Falsafah

IPS Bodoh, IPA Pintar: Sebuah Dilema Dikotomi Pendidikan

3 Mins read

Pendidikan menjadi keniscayaan dalam peradaban manusia. Menurut Durkheim dalam Wahyudi (2018), hakikat pendidikan adalah penanaman nilai dan norma di masyarakat pada generasi muda agar terus tercipta keteraturan sosial. Keteraturan sosial dalam hal ini menjadi ciri masyarakat beradab. Masyarakat yang segala tindakannya didasarkan pada pengetahuan dan teknologi.

Namun, seiring berjalannya waktu, pendidikan tidak hanya diperuntukkan dalam penanaman nilai dan norma. Akan tetapi, kian menciptakan suatu bentuk praktik dominan.

Pengetahuan menjadi salah satu bentuk dominasi. Pengetahuan yang diajarkan dalam pendidikan tidaklah murni. Menurut Foucault dalam Fakih (2011), menjelaskan bahwa pengetahuan tidak pernah netral dan selalu mengandung kuasa di dalamnya. Terdapat hubungan timbal balik yang kuat antara pengetahuan dengan kekuasaan (Foucault, 2017).

Antara Kelas IPA dan IPS

Hal tersebut terbukti dalam praktik pendidikan yang ada. Terutama di negara dunia ketiga. Dalam hal ini adalah Indonesia. Pendidikan di Indonesia, utamanya di tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) sejauh ini telah mereproduksi dominasi pengetahuan. Sehingga menghasilkan sebuah dikotomi kejam bodoh dan pintar. Kedua dikotomi ini terus berkembang hingga saat ini (Lalujan et al., 2019).

Kasus paling mencolok terlihat pada tingkat pendidikan menengah atas. Terdapat pembagian jurusan sesuai minat dan kemampuan siswa yaitu IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial).

Pembagian ini tidak hanya ditujukan untuk pembagian minat dan kemampuan siswa semata. Namun, ikut memproduksi dikotomi bodoh dan pintar dalam pendidikan.

IPA dengan prinsip pengetahuan yang objektif, non etis, dan ilmiah , mendapat label sebagai pengetahuan orang-orang pintar (Hana, 2020). Berbeda dengan IPS yang mendapat label sebaliknya. Akhirnya, peserta didik menjadi korban atas label dan dikotomi yang tercipta dalam pendidikan itu sendiri.

Baca Juga  Para Filsuf Islam di Timur

Dulu, kelas IPA hanya sedikit. Dibatasi untuk siswa tertentu saja. Memasuki kelas IPA menjadi harapan para peserta didik. Sebab, masuk kelas IPA menjadi kebanggan tersendiri dan secara otomatis dianggap sebagai siswa yang pintar. Berbeda dengan IPS yang menjadi kelas “buangan”. Siswa yang tidak berhasil masuk kelas IPA dialihkan ke kelas IPS.

Namun, kondisi saat ini sudah berbeda. Kelas IPA menjadi lebih banyak. Hal ini menunjukkan sistem pendidikan telah merubah orientasinya. Pendidikan mengikuti permintaan masyarakat.

Hasil penelitian dari Lidwina menunjukkan bahwa masyarakat luas semakin banyak yang mengharapkan anaknya bisa masuk IPA (Hana, 2020). Sehingga, sistem pendidikan seakan menyetujui hal tersebut.

Akhirnya. banyak orang tua yang memasukkan anaknya ke kelas IPA dengan asumsi bahwa anaknya akan menjadi pintar dan memiliki masa depan yang jelas. Hal ini berujung pada kelas IPS yang sepi peminat dan semakin termarginalisasi. Menghasilkan semakin kuatnya dikotomi bodoh dan pintar dalam pendidikan (Megawati, 2012).

Paradigam Positivistik yang Mendominasi

Fenomena di atas akhirnya memunculkan persoalan. Mengapa IPS tidak bisa eksis dibanding IPA? Mengapa akhirnya IPA mendominasi pengetahuan dalam dunia pendidiakan?

Jawaban atas persoalan tersebut tidak bisa dilepaskan dari IPS sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akhirnya berkaitan erat dengan paradigma. Dan dalam hal pendidikan di Indonesia, paradigma ilmu pengetahuan sosial didominasi oleh paradigma positivistik. Paradigma yang menganut prinsip-prinsip ilmu alam dalam analisisnya. Paradigma yang mengasumsikan bahwa masyarakat sebagai objek layaknya benda dalam kajian ilmu alam. Dominasi paradigma positivistik inilah yang akhirnya memenjarakan ilmu pengetahuan sosial dalam bayang-bayang ilmu alam (Fakih, 2011).

Paradigma positivistik dikembangkan oleh Auguste Comte atau yang dikenal dengan bapak sosiologi Eropa. Terlihat dari konsep hukum 3 tahap perkembangan masyarakatnya.

Baca Juga  Tiga Catatan Kritis Omnibus Law Bidang Pendidikan

Comte menjelaskan bahwa perkembangan masyrakat terbagi menjadi 3 tahap. Teologi, metafisik, dan positivistik. Tahap positivistik menjadi tahap terbaik yang dicapai oleh masyarakat. Masyarakat postivistik dianggap sebagai masyarakat yang dapat berpikir secara ilmiah dan objektif (Ritzer & Goodman, 2016).

Namun, menurut Hebermas, paradigma postivistik tidak seharusnya menjadi paradigma utama ilmu sosial. Sebab, positivistik menyamakan masyarakat yang memiliki akal dan rasa dengan benda layaknya ilmu alam. Sejatinya, postivistik adalah pengetahuan yang menindas masyarakat (Fakih, 2011).

Hebermas akhirnya membagi 3 paradigma dalam ilmu sosial. Positivistik, hermeneutik, dan kritis. Paradigma positivistik dianggap sebagai pengetahuan yang seharusnya mulai ditinggalkan. Sebab, selain menindas, positivistik akhirnya mendominasi dengan banyak kepentingan di dalamnya. Salah satu produk positivistik adalah modernisasi.

Definisi moderniasasi yang tertanam dalam Pendidikan di SMA menunjukkan dominasi pengetahuan positivistik. Moderniasasi di SMA dipahami sebagai proses perubahan masyarakat tradisional ke modern. Masyarakat modern adalah masyarakat yang segala pekerjaannya dipermudah dengan keberadaan teknologi (Soekanto & Sulistyowati, 2013).

Pendidikan Perlu Mempertimbangkan Paradigma yang Lain

Namun, pemahaman tentang teknologi dalam pandangan ilmu sosial seharusnya tidak demikian. Ilmu pengetahuan sosial seharusnya lebih kritis dalam melihat fenomena yang berkembang. Paradigma kritis menawarkan pandangan reflektif emansipatoris yang menjadikan mayarakat sebagai subjek. Dalam pandangan kritis, masyarakat diasumsikan sebagai manusia yang memiliki akal dan rasa. Sehingga, lebih melihat fenomena dengan mengedepankan prinsip memanusiakan manusia (Freire, 2001).

Modernisasi dalam pandangan kritis tidak sekadar mempermudah pekerjaan manusia dengan teknologi. Akan tetapi, mengalienasi tenaga kerja para buruh. Orientasi teknologi sejatinya adalah efektivitas, efisiensi, dan kualitas komoditas. Dengan penggunaan teknologi, maka para kapitalis dapat memeras nilai lebih dari buruh yang dianggap hanya mengoperasikan mesin (Ramin, 2017).

Baca Juga  Daftar Lima Pesantren Besar di Jawa Barat

Pendekatan dengan memposisikan masyarakat sebagai objek sudah seharusnya menjadi masa lalu ilmu pengetahuan sosial. Perlu pandangan yang lebih transformatif untuk menjadikan ilmu pengetahuan sosial yang eksis.

Pendidikan yang selama ini mewarisi paradigma positivistik, sudah seharusnya mulai mempertimbangkan paradigma lain. Terutama dalam tatanan sekolah menengah atas. Sehingga, dikotomi bodoh dan pintar dalam pendidikan dapat dihilangkan secara perlahan. Semoga.

Editor: Yahya FR

Naufalul Ihya' Ulumuddin
6 posts

About author
Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *