Perspektif

Agraria Islam: Sebuah Gagasan Perjuangan yang Sudah Hampir Usang

4 Mins read

Agraria Islam – Istilah agraria, muncul dan mencuat menjadi pembahasan yang hangat pada masanya adalah ketika manusia sadar akan pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan agraria berdasarkan pada nilai keadilan dan kebermanfaatan.

Sebuah isu yang pada dasarnya amat sangat penting untuk terus digaungkan dengan suling-suling sakti masyarakat. Tanah, tak hanya sebuah benda mati yang mudah digauli secara bebas. Tanah tak ubahnya seperti air yang menjadi sumber kehidupan.

Tanah dalam pemanfaatnnya harus dilakukan secara optimal dan tepat sasaran. Sebab, tanah merupakan aspek yang sangat rentan akan konflik. Sejarah mencatat ada banyak sekali konflik yang berdasar pada perebutan tanah. Baik secara hak kepemilikan dan penguasaan, maupun hak dalam pemanfaatannya. Semakin banyak tanah yang ia kuasai, maka semakin besar harta dan kekuasaannya.

Nampaknya, jika permasalahan agraria ini tidak segera diselesaikan, maka akan menjadi mata rantai kemunculan permasalahan-permasalahan baru yang bahkan mungkin di luar konteks keagrariaan.

Dalam Islam, Rasulullah Saw menjadikan agraria sebagai salah satu titik perhatian dalam pengelolaan negara Islam yang pada masa itu masih sangat muda usianya.

Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan beliau yang sangat tegas terhadap pembagian tanah. Rasulullah Saw pernah bersabda:

مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنْ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ

Yang artinya: “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zhalim, maka Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis tanah (bumi).”

Dari hadis tersebut, secara eksplisit sudah jelas menggambar betapa kerasnya Rasulullah Saw dalam pembagian dan pemanfaatan tanah.

Hal ini berefek pada keadilan dalam pemanfaatan tanah. Sehingga pada masa itu, sangat sedikit bahkan tidak ada sama sekali konflik tanah yang tidak terselesaikan.

Menyoroti Kembali Sejarah

Secara historis, persoalan tanah sudah muncul sejak peradaban manusia ada. Pada masa pra Islam sudah terjadi konflik yang dipicu oleh ketimpangan penguasaan tanah.

Baca Juga  Islam Bukan Sebuah Masalah, Melainkan Solusi

Pada masa tersebut ada istilah “ayyamul arab” yaitu di mana seluruh kabilah di Arab berperang untuk mempertahankan eksistensi sukunya. Peristiwa ini dipicu oleh persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, maupun sumber air. Peristiwa tersebut berimbas pada ketimpangan penguasaan di mana suku yang kuat akan memiliki tanah lebih besar daripada suku yang lemah.

Konflik ini terus terjadi hingga diutusnya Rasulullah Saw dengan membawa suatu sistem baru yang dinamakan “Islam” yang kelak akan mengatur secara adil seluruh sendi-sendi kehidupan, termasuk kepemilikan, dan pemanfaatan tanah.

Pada masa Rasulullah Saw pembagian tanah dilaksanakan secara optimal berdasar pada nilai keadilan dan kebermanfaatan. Pembagian tanah yang optimal tersebut berlangsung sampai masa khulafaur rasyidin.

Hingga perubahan terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Pada masa beliau ada banyak peraturan dan kaidah pertanahan yang diubah yang sama sekali belum pernah nabi dan Abu Bakr laksanakan.

***

Beliau membuat gebrakan baru dalam hal pertanahan atas dasar keadilan dan kemaslahatan umat, yang pada akhirnya peraturan-peratuan beliau menjadi acuan pada masa sekarang dalam pembuatan undang-undang agraria.

Sebagai contoh, beliau membuat kebijakan bahwa harta rampasan perang diserahkan kepada baitul mal yang semulanya dapat diambil oleh pasukan yang ikut peperangan mencegah penumpukan harta oleh beberapa oknum serta agar pemanfaatannya lebih maksimal.

Di Indonesia, perjuangan agraria dimulai secara signifikan pasca proklamasi. Euforia proklamasi tak lantas kemudian seluruh masalah masyarakat Indonesia dapat terselesaikan. Konflik muncul ketika presiden Soekarno menasionalisasikan perusahaan Belanda.

Sesaat masalah dapat terselesaikan di mana masyarakat Indonesia khususnya petani bisa mendapatkan mata pencahariannya. Namun, permasalahan kembali muncul. Melalui Capita Selecta II, Moh. Natsir mengungkapkan bagaimana realitas sosial kaum marjinal pada masa tersebut yang hidup di atas ambang kemiskinan di negara subur nan kaya. Sampai-sampai ada ungkapan, “Menjadi buruh Belanda dan Indonesia sama saja, hanya berganti status dan nama.”

Baca Juga  Syekh Ali Jaber, Pendakwah Karismatik yang Menyejukkan

Realita-realita tersebut secara tidak langsung mendesak pemerintahan Indonesia untuk segera mengambil kebijakan terkait keagrariaan. Maka pada tanggal 24 September 1960 presiden mensahkan UUPA. Melalui UUPA, landreform digalakkan agar pemanfaatan dan pendistribusian tanah bisa adil dan merata.

Akar Permasalahan Agraria Islam

Adanya UUPA dengan gagasan landreform tidak serta merta problematika agraria telah usai. Pasca orde baru gagasan landreform dilupakan. Sehingga pemerintah dalam mengelola lahan dan tanah rakyat dilakukan dengan semena-mena.

Padahal sudah jelas dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat”.

Sedangkan ekonomi saat ini berorientasi pada pembangunan infrastruktur yang notabene hanya memikirkan keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan kerugian jangka panjang.

Landreform hingga saat ini masih belum benar-benar tercapai sebab tindakan pemerintah yang kurang tegas serta seakan-akan melupakan adanya UUPA dalam perundang-undangan Indonesia.

Praktek serah terima tanah, tak ubahnya seperti tawar menawar ikan di pasar antara elit pemerintah dengan segelintir investor yang mana tanah akan dimiliki bagi siapa saja yang dapat menawarnya dengan harga tertinggi.

Orientasi pemanfaatan tanah saat ini hanya berkisar pada pembangunan infrastruktur, pertambangan, serta eksploitasi hutan yang pada dasarnya hanya akan menyejahterakan masyarakat dalam jangka waktu yang sementara.

Agraria Islam: Mati Sebab Tak Dihidupi

Gagasan agraria khususnya dalam wacana islam Indonesia mengalami pemiskinan karena ketidakadaan perhatian oleh setiap elemen masyakarat. Hingga saat ini, isu-isu problematika agraria hanya sebatas digaungkan lalu dilupakan.

Masih banyak kalangan yang beranggapan bahwa isu agraria bukanlah hal yang vital dan urgent untuk dibahas. Sangat miris, bahkan saat ini pun sangat sedikit forum-forum yang mendiskusikan terkait masa depan agraria di Indonesia.

Baca Juga  Kiamat Itu Masih Lama, Ini Bukti Ilmiahnya!

Hal tersebut terjadi dikarenakan ketiadaan wawasan historis yang cukup untuk dapat menangani permasalahan besar ini. Bahkan alih-alih hadirnya UUPA dapat menjadi angin segar keagrariaan di Indonesia, justru nampaknya malah membuat permasalahan semakin pelik.

Selain itu, rasa kekecewaan pada masyarakat juga menjadi pemicu mengapa pembahasan isu agraria menjadi lesu. Masyakarat kecewa karena mereka telah dengan lantang dan secara terus menerus menyuarakan aspirasi, namun apa daya si pendengar justru menutup kedua telinganya.

Masyarakat merasa lelah sebab apa yang ia suarakan bukannya untuk perbaikan sistem pemerintahan, justru menjadi boomerang mematikan bagi dirinya sendiri.

Jika hal ini secara terus-menerus terjadi, bahkan yang terburuk kata “perjuangan agraria” sama sekali tidak digaungkan. Maka, telah sia-sia sudah perjuangan para pendiri bangsa yang telah memeras pikiran untuk kesejahteraan agraria masyarakat.

Agraria tak hanya kata benda yang dengan mudah dipindah tangankan secara leluasa. Perbincangan gagasan agraria bukan hanya sekedar berbicara tentang penguasaan lahan, namun gagasan agraria berbicara tentang harkat dan martabat bangsa.

Editor: Yahya FR

Naufal Zaky Elhasan
1 posts

About author
Mahasiswa Fakultas Agama Islam UMY
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *