Inspiring

Spirit Kesetaraan Gender Ibu Ainun dalam Film Habibi Ainun 3

3 Mins read

Film merupakan salah satu bentuk komunikasi massa yang cukup populer di Indonesia saat ini. Memasuki kuartal ketiga tahun 2016, jumlah film Indonesia yang sudah beredar hingga saat ini di mencapai 80 film. Sebanyak 10 film telah ditonton oleh lebih dari 500 ribu penonton. Bahkan 7 dari 10 film tersebut berhasil menembus angka satu juta penonton. Apalagi film Habibie Ainun.

Sebanyak 10 film telah ditonton oleh lebih dari 500 ribu penonton. Bahkan 7 dari 10 film tersebut berhasil menembus angka satu juta penonton. Film selain sebagai alat untuk mencurahkan ekspresi bagi penciptanya, juga sebagai alat komunikator yang efektif. Sebuah film dapat menghibur, merangsang pemikiran, mendidik, melibatkan perasaan dan memberikan dorongan bagi para penontonnya. Terlebih film juga bisa memberikan efek-efek negatif bagi penontonnya di kehidupan sehari-hari.

Setidaknya terdapat beberapa Urgensi yang dikampanyekan melalui pemutaran film, 1) memberi informasi (to inform), (2) mendidik (to educate), dan (3) menghibur (to entertain). Di balik pemutaran film sendiri ialah kiranya sebuah pesan moral yang ditampilkan oleh segenap film tertentu. Tidak menutup kemungkinan antar satu sama lain akan memberikan sebuah pesan moral yang berbeda. Hal yang demikian sesuai dengan latar, kondisi, situasi, historis dari sebuah film.

***

Salah satu dari sekian banyak film yang viral pada era dekade ini ialah seri film Habibie Ainun yang terkemas dalam 3 seri film. Sekilas singkat pada seri pertama film tersebut menampilkan sosok Habibie di era dewasa. Begitu juga dengan sosok Ainun sebagai sosok istri dari Habibie.

Berlanjut pada seri kedua, dalam film tersebut secara global menampilkan sosok Habibie muda dengan segala macam dinamika kehidupan yang dimengiringinya. Adapun dalam film ketiga, ialah sosok Ainun muda yang ditampilkan sebagai scene global dalam penayangan film tersebut.

Baca Juga  Membayangkan Aisyah Istri Rasulullah Seperti Nyai Ontosoroh, Kartini, atau Siti Walidah

Jejak Kehidupan Ainun Muda

Sepintas dalam film yang ketiga tersebut diceritakan jejak kehidupan Ibu Ainun semasa muda yang teguh sebagai sosok wanita yang berpendirian. Menjadi seorang wanita yang hidup pada era orde baru di awal kemerdekaan tidaklah sama dengan kondisi kehidupan wanita pada era sekarang.

Ia harus berjuang menjadi sosok wanita tangguh di tengah kepungan wacana bias gender kaum pemuda atau laki-laki. Salah satu rangkaian scene menarik dalam film ini ialah ketika Ibu Ainun hendak memilih jenjang pendidikan dokter sebagai jalan mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang dokter. Singkat cerita pada era tersebut menjadi seorang dokter hanya pantas dilakukan oleh sosok laki-laki dan tidak dengan kaum wanita.

Kembali kepada film Habibie Ainun, sesuai dengan kondisi historis pada era tersebut perempuan belum memliki ruang pendidikan yang luas layaknya laki-laki, yang salah satunya ialah jenjang pendidikan dokter.

Sosok Ainun dalam film tersebut sebagai wanita yang ingin menjadi seorang dokter dengan mengambil langkah masuk fakultas kedokteran Universitas Indonesia pada saat itu menglami nasib pelecehan ataupun cercaan dari sebagian mahasiswa laki-laki yang gagal paham akan ruang pendidikan wanita.

Ainun Pernah Didiskriminasi

Terlihat dari ucapan yang dilontarkan oleh sebagian mahasiswa yang mengatakan bahwa profesi dokter hanya dapat dilakukan oleh kaum laki-laki, dan kaum wanita tidak berhak akan posisi tersebut. Maka dalam hal ini jelas, nampak bagaimana telah terjadi konstruk dikriminatif terhadap ruang pendidikan wanita. Fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai salah bentuk diskriminasi gender.

Mengacu kepada ragam bentuk diskriminasi gender, penulis berpendapat bahwa fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk streotipi, subordinatif, serta marginalisasi. Disebut sebagai bentuk streotipi ialah ketika teman dari Ainun dalam film tersebut beranggapan bahwa pendidikan wanita hanyalah sebatas pendidikan dasar saja.

Baca Juga  Hayyunah, Perempuan "Gila" yang Cinta Mati kepada Sang Maha Cinta

Sedangkan kaum laki-laki lebih berhak untuk mendapatkan pendidikan hingga profesi dokter. Bentuk diskriminasi streotipi dapat menimbulkan bahaya ketika dengan adanya sikap tersebut akan menghambat ruang gerak produktifitas baik laki-laki dan perempuan masing-masing untuk mencapai karir atau cita keidupan mereka masing-maisng.

Ketika ada seorang perempuan yang gigih mengejar cita-cita pendidikan dokter yakni Ainun kecil. Hal tersebut dapat dikatakan sebuah ketidak lumrahan karena pada umumnya wanita pada saat itu belum diyakini cocok menjadi seorang dokter. Namun cukup menjadi seorang suster atau perawat, yang dalam istilah lainnya hanya bisa menjadi pembantu dokter bukan menjadi seorang dokter.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu pandangan atau pola pikir yang demikian mulai tidak relevan dengan kondisi era modern sekarang. Di mana banyak dari masyarakat yang mulai sadar akan kesetaraan pendidikan yang dapat dikenyam oleh setiap manusia. Sehingga secara tidak langsung pola pikir tersebut telah bergeser seiring dengan konstruksi dan aktifitas tersebut yang pada akhirnya akan membentuk normalisasi social dengan tatanan baru.

Jaman Modern Ramah Perempuan

Adapun jika dikaitkan dengan kondisi modern sekarang kiranya telah terjadi pergeseran dan perubahan. Kaum wanita mulai mempunyai akses untuk mengenyam pendidikan dokter dan dapat berkarir dalam bidang tersebut. Hal yang demikian dikarenakan fungsionalis structural dalam masyarakat telah berubah, serta konstruksi masyarakat juga telah mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.

Di Indonesia sendiri nuansa dan kondisinya telah berubah terlebih paska era reformasi, di mana masyarakat mulai bisa bersuara dengan ruang yang lebih representative, seiring juga dengan banyaknya kampanye dari belahan dunia yang menyuarakan adanya kritisasi akan sikap-sikap kesepakatan social yang cendrung diskriminatif dan patriarki.

Baca Juga  Ki Bagus Hadikusumo (1): Sang Mujahid Konstitusi

Namun tidak menutup kemungkinan di tempat-tempat yang masih sulit terjangkau akses perkembangan keilmuan tidak dapat dipungkiri masih bertahan dengan sistem yang demikian. Seperti yang telah penulis kisahkan diatas. Hal yang demikian terjadi dikarenakan ialah spirit kesetaraan yang mulai dikampanyekan dan mendapat respon positif oleh masyarakat secara umumnya.

Pemikir modernis barat Talcott Parsons dan Robert Bales mengistilahkan hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan pelestarian keharmonisan  daripada bentuk persaingan.

Generasi milenial sudah sepatutnya menangkap hal positif dari film tersebut bahwasanya dalam film tersebut tidak hanya terhibur dengan nuansa romantis kisah asmara Prof Habibi dan Ibu Ainun, melainkan juga spirit rakus akan ilmu pengetahuan. Tentunya sesuai dengan passionnya masing-masing tanpa melihat jenis, ras, bahasa, suku, derajat sosial untuk mengejar predikat ilmuan di bidangnya masing-masing.

Editor: Wulan

Avatar
3 posts

About author
Awardee PBSB Kemenag RI
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *