Tajdida

Tak Hanya Pemikiran Ekstrem, Muhammadiyah Juga Melawan Ekonomi Ekstrem

2 Mins read

Jika pandangan Pak Haedar Nashir mengenai paradigma ekstrem terjadi pada pemikiran dan keberagamaan. Tulisan ini mencoba mengungkap aspek lain yang tak kalah ekstremnya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ekstrimitas itu bernama kesenjangan sosial dan kemiskinan.

Buya Syafii Maarif dalam tulisannya selalu menekankan bahwa Al-Qur’an pro-orang miskin tetapi anti kemiskinan. Maka tak heran jika Kiai Ahmad Dahlan mengulang-ngulang Al-Qur’an surat Al-Ma’un berkali-kali dengan harapan mengamalkan kandungan surat tersebut.

Merasa jenuh, para santrinya sempat protes. Mereka berdalih mengamalkan surat Al-Ma’un di setiap salat. Namun maksud dari diulang-ulangnya surat Al-Ma’un adalah semata-mata mengasah kepekaan sosial para santrinya dalam memahami Al-Qur’an apakah sekadar membaca atau langsung mengamalkan.

Barulah para santri tersebut paham bahwa Al-Qur’an itu tidak hanya dimensi kognisi saja tapi diamalkan dalam aksi sosial. Para murid itu memulai mencari orang-orang miskin dan yatim di sekitar Yogyakarta untuk disantuni dan diperhatikan. Berdirinya Panti-panti asuhan dan rumah sakit PKU pada tahun 1923 adalah satu perwujudan dari aksi sosial ini.

Sepenggal cerita di atas memberikan inspirasi sosial bagi berkembangnya ribuan rumah sakit dan klinik yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Surat Al-Ma’un memberikan spirit bagi dasar gerakan Muhammadiyah hingga detik ini. Memasuki abad keduanya, Muhammadiyah konsisten memberi kontribusi pada kelompok tertindas dan terpinggirkan.

Tantangan Muhammadiyah di Era Disrupsi

Namun tantangan Muhammadiyah mengentaskan kemiskinan di era disrupsi semakin rumit dan kompleks. Teologi Al-Ma’un sebagai basis praksis gerakan, meminjam istilah Amin abdullah—butuh penyegaran ijtihad (fresh ijtihad)—dalam mengentaskan masalah yang semakin akut karena negara ikut mengkonfirmasi kesenjangan dan kemiskinan warganya.

Sebagai contoh kehadiran Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) alih-alih melindungi hak buruh dan menjaga lingkungan, sosial, dan budaya, justru mengusung semangat kapitalisme pemodal. Sesuai namanya, RUU ini bisa saja menimbukan bahkan menegaskan cilaka (kecelakaan) sosial berupa kesenjangan dan kemiskinan akut.

Baca Juga  Muhammadiyah Bermanhaj Salaf, Tapi Bukan Salafi!

Selain itu, di tengah tergerusnya stabilitas lingkungan, justru RUU Cilaka mengabaikan mekanisme analisis dampak lingkungan (amdal) demi memudahkan para investor. Contoh konkret yang tak bisa dipungkiri, perusahaan batu bara dan kelapa sawit merupakan perusahaan yang paling berkontribusi merusak lingkungan dan alam.

Menguatkan Filantrofi Muhammadiyah

Di sini Muhammadiyah memiliki peran strategis dalam upaya memangkas kesenjangan dan mengentaskan kemiskinan. Sirkulasi ekonomi tidak boleh tersendat di pusaran orang-orang kaya saja. Hal ini sesuai dengan spirit Al-Qur’an surat Al-Hasyr yang menekankan pentingnya tingkat pemerataan ekonomi antara kaya dan miskin.

Pemberian bantuan dari orang yang mampu kepada orang yang membutuhkan, menguatkan gagasan bahwa kekayaan hanyalah milik Allah, sementara manusia bertanggungjawab untuk mengelolanya dengan baik.

Dalam hal ini, filantrofi menjanjikan kesetaraan dalam masyarakat, yang dianggap sebagai dasar dalam mewujudkan keadilan dan keharmonisan sosial. Lebih jauh, Abdullahi Ahmed al-Naim menyatakan bahwa keadilan sosial sebagai suatu definisi kerja mencakup proteksi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) universal tanpa diskriminasi agama, gender, dan ras.

Dalam konteks filantrofi, khususnya filantrofi untuk keadilan sosial, secara umum dapat diklasifikasikan sebagai bentuk kegiatan untuk menegakkan orde keadilan sosial. Padahal keadilan sosial salah satu poin Pancasila yang mestinya jadi tujuan utama bernegara. Sebaliknya menjadi sila yang paling dianaktirikan.

Jika karitas atau sumbangan yang bersifat individual hanya memenuhi kebutuhan masyarakat jangka pendek, maka filantrofi untuk keadilan sosial untuk memperbaiki struktur sosial yang timpang dan tidak adil.

Menurut al-Na’im, masalah filantrofi adalah masalah keadilan ekonomi. Karenanya wajar jika seseorang memperjuangkannya sebab itu merupakan hak alaminya. Atas dasar itulah filantrofi seharusnya didasari oleh pandangan yang mempromosikan kebaikan untuk semua. Filantrofi perlu dimaknai sebagai bagian dari upaya untuk mentransformasikan masyarakat.

Baca Juga  Kontribusi Muhammadiyah: Peletak Dasar Budaya Bangsa

Jika Muhammadiyah adalah lokomotif, maka Lazis Muhammadiyah (LAZISMU) adalah motor penggerak filantrofi untuk membangun orde keadilan sosial tersebut. Konsep keadilan distributif sangat penting dalam membangun suatu masyarakat yang bebas dari eksploitasi.

Bahkan ditegaskan oleh Al-Qur’an agar sedekah (berderma) jangan sampai menghina martabat manusia. Dengan kata lain, Islam sangat menjaga martabat manusia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Editor: Yahya FR
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds