Keberadaan sebuah masjid dalam struktur tata kota sebuah kerajaan Islam dipandang mutlak. Seperti keberadaan Masjid Agung (Masjid Gede) Yogyakarta, sebenarnya dibangun sebagai salah satu identitas dari Kerajaan Islam, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pertanyaannya, siapakah sebenarnya sang arsitektur pembangunan Masjid Agung Yogyakarta?
Masjid Agung dan Kraton
Peristiwa Perjanjian Giyanti terjadi pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatangani oleh Sunan Paku Buwana III dan Nicolaas Hartingh. Perjanjian inilah yang dalam catatan sejarah telah mengakhiri perang saudara antara Pangeran Mangkubumi dengan Sunan Paku Buwana III. Berdasarkan kesepakatan dalam Perjanjian Giyanti, wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua dan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Kerajaan Yogyakarta, bergelar Sultan Hamengku Buwana I (HB I).
Sebelum memiliki Kraton, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I) menempati Istana di Ambarketawang. Kraton Yogyakarta dibangun di atas tanah yang landai, diapit dua buah sungai dan bertempat di hutan beringin. Pilihan itu tepat bila ditinjau dari segi geografis. Sebab, daerah tersebut bebas dari banjir dan pengaturan saluran pembuangan air sangat mudah.
Pembangunan Kraton Yogyakarta dimulai pada 3 Syura tahun Wawu 1681 bertepatan dengan 9 Oktober 1755. Pada 13 Syura tahun Jumakir 1682 atau 7 Oktober 1756, secara resmi Kraton Yogyakarta ditempati oleh HB I. Dibangun pula benteng berparit di sekitarnya, tempat tinggal Patih (Kepatihan), tempat tinggal Residen, masjid agung, dan tempat-tempat lain sebagai pelengkap. Demikian sebagaimana dikutip dari F.A. Sutjipto dalam bukunya, Lintasan Sejarah Mataram Sampai Berdirinya Kesultanan Yogyakarta (1979: 34).
Pembangunan Masjid Agung
Setelah Sultan Hamengku Buwana I selesai membangun Kraton Yogyakara, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan masjid. Letak masjid di sebelah muka kraton, tepatnya di sebelah barat Alun-alun Utara. Dalam prasasti Gapura Trus Winayang Jalma terdapatketerangan bertuliskan bahasa Arab bahwa masjid ini dibangun pada hari Ahad, 6 Rabiul Akhir tahun Alip 1699 atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1773.
Sumber Ahmad Adaby Darban (2010) menyebutkan bahwa arsitek yang menangani pembangunan Masjid Agung ialah Kanjeng Wirjakusuma. Proses pembangunan di bawah pengawasan Pengulu Kraton pertama, ialah Kiai Faqih Ibrahim Dipaningrat. Masjid itu dilengkapi dengan lokal tambahan untuk keperluan-keperluan khusus.
Adapun pembangunan serambi masjid agung pada tahun 1775, merujuk pada sebuah prasasti yang menerangkan pembangunannya pada: ”hari Kamis, tanggal 20 Syawal tahun Jimawal 1701.” Nama serambi masjid agung adalah al-Mahkamah al-Kabirah. Artinya ”Mahkamah Agung” yang berfungsi sebagai tempat pengadilan, pertemuan para ulama, pengajian, peringatan hari besar Islam, dan pelaksanaan ijab qabul pernikahan.
Sumber: Buku Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah karya Ahmad Adaby Darban (2010)
.Editor: Arif