Oleh: Nafik Muthohhirin*
Di era populisme Islam dan politik identitas keagamaan yang merajalela, umat Islam di seluruh dunia menghadapi tantangan serius dalam tiga dekade terakhir. Beragam problem pelik itu mulai dari merebaknya konflik bersentimen agama, bangkitnya primordialisme, hingga terjadinya krisis integritas di tubuh masyarakat Muslim itu sendiri.
Pernyataan tersebut mengemuka dalam gelaran Summer School 2020 bertajuk Islamic Reform and Critical Muslim Studies (CMS), yang diadakan Islamic Renaissance Front (IRF), sebuah pusat studi asal Malaysia yang memiliki perhatian terhadap wacana keislaman berparadigma kritis, di Hotel Concorde, Kuala Lumpur, Jum’at-Senin (24-27/01).
Di antara pembicara yang hadir di acara tersebut yaitu, Ahmad Farouk Musa (IRF), Chandra Muzaffar (International Movement for a Just World/ JUST), Tajul Islam (University of Leeds), Shabbir Akhtar (University of Oxford), Junaid Ahmad (University of Leeds).
Sementara itu, beberapa topik yang dikaji adalah Islam dan Reformisme di Era Modern; Reformisme Islam dan Kristen: Paradoks dan Perbandingan; Ijtihad, Ishlah dan Tajdid dalam Islam; Ideologi Pembebasan, Keadilan Sosial dan Dekolonialisme, dan lainnya.
Pada kesempatan ini, Chandra Muzaffar menyampaikan topik tentang Muslim Societies and Reform within a Changing Global Environment. Menurutnya, ada tujuh tantangan global yang sedang dihadapi masyarakat Muslim saat ini, yaitu: (1) lingkungan yang semakin rusak; (2) kesenjangan di bidang sosial, ekonomi dan politik; (3) Kekuasaan yang hegemonik; (4) korupsi; (5) sentimen komunal berbasis agama, ras, suku dan primordialisme; (6) Disrupsi pembinaan kepribadian di dalam keluarga; dan (7) krisis identitas dan integritas di tubuh umat Islam.
Ketujuh tantangan tersebut hampir seluruhnya ada dalam masyarakat Muslim, baik di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam maupun negara yang berideologi Islam. Pada aspek pendidikan Islam, lanjut Muzaffar, Malaysia dan negara-negara Muslim lainnya patut meneladani model pendidikan Islam di Indonesia.
Menurutnya, Indonesia paling maju dalam implementasi model pembelajaran keislaman. Madrasah atau pesantren, sebagai basis pembenihan pendidikan Islam, diajarkan dengan pendekatan kritis. Tidak normatif seperti di Malaysia.
Model pendidikan Islam berparadigma kritis itulah yang sesungguhnya diajarkan oleh para reformis Islam awal seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Pada konteks di Indonesia, para reformis Islam dapat kita teladani melalui kiprah KH. A. Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari.
Masalahnya, varian tantangannya berbeda, masyarakat Muslim sekarang dituntut untuk ambil bagian dalam penyelesaian berbagai problem modernitas, seperti menyelesaikan masalah kerusakan lingkungan, “budaya” korupsi, hingga lunturnya integritas.
Pada kondisi yang demikian, masyarakat Muslim membutuhkan yang namanya platform global. Platform global ini bukan yang didengungkan Hizbut Tahrir dengan nama Kekhalifahan Islam (Khilafah Islamiyah) atau Pan-Islamisme dan Pan-Arabisme yang menempatkan Barat sebagai kolonial dan musuh. Platform global ini lebih pada upaya mengambil semangat keteladanan dari para reformis Islam dengan melakukan berbagai pembaruan di bidang pemikiran Islam.
Platform global ini tidak ingin mencari musuh baru, tapi justru ingin mendudukkan persoalan dengan berupaya menemukan jalan tengah. Misalnya, ketika sebagian umat Islam menganggap ide-ide pikiran modern (HAM, demokrasi, gender, pluralisme, dan liberalisme) sebagai bentuk penjajahan gaya baru yang disuarakan Barat, maka kelompok Islam reformis mengintrepreasikannya dengan mencari titik perjumpaan atau kompatibilitasnya dengan doktrin Islam sehingga antara Islam dengan Barat tidak selalu berhadap-hadapan satu sama lainnya.
Menurut hemat penulis, yang juga menjadi salah satu peserta di acara ini, model kegiatan yang mengorientasikan pada studi-studi Islam kritis seperti yang diinisiasi oleh IRF ini perlu di-copy paste lebih banyak di Indonesia.
Pasalnya, meski kita banyak dipuji karena dianggap telah lebih dahulu dalam implementasi pendidikan Islam yang kritis, namun kita lupa bahwa Indonesia tengah mengalami problem serius terkait dengan maraknya politik identitas keagamaan, konflik bersentimen agama, serta intoleransi dan persekusi yang melibatkan simbol-simbol agama di ruang publik.