adabī) dan aturan-aturan kritik sastra modern harus diterapkan padanya (Campanini, 2020, p. 850).

Dari penjelasan di atas, tulisan ini mencoba untuk merumuskan bagaimana penafsiran Bintu Syathi’ yang berbasis sastrawi serta ekplorasi dirinya dalam runtutan sejarah mufassir modern pertama.

Dinamika Mufassir Perempuan dalam Sejarah

Tirani hegemoni produksi penafsiran laki-laki menunjukkan dan mendukung kelestarian budaya patriarki. Mayoritas mufasir laki-laki yang menafsirkan dan membaca kitab suci bernuansa perempuan menggunakan pandangan dirinya sendiri, tanpa mencoba mendiskusikan dengan apa yang dipahami perempuan.

Seperti yang telah ditunjukkan oleh banyak para sarjana memperlihatkan ketimpangan dan diskriminasi mungkin tidak berasal dari ajaran Al-Qur’an, tetapi dari teks-teks agama sekunder, tafsir (tafsir Al-Qur’an) dan hadits (hanya hadits) (kisah-kisah yang mengklaim detail kehidupan Nabi Muhammad) dan amalan Al-Qur’an. Oleh karena itu, “dengan kembali ke interpretasi baru dan langsung dari Al-Qur’an dan melihat Hadis dengan cara yang baru dan kritis yaitu, mempraktikkan ijtihad kreatif serta otoritas Islam modern dapat mereformasi posisi mereka dan mereposisi kedudukan mufassir perempuan (Barlas, 2019, pp. 3–4).

Baca Juga  Kenegarawanan Ki Bagus Hadikusuma

Teori dan Praksis hierarki gender yang dilakukan oleh beberapa sarjana muslim merujuk pada regulasi hukum dan sosial dari hasil produk penafsiran atas Al-Qur’an. Pembacaan yang sepihak itulah yang menimbulkan non-egaliter serta mereduksi peran-peran perempuan (Anwar, 2017, p. 51).

Pernyataan Riffat Hasan yang dikutip dalam tulisan Fawaid mengatakan bahwa:

Hingga saat ini, tradisi Islam secara umum sangat ketat tentang patriarki dan belum mendorong tumbuhnya ulama perempuan, khususnya yang berspesialisasi dalam pemikiran keagamaan. Dengan demikian, sumber-sumber yang menjadi landasan tradisi Islam, khususnya Al-Qur’an, Hadits, dan Fiqh, semuanya hanyalah interpretasi orang-orang yang bertugas menentukan posisi secara ontologis, teologis, sosiologis, dan eskatologis. tentang wanita Muslimah” (Fawaid, 2015, p. 59). 

Dalam berbagai kitab mu’jam mufassir dan kitabnya seperti karya Az-zahabi dengan “Tafsir Wal Mufassirun” dan Ahmad ibn Muhammad Al-Adnadwi kitabnya berjudul “Thabaqat Al-Mufassirin”  yang mengenalkan para mufassir. Pada kedua kitab tersebut sama sekali tidak menyebutkan nama Bintu Syathi’. Begitu pun di kitab-kitab lainnya tidak disebutkan keberadaannya.

Kehidupan Bintu Syathi’

Pada 6 November 1913, di tepian sungai Nil di perkampungan Dumyat Mesir, lahir Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ (w. 1998). Putri dari pasangan Syeikh Muhammad Ali Abdurrahman dan Faridah Abdussalam Muntasir ini tumbuh dalam kungkungan budaya patriarkhi dan di bawah pengaruh kolonialisme Inggris. Ayahnya merupakan tokoh agama yang cenderung konservatif dan sempat melarang anak perempuan belajar di sekolah sekuler. Ayahnya sebenarnya lebih mendambakan kelahiran anak laki-laki untuk dididik menjadi ulama (Jannah, 2017, p. 82).

Di usia lima tahun, Bintu Syathi’ dimasukkan ke kuttab Syaikh Mursi di Shubra Bakhum. Setahun kemudian, ia telah hafal 15 juz al-Quran. Pada 1920, Bintu Syathi’ menyatakan keinginan untuk sekolah formal, tetapi ditolak oleh ayahnya didasari pemahaman tekstual atas Q.S. al-Ahzab: 32-34 yang melarang perempuan keluar rumah dan berhias. Ibunda dan kakeknya, Syeikh Ibrahim Damhuji, berhasil meluluhkan sang ayah. Bintu Syathi’ pun direstui untuk sekolah dengan syarat tertentu (Jannah, 2017, p. 84).

“Kitab pertama yang menjadi perhatianku adalah al-Quran, itulah inspirasi terbesar yang mendorongku mencintai ilmu dan semangat belajar mengalir dalam darahku. Ayahku seorang alim, dia yang menanamkan kecintaan pada ilmu. Tapi mengapa dia juga yang menghalangi jalanku, maka kutabrak halauannya dan aku yang berhak menang,” tutur Bintu Syathi’ yang menjadi perempuan ketiga Mesir yang berkuliah, setelah Aminah As-Sa’id dan Sahir Al-Qolmawi. Ia tumbuh menjadi perempuan Arab modern, rasional, berwawasan luas, berbudaya, dan berkomitmen pada nilai Islam.

Baca Juga  Benarkah Nabi Ibrahim Pernah Menjadi Ateis?

Di masa sekolah menengah, kakeknya sering meminta Bintu Syathi’ membelikan koran Al-Ahram dan Al-Muqattam. Di kedua koran tersebut, sang kakek kerap menulis kritik ke pemerintah tentang pengelolaan sungai Nil yang penuh limbah, sehingga mengancam kelestarian biota dan keselamatan nelayan. Kritikannya didiktekan kepada cucunya untuk diketik. Dari sini, kecintaan Bintu Syathi’ pada dunia tulis-menulis tumbuh.

Karya-karya Bintu Syathi’

Semasa menjadi mahasiswi, ia menulis untuk beberapa majalah perempuan Mesir. Pada 1935, ia diminta menjadi penulis tetap di harian terbesar Mesir, Al-Ahram. Untuk menyamarkan identitasnya, ia menggunakan nama pena Bintu Syathi’. Artinya, putri pesisir atau gadis tepi sungai atau pantai, yang mengacu pada desa Dumyat, tempat air sungai Nil dan Mediterania bertemu. Tahun 1942, ia menerbitkan novel Master of the Estate, yang menggambarkan gadis petani korban budaya patriarki dan feodalisme (Sya’dyya, 2020, p. 146).

Pada 1939, ia meraih gelar Lc/BA dari Universitas Fuad I Kairo dengan nilai mumtaz. Dua tahun kemudian, menyelesaikan jenjang Magister dengan predikat Summa Cumlaude. Tahun 1950, meraih gelar doktor yang diujikan langsung oleh Taha Hussein. Pada 1967, ia meraih gelar Profesor bidang Bahasa dan Sastra Arab di Universitas ‘Ain Syams. Ia juga menjadi guru besar di Universitas Qarawiyyin Maroko. Di luar itu, ia mengisi kuliah tamu dan menjadi pembicara dalam berbagai forum di Suriah, Arab Saudi, Irak, Uni Emirat Arab, Roma, Aljazair, New Delhi, Kuwait, Yerusalem, Rabat, Fez, dan Khartoum.

Bintu Syati’ menulis lebih dari 40 buku, ratusan artikel, cerita pendek, dan esai. Bahkan, ada yang menyebut bintu Syathi’ telah menulis 60 buku. Karyanya merentang dari tema fiksi dan puisi, hingga tema sosial, sastra, dan Islam. Salah satunya adalah kitab yang sangat dikenal kalangan pemerhati khazanah tafsir yaitu At-Tafsirul Bayani lil Qur’anil Karim (vol. 1. 1962 dan vol. 2. 1969). Di dalamnya dirinya menolak konsep anonim kata dalam al-Qur’an, dengan alasan setiap kata dalam al-Qur’an tidak memiliki padanan makna (Qaththan, 2014, p. 466).

Di antara kitabnya yaitu: At-Tafsirul Bayani lil Qur’anil Karim, vol. 1 (1962), vol. 2 (1969) diterbitkan oleh Darul Ma’arif, Kairo; Kitabuna Akbar, terbit di Umm Duman, Maroko (1967); Maqal fil Insan, Dirasah Qur’aniyah, diterbitkan oleh Darul Ma’arif, Kairo (1966);  Al-Qur’an wat Tafsir Al-‘Asyri, diterbitkan oleh Darul Ma’arif, Kairo (1971); Al-I’jazul Bayani lil Qur’anil Karim, diterbitkan Darul Ma’arif, Kairo (1971);  Al-Hayatul Insyaniyah ‘inda Abil A’la, diterbitkan oleh Darul Ma’arif, Kairo (1944); Nisa’un Nabi, Banatun Nabi, Ummun Nabi, diterbitkan oleh Darul Hilal, Kairo;  Al-Mafhumul Islami li Taqriril Mar’ah, terbit tahun 1967;  Lughghtuna wal Bayan, terbit di Kairo (1969); dan sebagainya (HS & Parninsih, 2019, p. 85).

Baca Juga  Varian Islam Jasser Auda: Tradisional, Modern, dan Postmodern

Beberapa Contoh Interpretasi Sastrawi Bintu Syathi’

اِذَا زُلْزِلَتِ الْاَرْضُ زِلْزَالَهَاۙ وَاَخْرَجَتِ الْاَرْضُ اَثْقَالَهَاۙ

1. Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, 2. bumi mengeluarkan isi perutnya.

Ketika bumi diguncang dengan goncangan yang dahsyat” Melalui penjelasan linguistiknya Bintu Syathi’ menafsirkan kata zalzalah yang merupakan pergerakan yang keras dan suatu goncangan yang mencekam adanya peristiwa yang dapat dirasakan oleh indra.

Pada ayat ini sirna karena rahasia hari kiamat tidak ada yang mengetahui kecuali Allah SWT. Dengan standar bentuk bahasa, maka makna tidak adanya fa’il pada ayat ini merupakan pemusatan perhatian disebabkan oleh peristiwa tersebut yang menimbulkan kesan bahwa bumi terguncang oleh sendirinya.

Pada fi’il ma’di menegaskan bahwa peristiwa adanya suatu keharusan yang didahului dengan 3 yang menyimpan konotasi mustaqbal (masa depan). Oleh sebab itu, rahasia kalimat zalzalah adalah merupakan suatu kejutan mendadak. Dengan dibaca kasrah: pada kata ini merupakan bentuk masdar yang memiliki fungsi sebagai adanya penguat yang sesuai dengan konteksnya. Diperkuat aturan sebagai masdar dalam ayat ini yakni Q.S. al- ‘Ahzab ayat 33 (Abdurrahman, 1969). Bintu Syathi’ meresum tafsir ayat ini bahwasannya goncangan yang sangat dahsyat tiada bandingannya.

dan bumi telah mengeluarkan beban beratnya” Pada ayat ini Aisyah Abdurrahman menjelaskan bahwa, dalam kalimat bumi merupakan fa’il walaupun benda mati. Hal tersebut ‘Aisyah Abdurrahman menjelaskan, bahwa bumi dalam kalimat ini adalah fa’il meskipun benda mati; hal ini untuk menunjukkan ketaatan dan ketundukan bumi pada kondisi tersebut.

Dirinya menambahkan bahwa persoalan beban berat adalah ketika saatnya tiba sehingga wahyu bahwa bumi menghilangkan sesuatu dari perutnya kurang kesan dan tidak berdampak, dan kurang memadai untuk menjelaskan tentang hari penghakiman. Makna dari ayat ini adalah bahwa bumi akan mengeluarkan rahim untuk melepaskan diri dari apa yang membebaninya. Dalam hal ini, ‘Aisyah Abdurrahman mengacu pada Q.S. al-Insyiqaq ayat 3-4 yang menyebutkan (Abdurrahman, 1969):

وَاِذَا الْاَرْضُ مُدَّتْۙ وَاَلْقَتْ مَا فِيْهَا وَتَخَلَّتْۙ

3. Apabila bumi diratakan, 4. memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong.

Editor: Soleh

Roma Wijaya
9 posts

About author
Dosen STAI Syubbanul Wathon Magelang Minat Kajian Tafsir, Hadis, Sejarah, Pemikiran Islam, Gender
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *