Perspektif

Sehat Mental Bukan Berarti Tidak Pernah Sedih, Kecewa, dan Stres!

3 Mins read

Persepsi tentang orang yang sehat mental (sering disebut dengan istilah waras) hidupnya selalu bahagia, tidak pernah menangis, dan tidak pernah gundah gulana; masih dipercaya dan diyakini oleh sekelompok orang di bumi pertiwi. Kelompok ini beranggapan bahwa orang yang waras dilarang keras (bahkan mungkin diharamkan) bersedih hati, merasa disakiti, dan merasa terbebani.

Persepsi ini harus segera diluruskan. Jika tidak, maka hampir seluruh umat manusia di muka bumi ini dianggap bermental tidak sehat. Bagaimana tidak; sebagian besar bayi yang dilahirkan oleh Ibunya, melihat dunia dalam keadaan menangis. Poin utamanya adalah Adakah manusia di bumi ini yang tidak pernah sedih ketika disakiti? Tidak pernah kecewa ketika dikhianati? Tidak pernah merasa kacau ketika diceracau?

Baiklah, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut memang membutuhkan survei dari seluruh penduduk bumi untuk mendapatkan jawaban dengan reliabilitas dan validitas yang akurat. Namun pertanyaan di atas dibuat bukan untuk mendapatkan jawaban, tetapi untuk menyadarkan pikiran. Sejauh ini, penulis belum pernah menemui sesosok manusia yang berkata “aku sangat bahagia ketika disakiti. Aku ingin disakiti hingga mati” atau berucap “aku berharap setiap orang yang kucintai akan mengkhianatiku”.

Oleh sebab itu, sebuah pesan suci mengatakan “setiap kesulitan akan selalu disertai kemudahan”. Kehidupan adalah cerita tentang kesulitan dan kemudahan yang berjalan beriringan.

Lalu bagaimanakah maksud dari orang yang waras (bermental sehat) itu?

Orang Sehat Mental

Bagi penulis, orang yang bermental sehat adalah orang-orang yang pernah merasa lara & tawa, suka & luka, serta tangis haru & tangis pilu. Jika hanya merasakan satu sisi saja, maka berarti bermental tidak sehat (gangguan mental). Misalnya seumur hidup tidak pernah menangis dan selalu tertawa, bahkan ketika Ibunya berpamit pulang atau justru selama di bumi tidak pernah tertawa dan selalu menangis, pun ketika mendapatkan uang kaget.

Manusia bermental sehat harus merasakan mudah dan susah, namun dengan porsi yang sesuai dengan tempatnya. Manusia sangat dianjurkan tertawa, tetapi tertawa terhadap hal yang layak ditertawai. Sebaliknya; manusia boleh-boleh saja menangis, tetapi menangis terhadap hal yang perlu ditangisi. Tertawa terbahak-bahak sembari menari berlenggak-lenggok di hadapan sekelompok manusia yang sedang hampir mati kelaparan adalah hal yang boleh disebut sebagai gangguan mental.

Baca Juga  Kebebasan Akademik Terancam, Muhammadiyah Jadi Korban

Kartika Sari Dewi (2012) dalam buku ajarnya tentang kesehatan mental, menyatakan bahwa manusia yang bermental sehat adalah manusia yang dapat mengendalikan emosinya, baik emosi positif maupun emosi negatif. Tawa, senang, percaya diri adalah bentuk-bentuk emosi positif; sedangkan sedih, tangis, marah, cemburu adalah wujud emosi-emosi negatif.

Manusia yang berjiwa sehat adalah terhadap emosi positif, ia mempertahankan dan terhadap emosi negatif, ia mengendalikan. Pemertahanan emosi positif sering dianggap sebagai hal yang lumrah. Berbeda dengan pengendalian emosi negatif. Pertanyaan yang sering muncul adalah Apakah bisa emosi negatif dikendalikan? Bukankah emosi negatif seharusnya dihilangkan?

Pandangan tentang emosi negatif yang dapat dikendalikan sehingga menimbulkan reaksi yang positif disebut dengan istilah psikologi positif. Pandangan ini melihat bahwa setiap sikap manusia dibekali kemampuan untuk melakukan hal-hal baik dan mengelolanya. Dengan psikologi positif, rasa marah dapat diolah menjadi emosi positif. Marah bukan hal yang negatif jika dibantu dengan penyaluran yang benar.

Misalnya rasa marah yang direfleksikan ke dalam bentuk karya seni seperti lukisan, puisi, atau cerpen. Rasa cemas juga dapat dikelola menjadi emosi positif dengan cara memanfaatkannya untuk persiapan atau antisipasi (alarm emosional).

Masalah adalah Kewajaran

Beberapa orang hebat juga bermula dari emosi negatif; seperti penulis karya best seller yang bercerita tentang kegelisahan hidup di dalam karyanya, youtubers yang membagikan pengalaman pahit hidupnya lewat video-video di channel youtubenya, para komedian yang berhasil menghibur para penggemarnya lewat kisah-kisah patah hatinya lantaran ditinggal gebetan, atau para motivator yang berhasil bangkit dari keterpurukan yang kemudian membagikannya dengan kalimat-kalimat yang meneduhkan.

Hal ini sejalan dengan kriteria yang disampaikan oleh WHO (World Health Organisation) tentang jiwa yang sehat. Satu di antara kriteria jiwa yang sehat adalah menerima kekecewaan (sakit hati, kesedihan, cobaan hidup) sebagai pengalaman yang dapat digunakan untuk menghadapi lika-liku kehidupan. Emosi negatif yang tidak terkendali dapat memicu reaksi-reaksi negatif seperti membentak, memukul, menggila, depresi berat, hingga bunuh diri.  

Baca Juga  Cara Menangkal Radikalisme Lewat Pendidikan

Gradasi perbedaan antara orang yang bermental sehat dan orang yang bermental tidak sehat (gangguan mental) terletak pada cara memperlakukan emosi di dalam diri. Golongan pertama (bermental sehat) mampu mengukur dan mengatur setiap kadar emosi yang berbaur, sedangkan golongan yang kedua (bermental tidak sehat) tak berdaya di hadapan emosi-emosi yang mendekapnya.

Stanley Hall (seorang bapak psikologi remaja) pernah mengatakan bahwa masa remaja adalah masa badai (storm) dan tekanan (stress). Ungkapan Stanley Hall mengisyaratkan bahwa remaja yang dikelilingi berbagai macam permasalahan hidup adalah hal yang wajar-wajar saja. Justru menjadi hal yang tidak wajar jika seorang remaja merasa tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Baginya baik & buruk, hitam & putih, atau ramai & sepi adalah hal-hal yang tidak berbeda dan tidak perlu dipermasalahkan.

***

Finally, sekali lagi perlu penulis tegaskan bahwa orang yang bermental sehat berhak untuk mendapatkan kebahagiaan sekaligus kesengsaraan dalam kehidupan. Sebab tangisan tak melulu tentang penolakan dan senyuman tak selalu bermakna penerimaan. Berapa banyak manusia yang menangis tersedu sedan, kemudian esoknya ia memilih bertahan dan terus melanjutkan kehidupan. Berapa banyak pula manusia yang mengisi hari-harinya dengan senyum dan sapa, kemudian esok harinya ditemukan tak bernyawa dengan obat racun serangga di tangannya.

Kesehatan mental adalah ihwal tentang kebahagiaan dan kesedihan yang diterima dengan hati yang lapang. Bukan perihal tentang kebahagiaan yang terus menerus dan kesedihan yang harus dibuang ke dalam lubang kakus.

Editor: Nabhan

8 posts

About author
Penulis. Alumnus Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds