Falsafah

Apakah Manusia Memiliki Kedaulatan?

3 Mins read

Oleh: Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo

Berbicara mengenai ”Kedaulatan Manusia,” maka sesungguhnya di zaman sekarang ini dengan dunia yang telah mempunyai alat komunikasi yang luas dan penghuni yang berjumlah dua milyar manusia lebih, sukar benar untuk memisahkan manusia yang satu dari manusia yang lain. Apalagi karena para manusia itu toh tidak juga dapat melepaskan dirinya masing-masing dari hubungannya dan kepentingannya dengan sesama manusia yang dekat maupun yang jauh. Dengan begitu, maka sukarlah untuk bicara mengenai ”Kedaulatan Manusia.” Oleh sebab itu, paling-paling lebih tepat untuk bicara mengenai ”Kedaulatan Pribadi Manusia.”

Kedaulatan Pribadi Manusia         

Dengan istilah ”Kedaulatan Pribadi Manusia”itu, maka menonjollah aspirasi dan watak perorangan sebagai pribadi untuk menganggap dirinya penting, lebih penting dari yang lain (siapa pun dan apapun). Sampai-sampai manusia itu tidak saja mempunyai harga diri (selfrespect), tetapi juga mempunyai kekaguman terhadapa pada diri sendiri. Tetapi betulkah dia itu ”berdaulat” atau ”berkedaulatan”? Berkuasa penuh?

Segera pertanyaan itu dapat dijawab: tidak! Dia tidak berdaulat, karena dia nyatanya berhajat kepada dan memerlukan bantuan dari manusia atau orang lain. Di zaman sekarang ini tidak ada manusia yang sungguh-sungguh berdikari, yang berdiri di atas kaki sendiri. Dia tidak makan makanan yang dia tanam sendiri, apalagi membikin sendiri! Tidak ada manusia yang sanggup bikin cabe sendiri, bikin singkong sendiri, bikin petai, padi, ikan, kambing sendiri, dan lain sebagainya. Pakaiannya pun tidak dibuat sendiri!

Paling-paling manusia itu dapat bicara mengenai hak atas tenaga atau ilmunya. Mengenai hak atas rumah dan tanahnya. Mengenai hak atas milik dan harta-bendanya. Akan tetapi, dengan pemikiran lebih jauh, maka terbuktilah bahwa segala hak yang ia banggakan itu adalah pemberian atau titipan dari Allah kepadanya belaka. Ya, badan dia, ruh dia, dan segala sesuatu yang dia akui itu adalah dari Allah dan milik Allah. Dan kesemuanya itu bahkan akan kembali kepada Allah (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). ”Pribadi”dia sendiri itu pun milik Allah.

Baca Juga  Mulla Shadra (3): Pengaruh Filsafat Islam Sebelumnya

Memang akhirnya tiap manusia tanpa kecuali di dalam kejujurannya harus mengakui bahwa ia itu hanya makhluk. Sedang Allah adalah Al-Khaliknya. Yang menciptakan semua alam seisinya ini, termasuk manusia. Silahkan baca Quran Surat Al-An’am 101: ”…Dan Dia (Allah) menciptakan segala sesuatu (termasuk manusia), dan bila mengetahui segala-galanya.” Silahkan juga baca Quran Surat Al-A’raaf 11: ”Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (manusia) dan telah Kami bentuk rupamu.” Dan oleh karena itu, yang menentukan sesuatunya itu adalah Allah, bukan manusia! Dan manusia sebagai makhluk tidak kuasa luas, apalagi berdaulat penuh.

Dalam pada itu, Allah pulalah karena Maha Kasih Sayang-Nya sanggup memberi pelbagai nikmat dan keleluasaan kepada makhluk. Satu dan lain tentu tidak terlepas daripada batas dan tanggung jawabnya. Allah antara lain bersabda: ”Makanlah dan minumlah, tetapi perhatikanlah batas-batasnya” (QS. Al-A’raaf: 31).

Surat Al-Isra 15: ”Siapa yang berjalan di jalan yang benar, maka (akibat) kebaikannya adalah untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat jalan, maka kesesatannya itu pun untuk kerugian dirinya sendiri, dan seorang pemikul dosa tidak dapat memikul beban dosa orang-orang lain: dan Kami tidaklah memberi siksaan/hukuman sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” Surat An-Najm 38 : ”Seorang pemikul dosa tidak dapat memikul dosa orang lain.”

Dari ayat-ayat itu teranglah bahwa pertanggungjawaban atas perbuatan sendiri tidak dapat dihindari atau dielakkan, apalagi ditimpakan kepada orang lain dengan alasan apa pun. Lebih tegas mengenai tanggung jawab manusia itu, maka Allah di dalam Al-Quran Surat Al-Qiamah ayat 36 berfirman: ”apakah manusia mengira bahwa dia akan dibiarkan begitu saja (dengan tidak bertanggung jawab”)?

Banyak ayat Al-Quran yang khusus ditujukan kepada manusia (tidak kepada non-manusia), dengan panggilan tegas-tegas: ”Ya ayyuhannas” yang artinya: ”Hai manusia.” Dan dengan ayat itu, Allah memberi petunjuk dan pedoman kepada semua manusia secara gratis karena kasih-sayang-Nya, agar manusia dapat tetap berada di jalan yang lurus dan benar (Sirathal Mustaqim) dan tidak tergoda (apalagi digoda) oleh setan dan hawa nafsu.

Baca Juga  Yang Mempengaruhi Marx (2): Feuerbach dan Alienasi Agama

Penciptaan Manusia

Mengenai penciptaan manusia oleh Allah, bersama ini diberikan beberapa ayat Al-Quran. Al-Quran Surat Al-Mu’min 67: ”Dialah (Allah) yang menciptakan kamu (manusia) dari tanah, kemudian dari setetes air mani, kemudian dari darah beku, kemudian kamu dikeluarkan sebagai kanak-kanak, kemudian agar kamu sampai dewasa, dan akhirnya menjadi tua; di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu, dan ada pula yang sampai kepada waktu ajal yang ditentukan, mudah-mudahan kamu mengerti.” Quran Surat Al-An’aam 2 : ”Dia (Allah) yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukan-Nya waktu ajalnya dan waktu ajal yang ditetapkan di sisi Allah, namun kamu masih ragu.” Ayat 3 : ”Dan Dialah Tuhan di langit dan di bumi, mengetahui rahasiamu (fikiran) dan keteranganmu (perkataan) dan mengetahui apa yang kamu usahakan.”

Quran Surat Al-Hajj 5 : ”Hai manusia! Kalau kamu masih ragu tentang hari kebangkitan, maka ingatlah bahwa kami telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani (sperma), kemudian mani itu menjadi darah beku, sampai ia menjadi segumpal daging, yang sempurna kejadiannya dan ada yang tidak sempurna, supaya Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam kandungan (rahim peranakan) itu sebagaimana yang Kami kehendaki sampai waktu yang ditentukan; kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian kamu menjadi dewasa; dan sebagian kamu ada yang diwafatkan dan sebagian diantar sampai kepada usia yang sangat lanjut, sehingga ia tidak mengetahui lagi apa-apa, sesudah (dahulu) mengetahuinya.”

Sumber: artikel “Hal Kedaulatan” ditulis oleh Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo dimuat di SM no. 1/Th. Ke-58/1978. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id secara berseri dengan penyuntingan

Editor: Arif

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds