Ibnu Katsir ialah seorang Mufassir yang pastinya sangat familiar di telinga umat Islam. Nama asli beliau adalah Imad ad-Din Abu al-Fida Ismail Ibn Amar Ibn Katsir Ibn Zara’ al-Bushra al-Dimasiqy. Kata “al-Dimasiqy” yang tertera dalam namanya, menunjukkan bahwa beliau terlahir di kota Damaskus. Tepatnya di daerah Mijdal dalam wilayah Bushra (Basrah). Ia dilahirkan pada tahun 700 H/1301 M.
Ayah Ibnu Katsir merupakan ulama kondang yang terkemuka pada zaman itu. Namanya Shihab ad-Din Abu Hafsh Amar Ibn Katsir Ibn Dhaw Ibn Zara’ al-Quraisyi. Ayah Ibn Katsir bermazhab Syafi’i. Meskipun bermazhab Syafi’i, ia pernah mempelajari secara serius ajaran-ajaran mazhab Hanafi.
Namun, saat ia beranjak ke usia tujuh tahun (ada juga pendapat yang menyebut tiga tahun), ia ditinggal oleh ayahnya untuk selama-lamanya. Sepeninggal ayahnya, Ibnu Katsir diasuh oleh kakaknya yang bernama Kamal ad-Din Abd Wahhab di kota yang sama, Damaskus.
Sejak saat itu, Ibnu Katsir memulai karir akademik keilmuannya. Hal yang sangat menguntungkan baginya ialah, bahwa ia hidup di masa kekuasaan Dinasti Mamluk yang sangat menjunjung tinggi diskursus ilmu pengetahuan. Terbukti pada masa itu, banyak sekali bertebaran pusat studi Islam seperti madrasah-madrasah dan masjid-masjid yang berkembang begitu pesat.
Penguasa pusat pemerintahan yang berada di Mesir, kala itu, dan juga penguasa daerah Damaskus, sangat memiliki concern terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Momen ini dimanfaatkan Ibnu Katsir untuk berguru ke ulama-ulama besar nan hebat kala itu. Beberapa di antaranya ialah; Burhan ad-Din al-Fazari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Baha al-Din al-Qasimy bin Asakir (w.723), dan Ishaq bin Yahya al-Amidi (w.728 H).
Selain mendalami ilmu tafsir, ia juga mendalami ilmu-ilmu keislaman yang lain seperti hadis, fikih, dan sejarah. Penguasaan Ibnu Katsir atas ilmu-ilmu keislaman terbukti dari berlimpahnya karya-karya yang diciptakannya.
Dalam bidang sejarah, ia menulis beberapa kitab, antara lain; al-Bidayah wa al-Nihayah (terdiri dari 14 jilid), al-Fushul fi Sirah al-Rasul, Thabaqat asy-Syafi’iyyah, Qasas al-Anbiya, dan Manaqib al-Imam al-Syafi’i. Kitab al-Bidayah wa al-Nihayah-lah yang merupakan karya monumental/Magnum Opus dari sekian banyak kitab sejarah yang ia ciptakan.
Karya-karya Ibnu Katsir
Dalam bidang hadis, Ibnu Katsir menulis sejumlah kitab. Di antaranya; Kitab Jami’ al-Masanid wa al-Sunan, al-Kutub al-Sittah, al-Takmilah fi Ma’rifat al-Siqat wa al-Du’afa wa al-Mujahal, al-Mukhtasar sebagai ringkasan kitab Muqaddimah li ‘Ulum al-Hadis karya Ibn Salah, dan Adillah al-Tanbih li ‘Ulum al-Hadis. Ibnu Katsir juga mensyarahi kitab Shahih Bukhari yang dilanjutkan dan diselesaikan dengan tuntas oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani
Namun di bidang fikih, Ibnu Katsir belum secara tuntas menyelesaikan karyanya. Sebelumnya, ia memiliki rencana untuk menulis sebuah kitab fikih yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis. Tapi, ia hanya dapat menyelesaikan satu bab terkait ibadah. Yaitu tentang ibadah dalam persoalan haji.
Di bidang tafsir, Ibnu Katsir mempunyai karya yang sangat monumental, yang hingga detik ini, masih menjadi rujukan di beberapa instansi pendidikan atau pusat-pusat studi Islam di berbagai level. Tidak lain dan tidak bukan ialah Tafsir Al-Qur’an al-Adzim atau bisa juga disebut Tafsir Ibnu Katsir.
Atas berbagai karya dan kapasitas keilmuannya, wajar jika ulama-ulama sepeninggalnya melontarkan berbagai pujian kepadanya. Al-Zahabi mengatakan bahwa Ibnu Katsir merupakan seorang imam besar yang multitasking, bisa bertindak sebagai mufti, ahli hadis, dan ahli tafsir.
Al-Suyuthi berkata, “Tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir yang tidak ada duanya. Belum pernah ditemukan kitab tafsir yang sistematika dan karakteristiknya menyamai kitab tafsir ini”
Manna’ al-Qatthan juga mengatakan bahwa Ibnu Katsir merupakan seorang pakar fikih yang dapat dipercaya, pakar hadis yang cerdas, sejarawan ulung, dan pakar tafsir yang paripurna.
Sekilas Tafsir Al-Qur’an al-Adzim Karya Ibnu Katsir
Tafsir Al-Qur’an al-Adzim ialah kitab tafsir yang memiliki bentuk penafsiran bil ma’tsur, yakni penafsiran yang berdasarkan riwayat-riwayat. Yang dimaksud dengan penafsiran berdasarkan riwayat ialah penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (manafsirkan suatu ayat Al-Qur’an dengan ayat yang lain), penafsiran Al-Qur’an dengan hadis, dan seterusnya.
Dalam muqoddimah tafsirnya, ia mengatakan bahwa metode tersebut merupakan metode yang paling baik dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ia menggunakan metode tahlili (analitis) dalam menafsirkan Al-Qur’an). Metode analitis ialah suatu metode yang digunakan untuk menafsirkan kandungan seluruh ayat Al-Qur’an secara runtut. Dari awal surat (Al-Fatihah) hingga surat paling akhir (An-Nas). Tentunya sesuai dengan tertib mushaf usmani.
Meskipun bentuk penafsirannya ialah bi al-ma’tsur, yang menekankan penjelasan penafsiran berdasarkan riwayat,namun terdapat beberapa ulasan tafsir yang berlandaskan bentuk penafsiran bi al-ra’yi. Penafsiran bi al-ra’yi ialah suatu upaya menjelaskan makna Al-Qur’an menggunakan akal (ra’yun).
Sebagaimana contoh berikut, ketika ia menafsirkan kata يد الله dalam surat Al-Fath ayat 10;
(يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ)
أي: هو حاضر معهم يسمع أقوالهم ويرى مكانهم، ويعلم ضمائرهم وظواهرهم، فهو تعالى هو المبايع بواسطة رسول
“Tuhan berada bersama mereka, Allah mendengarkan perkataan mereka, Allah mengetahui yang nampak dan tersembunyi. Dialah Allah sebagi tempat berbaiat dengan perantaraan rasulNya.”
Penafsiran tersebut bukan merujuk dari riwayat-riwayat terdahulu, namun murni hasil pemikirannya.
Wallahu A’lam bi Showab.