Oleh: Muhammad Abdullah Darraz
Syahrur mempertanyakan ulang hadits 10 Sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasul. Dari semua sahabat itu tidak ada yang berasal dari kaum Anshar. Semua dari Qabilah Quraisy Muhajirun. Mengapa? Adakah hadits yang secara khusus menyebutkan nama-nama pemuka Anshar yang dijamin surga juga? Wallahu a’lam, yang terakhir ini saya juga belum menemukan. Tapi ini dijadikan argumen oleh Syahrur terkait beberapa point berikut.
Pertama, Rasul tidak mungkin berpilih kasih seperti itu, di mana yang dijamin masuk surga hanya dari kaum Muhajirin, tapi tidak ada dari kaum Anshar. Padahal, di dalam al-Quran ada beberapa ayat yang bercerita tentang keutamaan dua kelompok ini (terkait tentang keutamaan Anshar ada di QS. al-Hasyr ayat 9-10, misalnya). Oleh karena itu, Syahrur meragukan hadits yang menyebut 10 sahabat Muhajirin yang dijamin masuk surga itu.
Tapi tunggu dulu, saya berandai-andai bahwa hadits itu diutarakan oleh Rasul ketika masih di Makkah atau sebelum hijrah, jadi belum kenal dengan sahabat-sahabat kaum Anshar. Dan ini mendorong lebih jauh melakukan pemilahan mana hadits-hadits yang Makkiy dan mana hadits-hadits yang Madany. Meskipun ada yang melakukan kajian dalam perspektif ini, model kajian seperti ini dalam studi hadits masih amat jarang. Yang kita ketahui lebih familiar kajian Makky dan Madany adanya pada ayat-ayat al-Quran.
Kedua, hadits ini menurut Syahrur merupakan salah satu bukti adanya upaya penyingkiran secara sistematis terhadap peran kaum Anshar oleh kaum Muhajirin, terutama dalam hal potensi peran kaum Anshar dalam percaturan politik pasca Rasul wafat. Intinya yang ingin dikatakan oleh Syahrur adalah ada upaya politisasi agama dengan menggunakan hadits.
Dengan hadits ini, seolah-olah ingin disampaikan sebuah pesan bahwa Kaum Quraisy Muhajirin-lah yang lebih layak dan pantas untuk menjadi pemimpin pengganti Rasul. Sedangkan kaum Anshar tidak. Ini juga yang menjadi titik analisis Syahrur mengenai penggunaan konsep “loyalitas-politis kekuasaan” (al-walla al-sulthawi-al-siyasi) yang telah menundukkan dan mengebiri konsep “loyalitas-keagamaan (al-walla al-dini al-‘aqaidy).
Ketiga, pasca Rasul wafat, dari 4 Khulafau Rasyidin, terbukti semuanya berasal dari kalangan Quraisy-Muhajirin, dan tidak ada satu pun yang berasal dari Anshar. Termasuk jika menelaah lebih lanjut, kepemimpinan politik setelahnya juga berasal dari kaum Quraisy semua, baik pada dinasti Umayah maupun pada Abbasiyah.
Pertanyaannya, apakah dari kaum Anshar tidak ada yang berhasrat untuk menjadi pemimpin orang-orang yang beriman? Ataukah mereka memang tidak layak untuk menjadi bagian dari percaturan politik kekuasaan pasca Rasul? Tentu tidak. Karena ada di antara sahabat besar dari kalangan Anshar itu juga yang berminat menjadi pemimpin kaum mukminin, tapi garis politik menentukan lain. Untuk sekedar menjadi wazir saja tidak bisa dan hanya di-PHP oleh sahabat kalangan Quraisy-Muhajir…
Pertanyaan-pertanyaan di atas masih saja menggelayut dalam pikiran. Mengapa dan mengapa? Wallahu a’lam.
*) Kader Intelektual Muhammadiyah, alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Garut
Editor: Arif