PerspektifTasawuf

Virus Corona: Peneguh Nilai-Nilai dalam Ajaran Islam

4 Mins read

Senin, 2 Maret 2020 kemarin Presiden RI Jokowi secara resmi mengumumkan ada dua warga Negara Indonesia yang positif tertular COVID-19. Dari pernyataan resmi Presiden, kemudian muncul berbagai himbauan di media sosial bagaimana sikap kita terhadap virus corona yang telah menyebar secara masal hampir di seluruh belahan bumi tersebut.

Corona dan Ajaran Islam

Sebagai muslim–yang sedang berusaha tidak panik atas isu COVID–19–yang sudah masuk ke Indonesia dan memakan dua korban, saya berusaha melihat adanya virus ini sebagai peneguh ajaran-ajaran dalam agama Islam.

Pertama, Islam melarang memakan daging hewan buas yang bertaring, darah, dan hewan-hewan lain yang disebutkan di Alquran. Perlu diketahui, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika menegaskan virus Corona berasal dari daging hewan seperti kucing, unta dan kelelawar. Meski menurut ahli yang ada di sana, virus ini jarang sekali berevolusi dan menyebar dari hewan ke manusia. Virus Corona ini pertama kali muncul di Kota Wuhan, Ibukota provinsi Hubei Tiongkok di mana banyak penduduknya mengonsumsi kelelawar dan hewan lainnya seperti anjing ataupun ular.

Islam secara ketat mengatur tentang makanan yang halal dan haram dikonsumsi. Baik secara zatnya, ataupun cara mendapatkan dan mengonsumsinya. Makanan halal bisa menjadi haram jika cara mendapatkannya tidak sesuai syariat, makanan yang haram pun bisa menjadi halal jika dalam kondisi darurat. Larangan Islam untuk memakan hewan buas yang bertaring ini menunjukkan bahwa Islam ingin melindungi umatnya dari segala keburukan termasuk yang berasal dari makanan.

Kedua, Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menjalankan salat lima waktu dan menjaga wudu. Kondisi ini sangat relevan dengan himbauan yang muncul setelah terbit pernyataan presiden Jokowi tentang adanya 2 korban yang positif terserang virus Corona di Indonesia. Kita ambil contoh himbauan dari UNICEF. Salah satu poinnya adalah anjuran mencuci tangan dengan lebih sering setelah melakukan suatu pekerjaan.

Baca Juga  Sisi Positif dari Postmodernisme

Sebagai umat Islam, Allah mewajibkan kita untuk salat 5 waktu sehari semalam. Dalam pelaksanaan salat tersebut, ada perintah untuk wudu atau bersuci yaitu membasuh tangan, berkumur, mencuci hidung, membasuh muka, dan terakhir mencuci kaki. Selain sebagai syarat sahnya shalat, wudu juga merupakan salah satu media dalam upaya menjaga kebersihan diri. Jika dalam salat 5 waktu kita sudah minimal membasuh tubuh sebanyak 5 kali, maka jika ditambah dengan salat sunah lainnya, tentu air wudu yang membasuh tubuh kita menjadi lebih banyak.

Ketiga, mengurangi intensitas sentuhan. Ada sebuah hadis yang berbunyi :

Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahram”. (H.R. Thobroni)

Syekh Albani menilai derajat hadis ini sahih. Berangkat dari pemahaman tekstual hadis di atas bahwasannya menyentuh wanita yang bukan mahram adalah dilarang oleh agama. Salah satu bentuk sentuhan yang sering terjadi adalah dengan bersalaman atau jabat tangan. Bagi sebagian orang, berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram adalah hal biasa, namun rupanya agama sudah mengatur dengan sedemikian detail.

Memang, ulama masih berbeda pandangan tentang jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Ada yang mengatakan boleh dengan syarat, ada yang mengharamkan secara mutlak. Tetapi poin yang ingin saya sampaikan di sini bahwa mengurangi intensitas jabat tangan merupakan bentuk kewaspadaan kita terhadap penyebaran virus Corona. Sesuai dengan edaran dari UNICEF agar menghindari kontak fisik dengan orang lain tanpa bermaksud menjauhi dan menyakiti perasaan orang tersebut.

Keempat, membiasakan diri untuk tabayyun. Derasnya aliran berita saat ini menjadikan siapa pun yang memiliki akses di dunia maya seolah berada selangkah di depan yang lainnya dalam hal getting information atau knowing something. Di dunia yang serba cepat ini, arus informasi sangat sulit untuk dibendung. Setiap hari, jam, bahkan detik bermunculan berita-berita tentang apa saja di dunia maya, salah satunya adalah tentang virus Corona.

Baca Juga  Menalar Senjata Pemerintah Lawan Pandemi: Permenkes vs Permenhub

Dalam fikih informasi, Islam mengenal istilah tabayyun atau klarifikasi terhadap suatu hal yang masih samar keutuhan informasinya. Dari konsep ini kita bisa menerapkannya dalam memahami situasi yang sedang berkembang sekarang. Banyaknya kabar yang lalu lalang di jagad maya mengharuskan kita semakin jeli dalam memilih dan memilah informasi. Tabayyun selain dimaknai sebagai klarifikasi terhadap kebenaran berita terhadap sesuatu, juga dapat dimaknai sebagai upaya mencegah masuknya berita hoax yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan bahkan cenderung merugikan.

Dengan konsep tabayyun ini diharapkan kita tidak menerima kabar yang beredar di media secara mentah.

Kelima, semangat ta’awun yang semakin masif. Islam telah mengabadikan semangat ta’awun (saling tolong-menolong) di dalam kitab sucinya, AlQuran. Ayat tentang ta’awun ini memiliki dimensi global. Tidak bersifat eksklusif kepada umat Islam sendiri namun secara umum kepada umat manusia sebagai makhluk Allah. Tolong-menolong yang dimaksud tentunya atas dasar kebaikan dan ketakwaan.

Melalui virus Corona ini bisa kita saksikan betapa orang-orang khususnya yang ada di negara yang terjangkit virus ini berupaya saling tolong menolong demi kesembuhan. Tenaga medis misalnya, mereka rela bekerja melebihi jam kerjanya, bahkan 24 jam nonstop demi membantu menangani pasien yang di awal kemunculan virus ini, jumlah pasiennya mencapai ribuan dalam beberapa hari saja. Tidak sedikit pula orang-orang yang membagikan masker secara gratis kepada khalayak umum. Di Singapura, tentara membantu mengepak masker dan membagikannya secara gratis kepada masyarakat di sana, warga dengan kesadaran tinggi pun turut membersihkan fasilitas-fasilitas umum dengan melapnya.

Masih dalam konsep ta’awun, saya teringat tema milad Muhammadiyah yang ke 107 beberapa bulan lalu yaitu Ta’awun untuk Negeri”. Tema ini bagi saya merupakan semangat inklusi bagi Muhammadiyah yang menegaskan bahwa dalam taawun, asas yang dibutuhkan adalah asas kemanusiaan, tidak pandang dari suku mana atau kulit berwarna apa.

Baca Juga  Segregasi Politik: dari Komunisme ke Radikalisme

***

Dari hal-hal yang saya sampaikan di atas, perlu kita renungkan bahwa tidak pernah Allah menetapkan suatu kejadian kecuali terdapat hikmah di balik itu semua. Menyikapi kondisi yang terjadi saat ini, informasi di dunia maya dan nyata saya rasa sudah cukup memadai sebagai bekal kita untuk terus melanjutkan hidup di bawah isu Corona yang semakin menggurita di bawah payung media. Boleh kita santai sambil rebahan, namun selalu waspada dan tetap jaga kesehatan.

2 posts

About author
Mahasiswa Magister Ilmu Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bekerja sebagai staf tenaga kependidikan di SMA Muhammadiyah 6 Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds