Feature

Cadar, Stigmatisasi, dan Kebebasan Beragama

3 Mins read

Saya sebenarnya enggan membicarakan hal yang tampaknya sudah selesai. Seperti cadar ini, misalnya. Tapi lama-lama wacana cadar menggelinding liar. Bahkan saling “menegasikan” dan tampak menyentuh aspek krusial dalam hak asasi manusia.

Wacana Menteri Agama

Apakah cadar merupakan aspek fundamental dalam syariah, itu urusan para teolog. Silahkan beradu argumentasi, mengasah pedang hermeneutis masing-masing dan membuat “tameng” dalil sekehendak hati.

Kata aktivis, Robby Karman, “Kalau mau bercadar, silakan, tapi jangan menghina yang tidak. Sementara yang tidak bercadar, jangan suka ngerasani, ‘nyinyir’ pada mereka yang memakainya.” Ini pemahaman etis yang lebih maju, saya pikir.

Saya memperluas masalah ini pada pendapat Menteri Agama, Fachrul Razi, yang sangat spekulatif memainkan wacana cadar. Walaupun, itu digunakan sekedar untuk memetakan lawan-lawan politiknya. Ini tuduhan saya.

Menurut Fachrul Razi, cadar identik dengan radikalisme keagamaan. Itu tidak keliru jika diajukan fakta bahwa aktor terorisme atau orang-orang (perempuan) di lingkungan teroris, kebanyakan bercadar.

Tapi jika evidence tersebut diajukan untuk membangun argumentasi “cadar identik dengan radikalisme”, dan berkembang menjadi “siapa saja yang bercadar, berarti radikal,” wah, ini tentu berlebihan. Overgeneralisasi, menurut bahasa kampus.

Namun, jika pewacanaan yang begitu memang dilakukan secara sengaja, ya berarti persoalan cadar ini sekedar menjadi alat politik. Ujung-ujungnya semua bisa menebak: kursi kuasa.

Stigma Radikal

Orang kementerian atau kaki tangannya bisa saja membantah bahwa “Bukannya kalau nanti banyak yang bercadar, justru mendorong radikalisasi keagamaan? Kan bahaya kalau itu mengancam national security?”

Ya kalau logika berpikirnya begitu, maka sebenarnya “pemerintah” ingin menjamin keamanan negara, dari radikalisme keagamaan. Tujuannya adalah memastikan stabilitas politik.

Kalau relatif stabil, maka pembangunan ekonomi (infrastruktur dan sumber daya manusia) bisa berjalan dengan baik. Dampaknya, kekuatan ekonomi bangsa bisa tumbuh, negara bisa bayar hutang luar negeri dan seterusnya.

Baca Juga  Putri Persefone dari Ngemplak

Atau, pewacanaan cadar dan radikalisme keagamaan ini sebenarnya berguna. Untuk apa? Untuk modal kontestasi politik 2024 mendatang. Siapa saja yang tergabung dengan kelompok “Islamis” (baca: Islam populis), seperti halnya pada Pemilu 2019 lalu, maka gampang menjegalnya. Seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), cukup pakai dalil mengancam keamanan nasional, mereka bubar.

Tapi di balik itu semua, disadari atau tidak, mereka yang bercadar terstigma. Itu tentu sudah nasib mereka karena termakan trend populisme Islam di satu sisi, dan harus menjadi bulan-bulanan penguasa ketika berdiri di tengah iklim politik yang kompleks.

Kalau ada yang memohon agar menghentikan stigmatisasi, tentu tidak mungkin. Mengapa? Karena masalahnya, berbagai pihak yang berkepentingan tidak akan mendengarkan keluhan siapa saja yang terstigma.

Cadar dan Hak Asasi

Saya ingin kembali ke persoalan pokok yang penting sekali. Cadar itu seperti halnya atribut pakaian lainnya. Jadi, perkara pakaian, itu persoalan selera. Sangat asasi. Menjadi hak mutlak pemakainya.

Kalau ada yang komentar, “Tapi mbok ya yang pantes, kita ini kan hidup di Indonesia, bukan di Arab.” Ini masalah kebudayaan, adat istiadat dan kemasyarakatan.

Cadar juga mengandung sisi simbolik keagamaan tertentu. Sebagian yang memakainya, memang diniatkan untuk beragama secara lebih baik.

Berkaitan soal hak asasi menjalankan agama ini, mari kita perhatikan bersama, Undang-Undang Dasar 1945, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia dan Bab XI tentang Agama. Pada Pasal 28E, disebutkan bahwa:

  1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.
  2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan nuraninya.
  3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Baca Juga  Kartini, Perempuan Progresif yang Perjuangannya Dianggap Gagal

Sedangkan pada Bab XI Pasal 29, bahwa:

  1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang maha Esa.
  2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Selain konstitusi kita, menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 22, menyatakan:

  1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
  2. Menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Sedangkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Pasal 18:

  1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
  2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

Jadi, saya pikir penting kiranya, para pembaca yang budiman, taat kepada konstitusi dan perundang-undangan yang kita miliki. Artinya, hak asasi Muslimah yang bercadar, mesti dihormati, dilindungi dan dipenuhi. Menteri Agama harus tahu, pelarangan cadar itu “berbahaya” bagi konstitusi.

***

Sejujurnya, saya enggan berkomentar mengenai masalah ini, dengan argumentasi HAM. Karena rentan dipelintir. Tapi sesungguhnya, hal penting yang ingin saya sampaikan adalah, sebaiknya pemerintah mulai memikirkan isu-isu yang lebih besar, lebih mendasar dan lebih urgen, ketimbang sekedar mengurusi cadar yang remeh-temeh.

Misalnya, ketimbang agama dibuat sebagai alat kejahatan oleh sebagian pihak, mengapa tidak ada pengarusutamaan wacana alternatif? Apakah agama membicarakan masalah destruktivikasi alam? Apakah agama memberikan perhatian kepada masalah perang dagang global dan kemiskinan? Apakah agama mengambil bagian dalam menghadapi masalah konglomerasi, politik oligarki, dan korupsi?

Baca Juga  Kiat Menjadi Sekolah Tangguh: Pengalaman Muhammadiyah Kottabarat Solo

Editor: Nabhan

Avatar
89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Feature

Cerita Mudik Lebaran 2024 (1): Kembali ke Titik Nadir

6 Mins read
Jogja, Rabu 03 April 2024. Pukul 14.00 sebuah mobil memulai perjalanan menuju tempat yang jauh, Kerinci-Sumatera. Sang sopir dilanda rindu kampung halaman. Meski…
Feature

Tahtib: Seni Bela Diri Warisan Mesir Kuno

2 Mins read
Mesir adalah salah satu negara yang menyimpan banyak sekali warisan budaya, baik berupa adat istiadat yang dilaksanakan secara turun temurun ataupun warisan…
Feature

Air Kata Joko Pinurbo: Sebuah Obituari

4 Mins read
JOKO PINURBO bersedia tampil di acara “Wisata Sastra” di Jogja beberapa tahun lalu, dengan syarat: satu-dua nama penyair/cerpenis — yang ia duga…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *