Perspektif

Setelah Fatwa Haram Untuk Rokok Kemudian Apalagi?

3 Mins read

Rokok dan Saya

Saya Muhammadiyah. Tidak merokok sejak lahir.

Lalu petani tembakau pun kolaps. Peran tembakau rakyat bahan utama rokok kretek itu telah diambil  alih rokok putih yang berbahan dasar tembakau Virginia.  Bukan hanya tembakaunya, pabriknya pun di akuisisi konsorsium besar dunia. Philip Morris mengambil Sampurna dan BAT mengambil alih Bentoel. Meski pabrik rokok mengalami kenaikan jumlah produksi. Tembakau rakyat mengalami kerugian tak terkira.

Realitasnya, fatwa haram hanya berlaku bagi rokok kretek yang nota bene adalah milik pribumi dan petani tembakau rakyat. Pangsa pasar rokok kretek yang kebanyakan milik pribumi muslim habis diambil, setelah pabriknya dimatikan. Petaninya kolaps. Cukainya diambil paksa.

Ironisnya, meski sudah keluar fatwa haram, iklan rokok putih malah merajalela memenuhi layar televisi dan banner dipajang di jalan-jalan besar. Fatwa haram tidak menurunkan jumlah produksi. Konsumen rokok putih bertambah dua kali. Produksinya apalagi, meski harga sudah dibandrol tinggi.

Begitu pula Starbucks, diboikot karena pemiliknya terindikasi penganjur LGBT. Arogansi pemilik Starbukcs memang keterlaluan. Menantang seperti tidak ber-Tuhan. Keluarlah fatwa haram nongkrong di starbucks apalagi minum kopinya.

Petani kopi di Sulawesi yang mayoritas muslim pemasok utama starbukcs menangis. Kopinya macet tak bisa dijual.

Boikot Starbucks diviralkan mendunia oleh Mix Coffee milik Donald Trump. Di mana, Harry Tanoe duduk sebagai distributor tunggalnya. Perlahan pesaing utama mulai berjingkrak.

Garam mungkin sebentar lagi. Sebagian besar lahan dialih fungsi. Produknya dibilang tidak higienis karena tidak beryodium. Tinggal menunggu difatwa haram karena menjadi penyebab hipertensi dan gagal ginjal pembunuh nomor dua di dunia. Kemudian, mengalir garam produk China dan negara negara Amerika Latin. Atau entah dari mana.

Baca Juga  Corona Menguji Kekuatan dan Solidaritas Kebangsaan

Petani cengkeh. Petani garam. Petani tembakau dan petani kopi menjadi yatim sosial tanpa perlindungan. Mereka kolaps.

Fatwa adalah nasehat. Tidak mutlak dan hanya berlaku bagi kelompok atau peminta fatwa.

Fatwa bisa saja diabaikan oleh kelompok lainnya. Dan tak ada kewajiban melaksanakan. Begitu pula dengan fatwa haram rokok atau minum dan nongkrong di kafe Starbucks. Orang boleh melaksanakan atau tidak. Sesuai pemahaman masing-masing bagi penerima fatwa.

Pemberi fatwa hendaknya jernih berpikir agar tidak mudah memberi fatwa haram. Apalagi berada pada ranah ijtihad. Fatwa haram rokok karena mubazir dan membahayakan kesehatan, atau fatwa boikot Starbucks karena pemiliknya penganjur dan pengikut LGBT. Dan entah berikutnya.

Pemegang otoritas pemberi fatwa dapat menjadi pedang berbisa. Bagaimana dengan garam penyebab hipertensi. Sate kambing  penyebab asam urat. Soto babad penyebab kolesterol, Facebook penyokong Yahudi, ATK Sinar Mas Grup, kelompok bermata sipit pendana Krestenisasi terbesar dan masih banyak lainnya dengan alasan sama. Apakah bisa di fatwa haram?

Fatwa sangat penting. Tapi berfatwa dibutuhkan kajian komprehensif agar tak menjadi bahan olok. Atau sekadar berfatwa tapi tak juga mampu dipraktikkan dalam keseharian, agar tidak sekedar berfatwa kemudian menjadi fatwa gagal. Afuan saya bukan perokok sejak kecil. Juga bukan penikmat kopi. Juga bukan penyuka poligami.

Quo Vadis Fatwa Haram Ngudud

Berbeda dengan miras yang difatwa haram. Semua merk miras, mulai dari oplosan hingga built up, tak boleh tayang. Haram iklan dipasang, baik di media cetak, elektronik, bahkan meski sekadar pasang banner. Pemasangnya akan dikejar dan dipidana. Semua kita akan berteriak lantang melawan. Bila ketahuan ada yang pasang iklan miras.

Para pedagang miras tak bebas menjual. Harus ditempat yang sudah diijinkan oleh undang-undang pada kafe, bar, atau hotel yang khusus. Penjual miras harus berpikir dua kali jika tak mau berurusan dengan pihak keamanan. Mereka sembunyi dan bermain petak umpet.

Baca Juga  Omong Kosong Covid-19 (1): Antara Virus dan Rumah Tuhan

Meski dalam beberapa kasus, tetap kita jumpai pelanggaran dan peyimpangan. Tapi umat Islam sepakat melawan dan mengatakan haramnya. Setidaknya, otoritas ulama Islam yang dikenal MUI terus melakukan perlawanan.

Lain halnya dengan fatwa haram rokok, seakan tak punya taji. Alias tidak bergigi. Iklan rokok makin meluas. Baik di media cetak , elektronik, selebaran, bando jalan, dan banner. Berbagai event baik lokal hingga internasional dibiayai. Umbul-umbul juga bertebaran di jalan-jalan.

Pabrik rokok juga bebas berproduksi tanpa hambatan. Produksi terus meningkat dengan berbagai variasi. Konsumennya apalagi, dari anak TK hingga orang tua. Dan mereka tetap sehat hingga tua. Lantas kemana fatwa haram itu.

Saya tidak merokok sedari kecil, begitu pula dengan keluarga. Mulai dari kakek buyut hingga anak terkecil. Difatwakan haram atau tidak, saya tetap tak suka. Tapi saya familiar dengan perokok. Di rumah ada asbak. Dan saya biasa belikan rokok untuk teman atau kerabat dekat yang merokok.

Lantas apa yang salah dengan rokok? Kenapa tanaman tembakau dan cengkeh tidak diperlakukan sama dengan ganja? Ribuan hektar tembakau pemasok barang haram bebas ditanam di sawah dan kebun? Kenapa dibiarkan? Tak ada penertiban apalagi sanksi.

Lalu bagaimana nasib para “uwak haji” yang pergi ke tanah suci dari hasil menanam tembakau dan cengkeh sebagai bahan dasar rokok.

Termasuk nasib gaji ratusan ribu pekerja di pabrik haram itu. Apakah halal atau haram. Buat bayar SPP. Beli beras, baju, dan semua kebutuhan petani tembakau itu.

Mudahnya kita bilang pindah pekerjaan bagi ribuan buruh pabrik rokok. Pindah tanaman bagi petani tembakau dan cengkeh. Coba kalau itu terjadi pada kita. Pindah pekerjaan memang gampang?

Baca Juga  Di Era AI, Dimana Peran Akal dan Wahyu?

Fatwa ulama Haramain tentang haramnya bom bunuh diri. Berbanding terbalik dengan fatwa bolehnya bom istisyhadiyah para mufti di Palestina. Fatwa tetap saja soal ijtihad. Tidak berlaku mutlak dan absolut. Baik kurun maupun tempat. Fatwa hanyalah soal cara keluar dari masalah dan tak harus malu kalau kemudian keliru.

Bukan berarti kalau sudah dihuni banyak akademisi bergelar dan ulama yang faqih, lantas tak boleh salah. Pembelaan seperti itu sangat menggelikan dan melawan fitrah. Semua kita adalah manusia biasa. Tak ada yang ma’shum terjaga. Jadi, tak harus membela sungguh. Ijtihad tetaplah ijtihad. Seperti yang telah dilakukan para Imam mazhab. Jika salah, satu pahala di dapat, jika benar mendapat dua. Tetap tawadhu’ dan tawakkal. Siapa tahu keliru.

Wallahu a’lam.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds