Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read

Pendahuluan: Tasawuf Kenabian

Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam kategori pendekatan ‘irfani, bukan bayani, apalagi burhani. Dikotomi itu di satu sisi memang tepat untuk menunjukkan kekhasan ilmu tasawuf, tetapi di sisi lain, konsep tersebut mencabut substansi tasawuf yang awalnya dihidupi oleh Nabi dan para sahabat.

Secara konsep keilmuan, tasawuf memang berkembang belakangan. Tetapi secara substansi atau nilai, laku sufistik sudah dilakukan oleh generasi awal. Sehingga kalau ditarik nilai-nilai kesufian seperti kesederhanaan dan perlawanan terhadap hawa nafsu; telah menjadi laku kenabian.

Sejak awal Nabi menegaskan bahwa perang melawan hawa nafsu adalah bentuk jihad akbar. Jihad inilah yang dipilih oleh gerakan sufisme untuk melawan semangat kepemilikan kebendaan dan jabatan. Dalam sejarah, ketika terjadi konflik antara Ali dan Muawiyah, ada pihak ketiga yang memilih tidak terlibat “jihad asgar” mengangkat senjata, merekalah para ahli ibadah yang hidupnya fokus untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta.

Namun, dalam perkembangannya, tasawuf dituduh sebagai biang keladi kemunduran umat Islam. Mengapa itu bisa terjadi? Bagaimana perkembangan tasawuf hingga masuk ke Indonesia, dan bagaimana pula peran Buya Hamka dalam membumikan nilai-nilai sufisme di era modern. Beberapa pertanyaan tersebut akan diuraikan dalam tulisan berikut.

Definisi Tasawuf

Ada ragam pandangan terkait makna tasawuf. Ada yang memahaminya berasal dari kata shifa, berarti bersih suci, ibarat kaca; ada yang memaknainya dari kata shuf yang berarti bulu domba, pakaian yang digunakan sufi sebagai simbol kesederhanaan melawan kegemerlapan pakaian duniawi; ada juga yang menamainya berasal dari shuffah, sekelompok sahabat yang awal mula menyisihkan diri untuk beribadah dan tinggal di teras masjid Nabi. Semua itu adalah eksplorasi dari pandangan yang mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari bahasa Arab. Ada pula yang berpandangan bahwa tasawuf berasal dari bahasa Yunani, sophos, yang berarti kebijaksanaan, sehingga orangnya adalah mereka yang hidup untuk menjadi bijak dan bajik.

Beragam pendapat tersebut tidak perlu dipertentangkan, tapi dapat menjadi gambaran utuh substansi dari tasawuf, yaitu fokus pada kebersihan hati, kesederhanaan hidup, gerakan sosial dan mengejar kebijaksanaan. Dalam sejarah, tasawuf sebagai istilah khusus baru muncul dan berkembang dua abad setelah masa Nabi. Abdul Kadir Riyadi dalam Arkeologi Tasawuf menjelaskan empat alasan ulama memunculkan diskursus tasawuf.

Pertama, tingkat pemahaman masyarakat Muslim terhadap agama semakin meningkat sehingga perlu adanya eksplorasi terhadap aspek-aspek lain dalam syariat yang masih terpendam. Kedua, ilmu-ilmu induk Islam seperti fikih sudah mulai matang. Para ulama memahami pentingnya pendekatan spiritual dalam memahami fikih, sehingga tasawuf adalah anak kandung dari fikih.

Ketiga, adanya keresahan terkait semakin menjauhnya masyarakat Muslim dari nilai-nilai moral yang diajarkan Nabi akibat gaya hidup yang hedonistik dan perpecahan politik. Dan keempat, secara epistemologis, sudah saatnya ada satu bidang ilmu yang mewadahi fenomena pengalaman batin yang berakar pada intuisi tetapi tidak tercerabut dari basis wahyu dan akal.

Dengan berkaca pada definisi dan sejarah tersebut, seharusnya tasawuf tidak perlu dimaknai secara negatif. Justru kehadiran tasawuf pada awalnya bermakna positif dan konstruktif. Tetapi, mengapa pada perkembangannya, tasawuf malah dipandang sebelah mata?

Miskonsepsi Tasawuf

Secara umum, tasawuf terbagi ke dalam dua aspek, ada yang teoretis (nazhari) dan ada yang praktis (‘amali). Aspek teoretis ini disebut juga tasawuf falsafi yang membahas tentang wujud Tuhan dan relasinya dengan manusia dan semesta. Sedangkan tasawuf praktis berfokus pada penanaman nilai-nilai akhlak mulia melalui mujahadah dan riyadhah yang berlanjut untuk menghasilkan kebersihan hati dan jiwa (tazkiyah an-nafs).

Baca Juga  Tasawuf: Cara Mencegah Krisis dalam Diri Manusia Modern

Miskonsepsi tasawuf bisa terjadi dalam aspek teoretis maupun praktis. Dalam konsep teoretis, banyak istilah-istilah yang diungkapkan sufi, seperti hulul, ittihad, wahdah al-wujud, yang susah dipahami oleh masyarakat awam. Kisah populer untuk aspek ini di Indonesia adalah penghabisan nyawa Syekh Siti Jenar yang dianggap telah keluar dari semangat ketauhidan.

Sedangkan dalam aspek praktis, tasawuf meyakini bahwa dalam beribadah tidak hanya fokus pada syariat, tetapi juga ada thariqah dan hakikat. Bagi banyak ulama syariat atau fikih, Islam selesai pada aspek syariat, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 3 yang menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam di masa Nabi.

Dalam perkembangannya, sebenarnya para sufi terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pertama, mereka yang memahami syariat sebagai dasar yang penting, tetapi tidak cukup hanya melaksanakan syariat, perlu diperdalam dengan tarekat dan hakikat. Sedangkan sebagian yang lain menegasikan urgensi syariat manakala hakikat sudah didapat. Dalam konteks kedua inilah miskonsepsi tasawuf menjadi viral dikecam.

Selain itu, semangat “mengurung diri” yang dilakukan oleh para sufi, baik yang nazhari maupun amali, membuat gerakan mereka dicap antikemajuan dan antisosial. Meski demikian, label semacam itu tidak sepenuhnya benar. Sebab melalui gerakan sufisme jugalah, dakwah Islam dapat masuk dan berkembang di Indonesia.

Urgensi Gerakan Tasawuf di Indonesia

Salah satu karya awal Indonesianis seputar gerakan sufi di Indonesia adalah “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History” yang ditulis Dr. A.H. Johns. Ia menyebutkan ada lima nilai penting gerakan sufistik di Indonesia.

Pertama, Islam belum mengakar di Indonesia hingga bangkitnya tarekat sufi dan percepatan perkembangan Islam Indonesia setelah abad ke-13, yang sebagian besar disebabkan oleh kerja keras dakwah sufi.

Kedua, para guru sufi yang berkunjung ke Indonesia berasal dari berbagai negara, dan menjadi partisipan dalam pola penyebaran keagamaan yang luas, sebuah pola yang kemudian diikuti oleh orang Indonesia.

Ketiga, para guru agama ini ditemukan di Indonesia sebagai orang-orang yang memiliki tingkat budaya spiritual dan material yang hampir sama dengan mereka, rata-rata mereka berprofesi sebagai pedagang.

Keempat, kaum sufi mendasarkan ajarannya pada bentuk-bentuk budaya dan tradisi yang sudah ada di Indonesia, meski mengecualikan atau menafsirkan ulang apa yang tidak sesuai dengan doktrin dasar Islam.

Kelima, Muslim sufi, yang berafiliasi dengan berbagai aliran mistik dan di bawah arahan syekh mereka selama periode awal perkembangan Islam di Jawa, merupakan elemen penting dalam struktur ekonomi dan politik kota tersebut.

Berdasarkan kelima argumen tersebut, dapat terlihat jelas posisi tasawuf dalam masa awal penyebaran Islam sangatlah penting. Dalam hal ini, tasawuf cenderung lebih mudah diterima karena dakwahnya yang lentur dan dapat menyesuaikan dengan budaya lokal. Semangat lokalitas ini pada akhirnya harus berhadapan dengan nilai modernitas yang menantang untuk global dan mendunia.

Hamka dan Tasawuf Modern

Pada pembahasan sebelumnya, dapat dipahami beberapa alasan mengapa tasawuf disalahpahami serta konteksnya yang sangat melokal. Dalam konteks itu, Buya Hamka hadir membawa istilah baru dalam dunia sufistik dengan memperkenalkan diksi “tasawuf modern” melalui karya fenomenalnya.

Baca Juga  Atha’ bin Abi Rabah: Menjadi Mulia Karena Ilmu

Atas dasar itu pula, Cak Nur—tokoh pembaharu Islam yang pada perkembangannya akan membawa penyegaran pemikiran Islam, menyebut Hamka dengan sebutan ulama modern. Ia menganggap Buya berhasil mengubah sosok kumal seorang kiai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa hormat dan respek. Sehingga figur Buya memberikan angin segar bagi kebangkitan kegairahan beragama di kalangan masyarakat perkotaan kala itu.

Masih tanggapan dari Cak Nur, Hamka dipandang pula sebagai tokoh yang mempunyai semangat independent-mindedness atau berjiwa terbuka, bebas, tak dapat diintervensi. Karena sikap itulah, Buya tidak segan menyandingkan tasawuf dengan semangat modernitas, dua hal yang selama ini dianggap bertentangan. Dalam buku fenomenalnya, “Tasawuf Modern (TM)” yang terbit pertama kali tahun 1939, Hamka menegaskan bahwa substansi dari tasawuf adalah menempuh kemajuan. Tasawuf adalah filsafat yang muncul setelah zaman Nabi, yang maju mundur menilik keadaan zaman dan negeri. Sehingga tasawuf dapat dan patut dipahami dengan nilai-nilai modernitas yang menjunjung tinggi kemajuan. Adapun kelemahan dari era modern, hendaklah diisi dengan nilai-nilai tasawuf.

Tasawuf modern yang digagas oleh Hamka bukanlah tasawuf yang meninggalkan agama dan menjunjung tinggi keduniaan. Hamka hanya hendak mengingatkan bahwa ada aspek keduniaan dari tasawuf yang selama ini abai dilakukan. Ia mengutip pendapat gurunya, Buya Sutan Mansur:

“80% didikan Islam kepada keakhiratan dan 20% kepada keduniaan. Tetapi kita telah lupa mementingkan yang tinggal 20% itu sehingga kita menjadi hina”.

Melalui buku TM, Hamka mengajak pembacanya untuk hidup di dunia dan mengejar kebahagiaan di dunia, sebelum menggapai kebahagiaan di akhirat. Persis seperti doa sapu jagat yang diulang setiap saat oleh umat Islam, fid dunya hasanah wa fil akhirah hasanah.

Buya Hamka juga tidak segan mengutip banyak pendapat tokoh filsuf Barat seperti Aristoteles, Tolstoy, hingga Bernard Shaw. Keterbukaan Hamka mengutip ragam pandangan selain Al-Qur’an, hadis dan pendapat ulama ini merupakan cerminan dari semangat tasawuf yang mengejar kebijaksanaan dari mana pun ia berasal, al-hikmah dhallah al-mu`min.

Atas lahirnya TM, bermunculanlah apresiasi dari berbagai kalangan dan masyarakat awam. Hamka pun meneruskan tulisannya dengan melahirkan buku “Falsafah Hidup (1939)”, “Lembaga Hidup (1940)”, “Lembaga Budi (1940)” dan “Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad (1952)”. Semua karya tersebut menyoroti satu topik yang sama, bagaimana menjadi manusia yang bermanfaat sejati, berluhur budi serta berbahagia hati.

Pada tahun 1958, kembali Hamka menulis buku berjudul “Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya” yang berasal dari pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Tasawuf di PTAIN Yogyakarta. Dengan dianugerahinya Guru Besar dalam Bidang Ilmu Tasawuf ini, menjadi penegas peran Hamka bagi perkembangan tasawuf modern di Indonesia.

Sumbangsih Hamka dalam Diskursus Tasawuf di Indonesia

Berdasarkan apa yang telah dilakukan Hamka, setidaknya ada beberapa sumbangsih Buya dalam perkembangan wacana tasawuf di Indonesia, yaitu:

Pertama, meredefinisi makna tasawuf. Hamka memahami tasawuf dalam semangat aktif bergerak, bukan esketik pasif sebagaimana selama ini dipraktekkan oleh beberapa sufi. Ia menegaskan bahwa “semangat zuhud dalam gerakan tasawuf itu adalah perjuangan. Semangat Islam adalah semangat berkurban, bekerja, bukan semangat malas, lemah dan melempem”.

Baca Juga  Buya Hamka: Kita Adalah Bangsa Pemaaf

Tasawuf modern menurut Hamka adalah yang memadupadankan iman, ilmu dan amal sehingga keyakinan seorang Muslim tidak hanya berdampak bagi individunya, tapi juga untuk kemaslahatan bersama. Tasawuf yang tidak lagi memisahkan diri dari kerumunan tapi mengasah hati di tengah keramaian.

Kedua, menghidupkan nilai-nilai tasawuf dari kelompok yang membenci tasawuf. Sebagaimana diketahui, Hamka lahir dari gerakan modernis di Sumatera Barat kemudian aktif di Muhammadiyah. Semua gerakan tersebut punya ciri yang sama, kontra dengan sufisme yang menentang kemajuan. Bahkan diawal, Hamka dengan pedas mengkritik praktek tarekat Naqsabandiyah yang banyak diamalkan di Sumatera Barat.

Tapi justru dari kritik tersebut, Hamka menawarkan untuk kembali pada ajaran tasawuf yang asli sebagaimana yang diungkapkan oleh Junaid al-Baghdadi, yaitu tasawuf yang menjauhi budi tercela dan melebur pada akhlak yang mulia. Dengan spirit ini, justru tasawuf dapat diterima baik bagi kalangan tradisionalis maupun modernis.

Ketiga, membawa tasawuf dekat dengan masyarakat. Melalui TM, Hamka juga memperkenalkan nilai-nilai tasawuf kepada umat, khususnya kelompok urban. Mereka yang selama ini hidup dengan nilai-nilai modern, jauh dari dimensi spiritual, sehingga kering hatinya dari ajaran Ilahi. TM memberikan harapan baru, bagaimana manusia dapat hidup dengan mindfullness, berarti untuk hari ini, di sini dan saat ini.

Keempat, menggagas falsafah kebahagiaan sebagai inti ajaran agama. Inilah makna tasawuf yang dipromosikan oleh Hamka. Dalam berbagai karya, Hamka menawarkan diksi kebahagiaan dalam kehidupan yang hanya sementara ini. Bahagia yang selama ini dikejar untuk kehidupan di surga, coba dikemas oleh Hamka agar dibentuk sejak kehidupan di dunia.

Falsafah kebahagiaan ini pada akhirnya juga mengakar pada berbagai aspek keagamaan. Beragama dengan bahagia sehingga mengutamakan nilai-nilai kemudahan dalam Islam. Agama adalah nilai yang memanusiakan, tidak mengikat dengan tradisi-tradisi yang justru memberatkan kehidupan. Pun dalam berdakwah, agama pun perlu dikemas dengan tampilan kebahagiaan, bukan kesedihan apalagi ketakutan. Dengan alasan inilah, kita dapat melihat bagaimana Hamka berdakwah melalui jalur pena. Ia tak segan mengadopsi jalan dakwah sastra, pilihan sunyi para ulama yang mendaku menyebarkan ajaran agama.

Penutup: Melacak Kebahagiaan dari Kesufian

Jika kita kembali pada akar sufisme di masa Nabi, para sahabat yang beribadah dan menghidupi nilai-nilai kesederhanaan kala itu juga sedang mencari kebahagiaan. Mereka bahagia meski hidup sederhana. Sebab dunia tak menjadi tolok ukur kesuksesan.

Meski demikian, kata kuncinya bukanlah pada menolak dunia, tapi tak terobsesi pada dunia. Keduanya mempunyai posisi yang berbeda. Jika yang satu melahirkan semangat asketis, maka yang lain mempunyai semangat progresif. Sebab dunia tidak akan menghalanginya untuk maju. Harta benda tak mengikatnya untuk bergerak. Mereka boleh saja kaya raya, tapi kekayaan itu tak dipandang sebagai kepemilikan yang abadi. Justru dari hartanya, ia bisa berbagi, membantu sesama. Itulah sumber kebahagiaan.

Di tengah masyarakat modern yang kian rasional dan individual, tasawuf modern ala Hamka kiranya makin aktual. Jika ada filosofi teras atau stoikisme dari Barat, maka tasawuf modern dapat menjadi sumbangan Islam untuk menjaga kesehatan mental di era digital.

Hanya saja, siapakah saat ini yang mau memilih jalan sepi seperti Buya sebagai sufi di tengah hegemoni orang berebut tampil menjadi selebriti? Wallahu a’lam.

Editor: Ahmad

Avatar
7 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia, Associate Reasercher Laboratorium Studi Quran Hadis (LSQH) UIN Sunan Kalijaga dan co-founder Qur'anic Peace Study Club.
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *