Perspektif

Kisruhnya PAN dan Hilangnya Partai Reformis

3 Mins read

Gonjang-ganjing politik di negeri ini memang selalu saja menarik untuk kita kaji. Karena persoalan politik sebenarnya melampaui dari sebatas persoalan uang, jabatan, dan kekuasaan. Partai politik memiliki hak untuk mengejewantahkan politik melalui etika politik yang diatur di masing-masing partai politik.

Politik dimainkan partai politik sedemikian rupa. Budaya kritik dan budaya membangun etika politik terasa kurang di partai politik saat ini. Politik telah dikebiri menjadi sekadar politik transaksional dan politik yang cenderung pada koalisi kekuasaan semata.

Masih segar di dalam ingatan publik, dua kubu yang begitu panas di kala pemilu 2019 kemarin. Kubu pendukung Jokowi maupun kubu pendukung Prabowo. Pasca pemilu usai, dan pembentukan kabinet tiba, maka hampir dipastikan tidak ada kubu yang berteriak-teriak heroik seperti pada saat sebelum pemilu.

Kita (rakyat) pun masih sama saja, sebagai penonton dalam drama dan sandiwara partai politik. Politik masih kental dan kentara dengan nilai-nilai dan spirit semu. Kita tak melihat spirit awal partai politik itu, kita tak melihat ideologisasi yang kental dengan teriakan atas nama rakyat itu.

Dan masih kita lihat atas nama kemanusiaan partai politik masih membawa panji-panji dan slogan semu semata. Politik berubah jadi arus tafsir masing-masing. Partai politik itulah yang menafsirkan politik, tak ada tempat rakyat menafsirkan dan bicara politik, sebab partai politik sudah merasai mereka mewakili rakyat.

Menjelang akhir tahun, di 11 november 1998 berdirilah Partai Amanat Nasional (PAN). Partai yang mengusung cita-cita reformis ini hadir bersamaan tokoh yang memimpin reformasi 1998. Partai berlambang matahari biru ini digadang-gadang akan memberikan warna baru politik kita.

Meski lahir bersama tokoh-tokoh muhammadiyah, tapi ia tak mau diidentikkan dengan Muhammadiyah. Politik pun disuarakan, dengan membawa panji-panji pendidikan, kedaulatan rakyat, dan juga panji-panji reformis, partai ini hadir di tengah-tengah kita.

Baca Juga  Pak Amien, dari Nasionalis-Religius Menuju Sektarian-Ekslusif?

Kehadiran PAN selama ini cukup dikenal dengan terobosan-terobosannya dan suara pemimpinnya yang dikenal kritis, lugas, dan tak pandang kompromi menghadapi dan menyikapi isu-isu persoalan kebangsaan dan kemanusiaan.

PAN hadir bersama kritisisme Amien Rais terhadap berbagai persoalan yang melanda bangsa kita. PAN hadir menyuarakan arus bawah yang cenderung kalah dengan berbagai arus besar yang ada dalam dunia politik kita.

Sampai akhirnya, Amien Rais yang menjadi ketua Majelis Penasehat Partai (MPP) mengeluarkan suara terakhirnya dalam buku SELAMATKAN INDONESIA: Agenda mendesak bangsa.

Setidaknya, itulah suara terakhir Amien Rais dan kritisismenya. Karena paska itu, suara PAN bersama tokoh-tokoh lain tak segentar Amien Rais. Meski Sutrisno Bachir lahir bersama PAN, tapi tak banyak yang mendukung arus kritis Sutrisno Bachir.

Agenda-agenda PAN kini cenderung kehilangan identitas kulturalnya sebagai partai yang membawa spirit reformis terhadap isu-isu kebangsaan dan isu kemanusiaan. Meskipun PAN dengan tegas menolak keterkaitan antara Muhammadiyah , banyak kader-kader partai politik mereka diisi oleh orang-orang dari muhammadiyah.

PAN pun kehilangan strategi untuk menjaring kader-kader militan yang berada di luar Muhammadiyah. Selain Muhammadiyah lebih cenderung berada di posisi tengah,  PAN semakin kehilangan program yang memikat rakyat maupun mengokohkan kadernya.

Lupa Manifesto

Paska reformasi 1998, kita memang membutuhkan lebih dari kedewasaan politik dan juga partisipasi publik dalam berpolitik. Spirit yang muncul paska reformasi 98, tak lain adalah restrukturisasi dan reformasi di segala bidang termasuk dalam partai politik yang mengusung isu-isu perubahan dan juga isu-isu kesejahteraan.

Salah satu tujuan reformasi tak lain adalah pencapaian kesejahteraan disamping keterbukaan dan juga isu-isu kebebasan bersuara atau bisa dikatakan demokratisasi.

Akan tetapi, harapan itu, tidak bisa lagi diemban oleh partai-partai politik yang lahir paska reformasi seperti PAN, Hanura, Gerindra, bahkan sampai pada partai Demokrat dan Nasdem. Ke semua partai memang hadir dengan spirit nasionalisme, dan jargon reformis. Akan tetapi tak ada satupun partai yang lahir tersebut menunjukkan kritisisme dan juga keberpihakan di saat suara itu dibutuhkan oleh rakyat.

Baca Juga  Kreativitas dalam Islam: Membawa Perubahan Positif!

Partai politik itu pun berkoalisi, soft silence bersama partai yang memegang pemerintahan. Tak adanya kritisisme ini membawa dampak yang cukup krusial, negeri ini pun cenderung dan kian tak karuan di tengah-tengah utang luar negeri yang begitu mencekik, kesejahteraan yang tak kunjung tercapai sekaligus kemiskinan yang semakin ekstrem.

Maka kecenderungan negeri ini ke negara gagal pun tak ada tanggapan yang cukup signifikan, korupsi seolah-olah diamini bersama oleh partai politik kita. Oleh karena itu, di tengah-tengah kondisi krisis kebangsaan dan kemanusiaan, kita membutuhkan partai dan suaranya yang benar-benar kritis akan kondisi kepemimpinan, korupsi, dan berbagai persoalan lain.

Selain daripada keadaan yang mendesak, rakyat juga butuh keterwakilan dari partai politik itu, jika memang partai politik itu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Kita masih butuh partai reformis, ditengah koalisi yang hanya bertumpu pada kekuasaan semata.

Kini, setelah suara Amien Rais yang getol mengkritik Jokowi saat jelang pemilu yang menyebut pemilu 2019 kemarin sebagai perang Baratha Yudha, kini partainya sendiri pun sedang perang internal di Kongresnya di Kendari.

Peristiwa ini bukan hanya menunjukkan bahwa partai politik semakin kehilangan etikanya, tapi juga menunjukkan bahwa harapan rakyat terhadap partai reformis ini kian tiada.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds