Perspektif

Darurat Kekerasan Seksual Perempuan

3 Mins read

Kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi di Indonesia kian mengkhawatirkan.  Rancangan Undang–Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) nampaknya tidak perlu lagi menjadi perdebatan, namun mendesak harus segera disahkan. Mengingat, eskalasi kekerasan seksual terhadap perempuan akhir–akhir ini meningkat signifikan.

Belum lama ini, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan marak terjadi di tempat tinggal penulis, yakni di Tasikmalaya. Salah satu diantaranya adalah kasus yang terjadi di bulan Januari 2020 lalu, dimana seorang ayah dari lima anak mencabuli salah satu anak gadisnya yang masih berusia 16 tahun selama satu tahun bahkan sampai melahirkan anak laki-laki di RSUD dr Soekardjo.

Sang ibu dari anak tersebut juga mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui anaknya hamil oleh ayahnya sendiri. Bahkan, tidak mengetahui kapan sang anak hamil. Awalnya, sang anak mengeluhkan perutnya sakit, kemudian ibunya membawa anak tersebut ke Klinik Melati di Cicariang untuk berobat.

Hasil pemeriksaan oleh pihak klinik, diperoleh informasi bahwa anak pelapor atau korban akan melahirkan dan disarankan untuk dibawa ke rumah sakit guna memastikan benar atau tidaknya diagnosa dari klinik tersebut. Benar saja anak tersebut ternyata melahirkan bayi laki – laki.

Tindakan asusila ini tentu saja tidak boleh terus menerus dibiarkan. Ini sudah masuk dalam darurat kekerasan seksual perempuan. Dalam studi kejahatan, kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan adalah graviora delicta yang berarti kejahatan paling serius, anak dan perempuan yang merupakan kelompok rentan yang seharusnya dilindungi justru menjadi objek kejahatan (Danes, 2019).

Berdasarkan data Komisi Nasional Perempuan, pada 2019 terdapat 5.509 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Dari total jumlah tersebut, sebanyak 2.988 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan berlangsung dalam ranah rumah tangga. Sementara sejumlah 2.521 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi di ranah komunitas.

Baca Juga  Nikon Just Released Some Terrible Financial Results

Sayangnya, hingga kini penegakan hukum yang berpihak pada perempuan masih dinilai lemah. Beberapa kasus kekerasan seksual banyak yang terhenti dan sulit diproses karena pandangan kontribusi korban (victim participation) sehingga diarahkan untuk tidak meneruskan perkaranya ke ranah pengadilan (Vennetia, 2019).

Potret yang cukup memperihatinkan ketika kasus Nuril Baiq malah justru dijadikan sebagai tersangka atas kasus pencemaran nama baik dengan menggunkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kasus – kasus kekerasan seksual pada perempuan yang sangat beragam ini, semakin meresahkan kaum perempuan itu sendiri. Siapa sangka, pelaku kekerasan seksual yang terjadi di Tasikmalaya, itu dilakukan oleh orang terdekat yang setiap hari bersama di rumah. Ini berarti keamanan perempuan telah terancam. Belum lagi bias masyarakat terhadap kaum perempuan yang masih terjadi.

Aksi Nyata

Oleh karenanya penegakan hukum yang kuat menjadi aksi nyata untuk menjamin perlindungan perempuan sangatlah dibutuhkan. Pemerintah dan DPR harus segera memberikan solusi konkrit atas permasalahan kekerasan seksual yang terus terjadi. Kalau kondisi seperti ini selalu dibiarkan, mau sampai kapan?

Korban kekerasan seksual para perempuan semakin banyak berjatuhan. Pelaku bebas berkeliaran. Sementara DPR masih berkutat pada polemik yaitu kontroversi dan pertentangan yang mempersoalkan materi RUU dengan nilai – nilai pancasila dan agama.

Pada akhirnya penulis sendiri mempertanyakan atas keterwakilan perempuan di parlemen yang meningkat menjadi 21 persen pada hasil Pemilu 2019, karena nyatanya mereka belum mampu maksimal menunjukkan keberpihakannya kepada kaum perempuan. Padahal semestinya perempuan di parlemen dapat mengarusutamakan kepentingan perempuan. Masyarakat hanya menaruh harapan kepada para wakil rakyatnya.

Selanjutnya, organisasi yang bergerak di bidang perempuan dan anak seperti Nasyiatul Aisyiyah, Aisyiyah, Fatayat Nahdatul Ulama, Kaukus Perempuan dan lainnya diharapkan dapat meningkatkan kepekaan ketika adanya kasus kekerasan seksual kepada perempuan yang terjadi di daerahnya.

Baca Juga  Peran Penting Anggota Dewan untuk RUU TPKS di Masa Reses

Siapa lagi yang bisa peka kalau bukan sesama perempuan. Lebih konkritnya, bisa melakukan pendampingan dan advokasi kepada korban dan menuntut untuk mengusut tuntas pelaku.

Kekerasan seksual ini definisinya luas, tidak hanya pada terjadi pada hubungan intim tetapi juga perbuatan merendahkan, menghina, menyerang atau perbuatan lainnya terhadap tubuh seseorang (Kompas, 2/09/2019). Mirisnya hal ini juga sering dilakukan oleh internal komunitas perempuan, teman sekantor bahkan teman terdekat.

Mulai saat ini, stop kata kata yang bisa menyudutkan pada pelecehan. Bisa saja beberapa fakta yang terjadi juga awalnya hanya dari kata kemudian ditunjukkan dengan perilaku dan lebih jauh lagi. Naudzibillahimindzalik

Untuk itu, peran organisasi keperempuanan ini dapat mengendalikan perilaku perilaku penyimpangan agar kejahatan seksual dapat terminimalisir sampai pada memutus rantai kekerasan seksual perempuan. Melakukan kajian–kajian rutin di komunitas dan kemudian disampaikan lagi kepada perempuan lainnya menjadi hal yang perlu diprioritaskan. Orang yang paham saja kadang bisa terjebak apalagi yang awam.

Selain itu, karena kekerasan seksual juga banyak mengancam anak perempuan dan terjadi di dunia pendidikan juga harus mendapatkan perhatian. Untuk itu, KPAI perlu kiranya bergandengan dengan dinas pendidikan dalam bentuk sosialisasi kepada para pendidik agar memberikan edukasi kepada siswa siswinya supaya berani berbicara ketika mengalami kekerasan seksual. Posisi anak yang lemah kerap menjadi kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindakan bejat. Posko pengaduan yang sudah terbentuk di beberapa instansi pendidikan dapat dimaksimalkan dengan baik. Hal ini juga efektif untuk dijadikan sebagai wadah diskusi para siswa.

Mencegah kekerasan seksual pada perempuan bukan hanya menjadi tugas beberapa pihak tertentu, tetapi menjadi tugas semua pihak tak terkecuali. Stop kekerasan seksual perempuan!

Baca Juga  Memahami Kerusakan Alam Indonesia dari Novel Dunia Anna
Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

2 Mins read
“Tunisia dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan”, tetapi sebaliknya “Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tapi jauh secara Kebudayaan”…
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *