Reynhard Sinaga terbukti bersalah dan dihukum seumur hidup oleh Pengadilan Manchester, Inggris. Ia terbukti telah melakukan 159 kasus pemerkosaan dan serangan seksual terhadap 48 pria di Inggris dalam rentang waktu 1 Januari 2015 hingga 2 Juni 2017. Banyak masyarakat Indonesia yang kaget. Kekagetan ini setidaknya memunculkan beragam respon, antara keheranan, takjub, sekaligus marah dan merasa malu.
Secara umum, setidaknya saya melihat ada tiga respons. Pertama, ketakjuban terhadap media massa dan online Inggris. Dalam rentang waktu yang lama, mengapa media di Inggris baru sekarang mengumumkannya dan kemudian menjadi berita utama? Saat menjadi berita utama, mengapa hanya fokus kepada individu dari Reynhard saja? Bahkan tidak dijadikan sebagai momentum untuk merengguk untung di tengah clickbait yang menjadi medium utama mendapatkan pundi-pundi uang?
Kritik Media di Indonesia
Kedua, respons akibat dari yang pertama, mengkritisi sejumlah media online di Indonesia. Ketakjuban ini sekaligus berbanding lurus dengan kritik kepada media online di Indonesia. Alih-alih kepada kerja-kerja jurnalistik yang ketat dan bertanggungjawab serta memfokuskan kepada kasus Reynhard, tidak sedikit media Indonesia justru membicarakan di luar dari kasus tersebut. Mulai dari mengulik siapa bapaknya, pakaian apa yang dikenakan, dan bagaimana ia melakukan swafoto. Tak ketinggalan di mana rumahnya serta bagaimana ia mengenyam pendidikan saat berada di Indonesia.
Selain itu, melakukan penghakiman sebelum adanya tuduhan bersalah secara pasti di mata hukum merupakan pemberitaan yang dilakukan oleh media massa dan online kita di Indonesia. Pemberitaan tersebut kemudian diresepsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Opini yang ditulis oleh Ahmad Kadafi di Mojok.co pada 10 Januari 2020 dengan judul Cara Media di Indonesia Melihat Reynhard Sinaga dan 250 Juta “Hakim” di Indonesia dan Wisnu Prasetyo Utomodi Tirto.id pada 10 Januari 2020 dengan judul Kasus Reynhard Sinaga: Bom Waktu Jurnalisme Indonesia secara garis besar menangkap faktor tersebut.
Reynhard dan Tanggungjawab Kita
Ketiga, Reynhard Sinaga dan tanggungjawab kita. Kasus Reynhard dan bagaimana media massa dan online Indonesia memberitakan dianggap cenderung untuk menyalahkan orientasi seksual Reynhard. Penyalahan orientasi seksual LGBT Reynhard yang juga tinggal di Indonesia justru akan memperkuat stigmatisasi LGBT yang sebelumnya sudah tertanam kuat di Indonesia.
Opini yang ditulis oleh Soe Tjen Marching di The Jakarta Post pada 9 Januari dengan judul Reynhard Sinaga and Our Responsibilities menguatkan hal tersebut. Dengan konteks yang berbeda untuk menguatkan argumen bahwasanya kejahatan itu tidak hanya dilakukan oleh LGBT, Marching dengan baik membandingkan orang heteroseksual yang juga melakukan kejahatan pidana. Ia mengangkat Anwar Kongo tokoh nyata penjagal dalam peristiwa 1965 yang kisahnya difilmkan dalam the Act of Killings.
Dengan kata lain, ia ingin menegaskan, bahwasanya kejahatan itu bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa melihat orientasi seksualnya. Sikap hormat dan apresiasi menjadi bagian penting kepada saja tanpa melihat orientasinya. Menjadi tanggungjawab bersama untuk menjaganya.
Stigmatisasi LGBT
Namun, dari ketiga pendapat tersebut ada satu hal yang luput untuk dijelaskan, yaitu konteks kedua negara. Analisis dari tiga opini tersebut seolah-olah menghilangkan konteks dua negara tersebut begitu saja dan mencoba melakukan intervensi yang seharusnya dilakukan di Indonesia. Di sini, ada tiga hal yang perlu diperjelas sebelum kita menyalahkan masyarakat dan media massa/online di Indonesia.
Pertama, posisi Reynhard yang berada di Inggris. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa ia bisa menjerat korban begitu banyak. Di sini, Reynhard, sebagai orang Indonesia, tampak tahu benar bagaimana kebebasan individu itu dijaga dengan baik sebagai bagian dari liberalisme nilai khas Eropa.
Kebebasan individu dengan menjaga privasi begitu kuat dalam persoalan seksualitas sangat tidak memungkinkan orang lain untuk mengintervensi kebebasan tersebut. Kondisi ini bertolakbelakang dengan Indonesia, di mana agama dan budaya menjadi bagian dari intervensi kehidupan privasi dan publik yang seringkali menjengkelkan. Kondisi ini yang memungkinkan Reynhard akan sulit untuk mendapatkan banyak korban.
Kedua, norma publik. LGBT sebagai sebuah gerakan sudah menjadi bagian dari norma publik masyarakat Eropa. Pelarangan dalam pernikahan dan aturan hukum negara yang menentang hak-hak LGBT akan dianggap ketinggalan zaman dan juga masih terjerumus dalam konservatisme nilai agama. Karena hal itu menjadi bagian dari norma publik dan persoalan seksualitas adalah ruang privat tanpa adanya campur tangan negara.
Kasus Reynhard, dengan demikian, berada dalam simpang jalan; antara perjuangan hak-hak LGBT yang terus diperjuangkan di Eropa dan kasus pidana yang menimpa individu yang kebetulan memiliki orientasi seksual tersebut. Membahas kasus ini dengan sensasi yang besar dan detail tentu menjadi persoalan mengingat isu ini sangat sensitif.
Pelajaran Bagi Masyarakat
Di sisi lain, kasus ini menyangkut persoalan pidana yang harus diungkapkan ke publik sebagai pelajaran masyarakat. Nilai-nilai jurnalistik yang memperhatikan hak individu, kepentingan publik, sekaligus perjuangan kesetaraan menjadi bagian penting untuk melihat mengapa sejumlah media Eropa membahasnya demikian elegan. Faktor ketiga, apa yang disebut privat dan publik menjadi bahan yang masih sumir di Indonesia di tengah belum menguatnya warisan kolonial Belanda dalam membentuk ruang publik Hindia Belanda saat itu melalui pembedaan mandi di toilet dan sungai.
Sebaliknya, agama, etnisitas, dan praktik kebudayaan dengan macam-macam ekspresi lokalitasnya masih menjadi bagian penting dalam keseharian masyarakat Indonesia. Membuat mereka mengalami ketegangan apa yang disebut privat dan publik; tertulis dalam hukum dan apa yang terjadi dalam keseharian realitas. Meskipun atas nama clickbait, media massa/online kita masih masuk dalam ranah logika ini yang memang sulit untuk dilepaskan, salah satunya mengenai gosip.
Apalagi, sebagaimana diungkapkan oleh Yuval Harari (2014) dalam bukunya Sapiens: A Brief History of Human Kind, kehadiran gosip tidak hanya melekat dalam identitas manusia sebagai bagian yang membentuk persahabatan dan hierarki sosial. Melainkan juga memiliki fungsi penting dan fondasi kuat dalam keselamatan manusia modern saat ini. Dalam konteks Indonesia, di mana solidaritas komunal masih sangat kuat, gosip juga menjadi penanda keakraban dengan teman sejawat dan juga keluarga.
Berita-berita clickbait yang selama ini dikritisi sebenarnya hanya menguatkan konsumsi yang menjadi bagian dari keseharian masyarakat modern. Termasuk orang Indonesia.