Inspiring

Kenegarawanan Ki Bagus Hadikusuma

4 Mins read

Oleh Lukman Hakiem

Dalam pidato di BPUPKI pada 31 Mei 1945, Ki Bagus antara lain mengemukakan keyakinannya bahwa Islam sedikitnya sudah enam abad menjadi agama kebangsaan Indonesia dan sedikitnya sudah tiga abad sebelum Belanda menjajah, hukum Islam sudah berlaku di Indonesia dengan sebaik-baiknya. Menurut Ki Bagus, banyak sekali hukum Islam yang sudah menjadi adat istiadat bangsa Indonesia, sehingga tidak akan salah lagi bila dikatakan bahwa hukum Islam sudah menjadi adat istidat bangsa Indonesia.

Islam: Jiwa yang Hidup dan Bersemangat

Dalam hubungan dengan semangat kebangsaan, Ki Bagus mengingatkan, bukankah tokoh-tokoh yang berani menentang imperalisme Belanda adalah tokoh-tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, dan kiai-kiai lain yang merupakan penganjur dan pendekar rakyat yang berpegang teguh kepada Islam serta mendasarkan perjuangannya di atas dasar agama Islam.

Menurut Ki Bagus, jika dilihat perkembangan pergerakan rakyat Indonesia pada kurun terakhir di awal abad ke-20, mulai Indische Partij, Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan lain-lain; maka yang mendapat sambutan serta pengaruh yang terbesar dari seluruh rakyat Indonesia adalah Sarekat Islam.

Sarekat Islam yang mendasarkan pergerakannya kepada ajaran Islam mampu menggabungkan segenap rakyat dari segala pelosok kepulauan Indonesia. Tidak hanya di Jawa, pengaruh Sarekat Islam menyebar ke Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan lain-lain.

Melihat kenyataan tersebut, Ki Bagus menyimpulkan bahwa di dalam diri umat Islam tersembunyi jiwa yang hidup dan bersemangat. Dengan pengaruh agama Islam kepada rakyat Indonesia yang sangat kuat dan mendalam, maka Ki Bagus yang menyebut dirinya sebagai “seorang bangsa Indonesia tulen” dan “sebagai Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka” mengharapkan agar Indonesia merdeka  mendasarkan dirinya kepada agama Islam, sesuai dengan jiwa rakyat yang terbanyak.

Bagi Ki Bagus, Islam yang diusulkannya menjadi dasar negara itu, paling sedikit mengandung: (1). Mengajarkan persatuan atas dasar persaudaraan yang kukuh, (2). Mementingkan perekonomian dan mengatur pertahanan negara, (3). Membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan, (4). Tidak bertentangan, bahkan sangat sesuai dengan kebangsaan kita, dan (5). Membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala-nyala.  

Baca Juga  Pak Jakob dan Visi Humanisme Kompas

Ki Bagus juga mengingatkan bahwa umat Islam sekarang sudah insaf, sudah luas pandangannya dan sudah lebar dadanya, suka bekerja bersama-sama dengan siapa dan di mana saja, asal tidak tersinggung agamanya.

Panitia Delapan BPUPKI

Patut diduga, lantaran keteguhannya menyuarakan aspirasi Islam, maka ketika mula-mula dibentuk Panitia Kecil BPUPKI yang terdiri atas 8 anggota, karena itu boleh juga disebut Panitia Delapan, Ki Bagus Hadikusumo dipilih menjadi salah seorang anggotanya. Tujuh anggota yang lain ialah: Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Mr. A.A. Maramis, R. Oto Iskandardinata, Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo, dan K.H. A. Wahid Hasjim. Tugas Panitia Kecil ini adalah mengumpulkan usul-usul para anggota yang akan dibahas pada masa sidang yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1945.

Mengenai dasar negara, Panitia Kecil mencatat 7 usul, yaitu: 1. Kebangsaan dan Ketuhanan (11 pengusul), 2. Kebangsaan dan Kerakyatan (2 pengusul), 3. Kebangsaan, Kerakyatan, dan Ketuhanan (3 pengusul), 4. Kebangsaan, Kerakyatan, dan Kekeluargaan (4 pengusul), 5. Kemakmuran hidup bersama, kemajuan kerohanian, kecerdasan pikiran bangsa Indonesia bertakwa, berpegangan teguh pada tuntunan Tuhan Yang Maha Esa, Igama Negara ialah agama Islam (1 pengusul), 6. Kebangsaan, Kerakyatan, dan Islam, dengan catatan agama Islam harus diakui sebagai agama negara dengan kemerdekaan seluas-luasnya bagi penduduk untuk memeluk agama yang bukan Islam (3 pengusul), dan 7. Jiwa Asia Timur Raya (4 pengusul).

Melihat kenyataan usul-usul di atas, tidak mengherankan jika dalam rumusan Panitia Sembilan (pengganti Panitia Delapan dan dibentuk atas prakarsa Bung Karno) yang terdiri atas Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Mr. A.A. Maramis, K.H. A. Wahid Hasjim, Mr. Achmad Soebardjo, K.H. A. Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan H. Agus Salim; Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dengan mudah disepakati menjadi dasar yang pertama dari susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.

Baca Juga  Muhammadiyah: Besar Quota, Fakir Followers

Ketika pada 10 Juli 1945 hasil kerja Panitia Sembilan ini dibawa ke rapat besar BPUPKI, dan mendapat kritik dan sanggahan dari beberapa anggota, Ir. Sukarno selaku Ketua Panitia Sembilan gigih mempertahankan rumusan Pembukaan hukum dasar itu. Sesudah melalui perdebatan panjang, dalam rapat BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945, rancangan Preambule dan batang tubuh Undang-Undang Dasar diterima –dalam kata-kata Ketua BPUPKI Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat—“dengan suara sebulat-bulatnya.”  Preambule rumusan 22 Juni 1945 itulah yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta.

Sampai di sini, mau tidak mau, kita harus mencatat peranan seorang lagi kader Muhammadiyah, K.H. A. Kahar Mudzakkir, di dalam merumuskan konstitusi negara dalam kedudukannya sebagai anggota Panitia Sembilan. Sayangnya sampai sekarang dokumen perdebatan di Panitia Sembilan belum ditemukan sehingga belum terpublikasikan.

Sesudah bersidang pada 16 Juli 1945, BPUPKI “hilang”. Posisi BPUPKI digantikan oleh PPKI. Berbeda dengan BPUPKI yang beranggotakan 60 orang ditambah 6 anggota tambahan dan 7 wakil Jepang sebagai anggota istimewa, PPKI hanya beranggotakan 27 orang. PPKI yang dibentuk pada 7 Agustus 1945, entah mengapa, baru bersidang pada 18 Agustus 1945.

Di PPKI, yang anggotanya hanya 21 orang plus 6 anggota tambahan jumlah anggota yang berasal dari kalangan Islam makin merosot, yaitu hanya 4 orang. Keempatnya ialah Ki Bagus Hadikusumo, K.H. A. Wahid Hasjim, Mr. Kasman Singodimedjo (aktivis Jong Islamieten Bond dan Muhammadiyah yang saat itu lebih dikenal sebagai Daidantjo Jakarta), dan Mr. T.M. Hasan (Ikhwanus Shafa Indonesia yang keanggotaannya dalam PPKI lebih karena faktor ke-Sumatera-annya).

Di tangan PPKI dengan format seperti itulah, karya besar 60 + 6 anggota BPUPKI berupa Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang dengan susah payah dan dengan penuh kesabaran dirancang, diperdebatkan, dan pada 16 Juli 1945 dengan suara bulat disahkan dalam rapat besar BPUPKI, hanya dalam hitungan jam, serta merta dianulir oleh 20 + 6 anggota PPKI.

Baca Juga  KH Mas Mansur (1): Sapu Kawat dari Jawa Timur

Seluruhnya di Pundak Ki Bagus

Situasi pada pagi 18 Agustus 1945 itu, sungguh-sungguh sangat krusial. Lagi-lagi, beban berat itu diletakkan di pundak kader Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo.

Menurut Ketua Umum Partai Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, ketika seluruh eksponen non-Islam menghendaki tidak ada klausul tujuh kata yang menjadi inti dari Piagam Jakarta pada rapat 18 Agustus 1945 itu, anggota PPKI K.H. A. Wahid Hasjim tidak ada, karena masih dalam perjalanan di Jawa Timur. Mr. Kasman Singodimedjo sebagai anggota tambahan, yang baru mendapat undangan rapat pada pagi hari itu, belum mengetahui sama sekali persoalannya. Seluruh tekanan psikologis tentang berhasil atau tidaknya penetapan Undang-Undang Dasar diletakkan di atas pundak Ki Bagus Hadikusumo sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam di PPKI pada saat itu. 

Tidak mudah meyakinkan Ki Bagus untuk menghapus tujuh kata dari rancangan Preambule Undang-Undang Dasar. Sesudah Bung Hatta –yang konon pada sore 17 Agustus 1945 menerima opsir Angkatan Laut Jepang untuk menyampaikan keberatan rakyat di Indonesia Timur atas masuknya tujuh kata dalam Preambule Undang-Undang Dasar—gagal meyakinkan Ki Bagus, dia meminta T. M. Hasan untuk melobbi Ki Bagus. Hasan ternyata juga tidak mampu.melunakkan hati ki Bagus.

Dalam situasi kritis itulah, Hatta meminta Kasman untuk membujuk Ki Bagus. Dengan menggunakan bahasa Jawa halus, Kasman meyakinkan Ki Bagus untuk mau menerima usul perubahan.

Entah karena dilobbi oleh sesama kader Muhammadiyah, atau karena kepiawaian Kasman melobbi dengan bahasa Jawa halus, Ki Bagus dapat menerima argumen Kasman. Ki Bagus setuju kalimat dalam rancangan Preambule Undang-Undang Dasar, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapus dan diganti dengan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa. Bersamaan dengan itu Ki Bagus meminta supaya anak kalimat “menurut dasar” di dalam Preambule Undang-Undang Dasar dihapus, sehingga penulisannya dalam Preambule Undang-Undang Dasar menjadi: “…. Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan seterusnya.” Usul Ki Bagus disetujui.

*) Anggota Panitia Pengusulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Abdul Kahar Mudzakkir

Editor: Arif

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *