Tajdida

Muhammadiyah Itu Gerakan, Bukan Keyakinan

3 Mins read

Sejak awal berdiri, Muhammadiyah dikenal dengan ajaran mengenai teologi tolong-menolong (the theology of al-Ma’unism).

Teologi ini mendorong warga Muhammadiyah mempraktikkan ajaran agama melalui amal sosial (a faith with action), kewelasasihan (filantropisme), voluntarisme, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, dan sedikit bicara banyak bekerja.

Dengan berlandaskan pada Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW, Muhammadiyah mengaplikasikan apa yang ada pada dua pedoman umat Islam tersebut dalam kehidupan secara nyata.

Gerakan dakwah Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan yang selaras dengan ajaran Islam. Peran Muhammadiyah pada sosial budaya masyarakat ada sejak Indonesia belum merdeka, bahkan kader-kader Muhammadiyah turut serta memperjuangkan kemerdekaan.

Muhammadiyah bukan Keyakinan

Di akar rumput, kadang masyarakat terlalu dalam memegang teguh prinsip dalam kehidupannya, termasuk dalam ber-Muhammadiyah.

Perbedaan Muhammadiyah dengan berbagai organisasi, aliran, atau pun tradisi membuat sebagian masyarakatnya merasa Muhammadiyah merupakan keyakinan dalam dirinya.

Terutama dalam hal tata cara beragama (ibadah). Sejatinya, KH. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi sosial kemasyarakatan, bukan suatu mahzab, aliran ataupun agama.

Muhammadiyah bukan agama. Tidak ada maksud Muhammadiyah untuk menyebarkan keyakinan agama sendiri. Muhammadiyah sebagai perkumpulan justru akan menerima orang-orang dari berbagai kalangan dan mahzab, selama mau terus mencontoh kehidupan kanjeng Nabi Muhammad SAW.

KH. Ahmad Dahlan.

Masyarakat kita di tingkat desa tak jarang kita lihat masih menganggap bahwa Muhammadiyah sebagai keyakinan. Sebagai misal, salat Tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat.

Yang 8 rakaat diidentikan dengan Muhammadiyah, dan yang 20 rakaat dianggap milik organisasi lain. Tak salah, karena sejatinya Muhammadiyah menurut bahasa artinya pengikut Nabi Muhammad SAW.

Dan Nabi Muhammad SAW salat Tarawih sebanyak 8 rakaat, dalam sebuah hadits riwayat Aisyah RA, dikatakan bahwa: “Rasulullah tidak menambah (melebihkan) bilangan shalat malam di dalam bulan Ramadhan yang satu dengan yang lainnya, kecuali sebelas rakaat. Beliau mengerjakan shalat empat rakaat. Maka jangan lah engkau tanyakan tentang bagus dan panjangnya shalat itu. Lalu beliau kerjakan empat rakaat lagi, maka janganlah engkau tanyakan tentang bagus dan panjangnya shalat itu. Setelah itu, beliau kerjakan tiga rakaat. Lalu aku bertanya: “Ya Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum engkau witir?” Nabi Muhammad SAW menjawab: “Ya, Aisyah, sesungguhnya dua mataku tertidur tetapi hatiku tidak tidur,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Baca Juga  Gelar Seminar Internasional, INFID Hasilkan Tujuh Poin Rekomendasi
***

Jadi, Muhammadiyah mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, kadang hal seperti itu masih dijadikan perdebatan sehingga tidak jarang saling menyalahkan mereka yang berbeda.

Belum lagi hal-hal yang lain, kebanyakan sifat melihat sesuatu yang berbeda keyakinan akan cenderung menyalahkan. Ini masalahnya, masyarakat kita masih terlalu fanatik terhadap sesuatu hal, ada yang fanatik pilihan presiden, organisasi, dan lain sebagainya.

Sebagai orang Muhammadiyah, tak seharusnya kita fanatik terhadap prinsip yang menjadi pegangan Muhammadiyah. Pesan KH. Ahmad Dahlan “Kita boleh punya prinsip, tapi jangan fanatik. Karena fanatik itu ciri orang bodoh“.

Jika memang kita ingin menyampaikan dakwah atas apa yang menjadi prinsip kita, sampaikanlah dengan cara yang baik. Jika orang yang kita dakwahi tidak sependapat, maka berdebatlah dengan cara yang baik dengan tidak memaksakan kehendak.

Setiap orang pasti punya keyakinan dan prinsip, jika kita tak sependapat tak perlu kita membenci. Bukankah berdakwah dengan baik sudah di contohkan oleh Ahmad Dahlan 107 tahun yang lalu?

Jadi, Muhammadiyah bukanlah sebuah keyakinan (agama), tapi sebuah gerakan dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.

Muhammadiyah itu Gerakan

Dari sejak awal berdiri, Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana arti dan makna dari surat Ali Imran ayat 104.

Gerak langkah Muhammadiyah ada sejak zaman kolonial dapat bertahan sampai sekarang karena mempertahankan apa yang menjadi cikal bakal berdirinya.

Yakni gerakan sosial keagamaan kemasyarakatan yang berusaha memberi manfaat bagi siapapun, di mana gerak langkahnya diambil dari ajaran Islam yang ada pada Al-Qur’an dan hadis.

Dari sejak awal Kiai Dahlan menyampaikan tidak ada maksud Muhammadiyah untuk menyebarkan keyakinan agamanya sendiri, apalagi memaksakan, atau memaksa.

Baca Juga  Muktamar 2020: Momentum Regenerasi Pimpinan, Berharap Wajah Baru

Muhammadiyah merupakan gerakan pendidikan, keagamaan, sosial, tajdid, sampai gerakan nasional. Meski sebagai gerakan keagamaan, tapi tidak ada maksud Muhammadiyah menyebarkan keyakinan dalam keagamaan yang menjadi prinsip.

Fanatisme buta terhadapa apapun pada dasarnya akan menutup dan membatasi diri kita sendiri dalam bergerak, sebagaimana pesan KH. Ahmad Dahlan tadi. Sudah seharusnya kita sebagai warga Muhammadiyah tidak fanatik terhadap sesuatu hal.

***

Fanatik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya). Maka, mari kita ber-Muhammadiyah dengan menggembirakan dakwah tanpa adanya hal kebencian terhadap prinsip organisasi atau kelompok yang lain.

Karena pada dasarnya, kita sedang berlomba dalam kebaikan dengan tujuan meraih rida Allah SWT. Semua orang Islam adalah saudara kita dalam iman, dan mereka yang berbeda keyakinan adalah saudara kita dalam kemanusiaan.

Dalam lingkup sesama warga persyarikatan, jangan sampai dan tidak perlu kita merasa paling tahu, paling paham, dan paling Muhammadiyah daripada yang lain.

Mari kita saling berpegang tangan dalam menghidupkan dakwah Muhammadiyah, tentunya dengan cara yang santun. Hindari perdebatan yang diikuti rasa emosi, sudah tidak waktunya lagi kita berdebat dan mempermasalahkan soal cara beribadah.

Ber-Muhammadiyah sejatinya adalah menghidupkan, mengamalkan dan meniru dakwah Nabi Muhammad SAW.

Kata Kiai Hadji Ahmad Dahlan, “Kita dapat mengukur kemiripan kita dengan Nabi dengan melihat kepekaan kita terhadap penderitaan sesama“.

Makanya Ahmad Dahlan mengajarkan kepada muridnya untuk menerapkan apa yang terkandung dalam surat Al Ma’un kedalam kehidupan nyata.

Karena keislaman bukan hanya Allah ada didalam jiwa kita, tetapi kehidupan (ajaran) Islam menjadi nyata dalam perilaku kita.

Editor: Yahya FR
Hendra Hari Wahyudi
97 posts

About author
Anggota Majelis Pustaka, Informasi dan Digitalisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur periode 2022-2027
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds