Saya selesai sarjana muda Fakultas Ushuluddin lebih dulu dari pada Agus. Membaca skripsi sarjana muda saya yang berjudul, Magi dalam Agama Primitif, Agus Edy Santoso yang kadang usil itu ngakak menertawakan skripsi saya itu. Apa relevansi dan signifikansi teoritis dan praktis dari topik skripsi seperti itu untuk masa sekarang? Saya hanya bisa nyengir saja mendengar aktivis HMI itu usil. Yang penting saya sudah lulus sarjana muda lebih cepat dari dia dan kemudian masuk tingkat doktoral memilih jurusan Ilmu Perbandingan Agama di bawah asuhan langsung Prof Dr Mukti Ali yang mantan Menteri Agama dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu.
Menjadi mahasiswa Prof Mukti Ali pastilah menjadi kebanggaan tersendiri bagi para mahasiswa IAIN waktu itu. Agus suka curi-curi menanyakan kepada saya bagaimana kuliah Prof Mukti Ali itu. Rupanya, dia penasaran sekali. Bagaimana mungkin para mahasiswa IAIN tidak dibikin penasaran, lha wong Prof Mukti Ali itu mengajar kami bisa tiga atau empat kali setiap pekan sepanjang satu semester. Padahal, kami kuliah sepanjang empat semester yang diasuh langsung oleh beliau: nama mata kuliahnya Ilmu Perbandingan Agama 1, 2, 3, dan 4.
Saya tidak tahu pasti waktu itu apakah dia sempat lulus sarjana muda dalam Ilmu Ushuluddin ataukah tidak. Saya rasa bagi mahasiswa yang sepintar Agus, lulus atau tidak lulus, juga tidak penting-penting amat. Kalau toh lulus, saya juga lupa apa judul skripsi sarjana muda dia waktu itu.
Suatu ketika, setelah beberapa lama tidak bertemu saya mencoba melihat kostnya di Ambarukma yang ternyata sudah berganti penghuni. ‘Pendekar dari Panarukan’ itu sudah raib entah kemana. Konon katanya dia pulang ke kampungnya di Jawa Timur di daerah Tapal Kuda sana. Tapi konon juga kabarnya dia pergi ke Jakarta dan melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Benar atau salah, wallahu a’lam.
Masuk PB HMI
Tidak lama berselang kemudian saya mendengar Agus masuk PB HMI di bawah ketua umum Harry Azhar Azis. Tentu masuknya Agus ke PB HMI menimbulkan sedikit kontroversi di sebagian senior HMI Yogyakarta. Pasalnya, Agus alih-alih pernah berpengalaman menjadi Ketua Cabang, menjadi pengurus Cabang pun kayaknya tiada pernah. Bagaimana bisa masuk jajaran pengurus PB HMI?
Tapi, dasar anak yang punya talenta tinggi dalam berkomunikasi dan menjalin relasi sosial-politik yang sangat luas, Agus nyatanya benar-benar menjadi PB HMI. Bagi seorang dengan talenta aktivis HMI seba bisa seperti Agus tidak penting apa jabatannya dalam organisasi. Di manapun dan apapun posisinya akan bisa diberdayakannya. Ketika bermain ke Jakarta saya diajak menginap di PB HMI di Jalan Diponegoro, di kawasan elite Menteng itu! Dia memperkenalkan saya kepada Bang Harry Azhar Azis, Yamin Tawari, Iqbal Santoso, dan lain-lainnya sebagai teman pengurus HMI Cabang Yogya. Padahal, saya tidak pernah menjabat apapun di sana! Saya jadi malu hati setengah mati, tapi Agus cuek saja sambil nyengir dan mengedipkan mata!
Saya melihat peran-peran Agus cukup menonjol di PB HMI waktu itu. Sebagai aktivis yang mengambil posisi anti kebijakan Asas Tunggal, Agus dikejar-kejar intel dan harus bersembunyi dari satu tempat ke tempat lainnya. Keberadaannya di dalam struktur PB HMI itu benar-benar menjadi momentum bagi Agus untuk berinteraksi secara intensif dengan bukan hanya tokoh-tokoh pergerakan Islam papan atas, melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan nasional kelas wahid, dan para aktivis lainnya secara lintas ideologi dan golongan. (Beragamnya latar belakang suku, agama dan ideologi dari sahabat-sahabatnya yang menungguinya dengan setia ketika sakit sampai wafatnya, dan mengantarkannya ketika pemakaman, serta juga tulisan-tulisan yang sempat dihimpun dalam beberapa buku kenangan, menggambarkan dengan sangat baik luasnya lintasan pergaulan dan pertemanan Agus).
Rajin Silaturrahim
Dengan bakat dan kesenangan Agus Edy Santoso bersilaturahim yang luar biasa itulah, dia makin mengokohkan dirinya di kalangan para aktivis. Saya tidak menangkap ada ambisi politik kekuasaan dalam dirinya. Bersilaturahim dengan politisi, pejabat, dan tokoh pergerakan memang dia lakukan secara intensif dan ekstensif, tetapi tidak untuk jabatan. Posisi itu tetap kokoh dipertahankan, bukan hanya selama Orde Baru, bahkan sampai setelah masa reformasi sekalipun!
Saya rasa, testimoni Bang Hariman Siregar di samping pusara almarhum pada saat pemakamannya dengan sangat bagus sekali merefleksikan pribadi dan karakter Agus sebagai aktivis sejati! Maka bersama teman-temannya yang sangat luas itu ia mendirikan Pusat Studi Proklamasi, KIPP, Penerbit Teplok, Kontras, dan sederet lagi lembaga-lembaga lainnya yang saya tidak bisa menyebutkan semuanya di sini satu persatu.
Dia bergaul rapat dengan hampir semua elemen bangsa, terutama aktivis HMI, sehingga hampir semuanya merasakan kedekatannya dengan dirinya tanpa kecuali. Dia dekat dengan Bang Adnan Buyung, Munir, Mulyana W. Kusuma, Hariman Siregar, Fanny Habibie, Amir Daulay, Nuku Selaiman, Wiji Thukul, dan sederet nama lagi, sebagaimana juga dengan Cak Nur, Adi Sasono, Dawam Rahardjo, dan lain-lainnya.
Meyakinkan Cak Nur
Agus Edy Santoso berhasil meyakinkan Cak Nur untuk menerbitkan buku kumpulan tulisannya Islam, Kemoderan dan Keindonesia. Dan satu lagi: Islam, Kerakyatan, dan Keindonesiaan yang dalam hal buku yang terakhir ini entah bagaimana cara dan gigihnya melacak dan mendapatkannya karena merupakan tulisan-tulisan lama sekali dari Cak Nur.
Agus memang sangat berobsesi tokoh-tokoh Islam itu berbicara tentang buruh, tani, dan nelayan. Dan Cak Nur dalam bukunya yang tersebut terakhir itu menulis tentang topik itu, meski hanya beberapa judul. Mungkin saking dekatnya, ketika Agus menikah dengan Tati Krisnawaty di Krawang, Cak Nur datang dalam acara akad nikah dan bersedia memberikan Nasihat Perkawinan secara tertulis dalam bentuk makalah. Kata Cak Nur waktu itu, “Baru sekali ini seumur-umur saya diminta memberikan nasehat perkawinan secara tertulis dalam bentuk sebuah makalah. Ini seminar ataukah walimatu l-ursy!?” Tentu ratusan undangan yang terdiri dari para aktivis pergerakan lintas ideologi dan golongan itu menjadi ger-geran.
Cak Nur pun, persis seperti seorang pemakalah dalam suatu seminar, membacakan “keynote speech”-nya di walimah l-ursy yang istimewa itu. (Saya masih menyimpan makalah tersebut). Oh ya, begitu fenomenalnya pernikahan Agus tak heran kalau Mas Adi sasono, yang juga hadir ke Krawang waktu itu, menamakan pernikahan Agus sebagai Pernikahan Akbar dan menuliskannya dalam sebuah tulisan berjudul Perkawinan Akbar di rubrik Resonansi harian Republika! Agus memang lumayan akbar!
Karena kedekatan pula yang mungkin menjadikan Agus berhasil meyakinkan Cak Nur dan Mas Adi Sasono (yang nota bene juga keponakan Roem) untuk diijinkan menerbitkan surat-menyurat antara Mr Muhammad Roem dan Cak Nur. Surat-menyurat yang dipicu oleh pernyataan Pak Amin Rais tentang “Tidak Ada Negara Islam” di majalah Panji Masyarakat yang beredar luas dari satu tangan ke tangan yang lain, itu dikumpulkan dalam bentuk buku, Tidak Ada Negara Islam, yang terkenal itu. Buku itu atas prakarsa Agus juga dibedah dalam suatu acara yang sangat meriah di gedung RNI tepat pada hari Kelahiran Partai Islam Masyumi, 18 November. Ini lagi-lagi akal cerdiknya Agus! Hasil bedah buku itu digabungkan dengan buku yang sebelumnya dan terbitlah edisi revisi yang lebih lengkap.
Mungkin juga saking perhatiannya, Cak Nur beberapa lama berselang sempat berpesan kepada saya tentang Agus: “Agus itu tidak bisa terus begitu. Dia juga harus memikirkan dirinya sendiri, apalagi sudah mulai berkeluarga”. Mungkin yang dimaksudkan Cak Nur adalah agar Agus jangan terus-terusan hidupnya hanya memikirkan orang lain saja dan melupakan dirinya sendiri.
Agus memang orang yang sangat peduli pada orang miskin, anak yatim yang terlantar, pengemis, dan apalagi orang tertindas. Dia juga agak romantis dan cenderung sentimentil. Pernah kami bepergian di musim kemarau yang panjang di tahun 1990-an di sepanjang pantura Jawa: tiba-tiba dia mengajak berhenti dan turun dari mobil dan berjalan menuju persawahan yang kering kerontang dan tanahnya terbelah-belah karena kekeringan panjang. Dia menangis terisak dan mengatakan bagaimana nasib para petani dan buruh taninya. Pribadi yang kadang usil itu memang sangat pro-orang kecil, tertindas dan orang-orang yang tidak beruntung. Bersambung
Editor: Arif