Oleh: Muhamad Bukhari Muslim*
Kalau kita membuka sejarah Indonesia, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) pada dasarnya bukanlah kelompok yang pertama kali memperjuangkan berdirinya negara Islam. Jauh sebelum mereka, di sana sudah terdapat Partai Masyumi yang lebih dulu mengusahakan terwujudnya formalisasi syariat Islam di setiap lini kehidupan, termasuk dalam bernegara. Hanya saja cara yang mereka tempuh masih lebih elegan dibanding kawan-kawan HTI.
Mereka berjuang dengan cara-cara yang sangat demokratis, yakni dengan memakai perangkat-perangkat demokrasi seperti partai politik dalam merealisasikan tujuan-tujuannya. Bukan dengan cara mencaci dan mengumpat pemimpin, mencemooh ideologi negara, menjelek-jelekkan sistem pemerintahan Indonesia seperti yang dilakukan oleh HTI.
Namun tulisan ini tidak akan membahas sejarah perjuangan kelompok-kelompok tersebut dalam mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan negara Islam. Karena sebagaimana terteta pada judul, hal yang akan menjadi fokus bahasan di sini ialah negara Islam dalam perspektif fikih dengan merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah.
Negara Islam dalam Al-Qur’an dan Sunah
Jika menelusuri ayat-ayat dalam Al-Qur’an ataupun hadis-hadis dalam kitab hadis, kita pasti tidak akan menemukan adanya perintah untuk mendirikan Islam. Namun begitu, hal itu bukan berarti kalau kita tidak boleh mendirikan negara Islam.
Karena pada keduanya (Al-Qur’an dan sunnah) pun, tak tertera larangan untuk mendirikan negara Islam. Nah, dalam kaidah ushul fikih, “sesuatu yang tidak ada perintah atau larangannya dalam Al-Qur’an atau sunnah, maka hukumnya adalah mubah (boleh).
Coba lihat argumen-argumen yang dipakai oleh cendekiawan muslim untuk menolak ide berdirinya negara Islam. Hampir dipastikan tidak ada dari mereka yang menggunakan ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi untuk sebagai penguatnya. Kita boleh untuk membaca langsung kalau belum percaya.
Nurcholis Madjid misalnya. Argumen yang sering ia pakai untuk menolak berdirinya negara Islam adalah data sejarah di mana ketika Rasulullah menjadi pemimpin jazirah Arab yang pusatnya pemerintahannya berada di Madinah, Nabi tidak pernah menyatakan atau menyebut negara yang dipimpinnya sebagai negara Islam atau negara yang berasaskan Islam.
Alasannya ialah karena di Madinah juga terdapat agama lain seperti Kristen dan Yahudi. Makanya, konstitusi yang diberlakukan dan dijalankan oleh Nabi adalah konstitusi yang berdasarkan nilai-nilai yang universal. Nilai-nilai yang semua agama menganutnya dan menyetujuinya.
Selain Cak Nur (sapaan akrab Nurcholis Madjid), di sana juga ada Ahmad Syafi’i Ma’arif yang sering menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap ide negara Islam. Alasannya sama dengan alasan yang pernah dikemukan oleh Amien Rais dan Mohammad Roem dalam tulisan keduanya yang dmuat oleh Panji Masyarakat dengan judul: Tidak Ada Negara Islam. Yaitu karena tidak ada dasar perintahnya dalam Al-Qur’an atau hadis.
Perhatikanlah. Keempat cendekiawan tersebut tidak ada yang sama sekali mencantumkan ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi yang melarang berdirinya negara Islam.
Makanya, kita dapat saja mengatakan bahwa penolakan mereka terhadap ide negara Islam bisaa untuk ditolak. Karena penolakan mereka pun tak mendapat legitimasi baik dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi.
Oleh karena itu perlu untuk diterangkan, bahwa permasalahan tentang negara Islam di Indonesia, sesungguhnya bukan terletak pada boleh atau tidaknya, melainkan bijak atau tidaknya.
Khususnya pada negara yang masyarakatnya heterogen atau multikultur seperti kita, yang di dalamnya bukan hanya ada satu agama (baca: Islam), tetapi juga ada agama-agama lain seperti Kristen, Buddha, Hindu dan Konghucu. Keberadaan agama-agama tersebut harus menjadi pertimbangan.
Meskipun di sana terdapat Republik Islam Iran dan Negara Islam Pakistan yang menjadi bukti kalau negara Islam itu dapat berdiri. Tapi lagi-lagi, seperti dijelaskan sebelumnya, realitas masyarakat Indonesia berbeda dengan kedua negara tersebut. Di Iran dan Pakistan seluruhnya masyarakatnya adalah muslim. Adapun di Indonesia, terdapat beragam agama.
Propaganda Pengusung Negara Islam
Hal yang sesungguhnya tidak disukai dan disenangi oleh sebagian umat Islam terhadap mereka yang memperjuangkan berdirinya khilafah atau negara Islam adalah ketika mereka mengganggap bahwa apa yang diperjuangkannya wajib hukumnya untuk diterapkan dan diikuti. Pihak-pihak yang tidak merestui dan menghendaki hal tersebut mereka anggap telah salah dan cacat tauhidnya.
Ustad Fatih Karim misalnya. Dalam satu ceramahnya yang kemudian diunggah pada akun intagramnya, ia menyebut orang-orang yang anti terhadap khilafah adalah orang yang anti terhadap agamanya (baca: Islam) sendiri, anti terhadap syariat Islam, anti terhadap simbol agamanya sendiri, dan anti terhadap segala hal yang berbau Islam. Hal ini jelas sangat berlebihan.
Mereka yang menolak khilafah dianggap anti terhadap Islam. Padahal persoalan ini jelas-jelas merupakan persoalan yang sifatnya ijtihadi atau pemikiran. Bukan persoalan akidah. Jadi kita boleh untuk tidak setuju. Sebab ijitihad bukanlah sesuatu yang mutlak kebenarannya dan bisa berpotensi salah.
Karenanya ia tak dapat dipaksakan. Setiap orang berhak untuk menerima dan menolak. Tergantung pada apakah ijtihad yang dibuat tersebut membawa maslahat yang besar atau tidak. Jika ternyata malah membawa mudharat (bahaya), maka kita dianjurkan untuk meninggalkannya.
Mengapresiasi Pandangan Cendekiawan Muslim Moderat
Sebagaimana disinggung di awal, permasalahan tentang ide negara Islam di Indonesia hakikatnya bukan persoalan boleh dan tidak boleh. Karena perlu untuk diingat bahwa, pemikiran cendekiawan muslim yang menolak berdirinya negara Islam itu lahir dan dibentuk oleh lingkungan dan kultur tempat di mana ia tinggal, yakni Indonesia. Makanya lontaran pemikiran mereka harus dibaca dalam konteks Indonesia, yang notabenenya adalah multikultur.
Langkah yang mereka ambil itu sesungguhnya adalah langkah yang sangat bijaksana dan dewasa. Mereka telah berpikir dan memandang jauh ke depan. Mereka tidak ingin jika suatu saat nanti negaranya akan kacau hanya karena permasalahan agama. Mereka juga tidak ingin jika suatu saat nanti akan terjadi kecemburuan sosial antara satu agama dengan yang lain.
Mereka tidak lagi memosisikan dirinya sebagai tokoh umat, melainkan sebagai tokoh bangsa atau negarawan. Dengan demikian, mereka harus mengayomi segenap bangsa Indonesia tanpa memandang agama, suku dan etnis mereka.
Semuanya adalah sama. Karenanya kebijakan yang mereka buat tidak hanya tertuju untuk kepentingan satu kelompok, tetapi untuk semua.
Sikap yang amat dewasa ini sudah sepatutnya kita berikan apresiasi setinggi-tingginya. Sebab tanpa kejernihan pikiran mereka dalam memandang persoalan, mungkin kita bangsa Indonesia sudah terpecah belah, terpental, dan hancur menjadi debu.
Rasullullah menerapkan hukum Qisas, Potong Tangan dan Rajam apakah hukum tersebut bagian dari Hukum dalam mendirikan negara ISLAM ?