Perspektif

Wahyudi Akmaliyah: dari “Kesantunan Offline” Menuju “Kesantunan Online”

1 Mins read

Sesi Kolokium Nasional Interdisipliner kali ini sangat dekat dengan cendekiawan muda Muhammadiyah, yakni tema-tema milenial, namun disorot secara kritis oleh para pakar dan akademisi.

Sesi yang digelar pada 7 Maret 2020 pada pukul 14.50 ini diawali oleh pemaparan materi dari Wahyudi Akmaliyah sebagai Peneliti LIPI.

Wahyudi Akmaliyah memaparkan informasi bahwa internet dipakai oleh mayoritas masyarakat Indonesia untuk beragama. Kebutuhan masyarakat pada agama dijembatani oleh internet. Sedangkan media online Muhammadiyah kalah populer dari media-media online dan tokoh-tokoh agama dari NU dan Salafi.

“Muhammadiyah boleh bangga punya sekolah, tapi akses informasi kini adalah internet.” Menurutnya, ‘Suara online’ Muhammadiyah tenggelam karena media sosial bergerak lewat figur dan social network kultural, yang hanya dimiliki NU dan Salafi.

Pendekatan Muhammadiyah sangat struktural. Muhammadiyah juga segan mengubah “kesantunan offline” menjadi “kesantunan online” yang menuntut konten-konten ‘nakal’.

Wahyudi menjelaskan beberapa solusi yang bisa digarap. Pertama, perkuat jejaring kultural. Kedua, himpun para influencers Muhammadiyah. Ketiga, rebut wacana tekstual melalui situs. Keempat, opimalkan viralisasi agamawan Muhammadiyah. Kelima, artikulasikan ulang ideologi wasathiyah Muhammadiyah dalam konten yang keren. Keenam, meminta ruang kepada Google dan pemilik platform media sosial untuk memoderasi Islam untuk Muhammadiyah.

Mu’arif: Revolusi Industri, Kunci Kesuksesan Muhammadiyah

Sementara itu, Mu’arif, sebagai sejarahwan Muhammadiyah, berbicara tentang sejarah kesuksesan Muhammadiyah di abad pertama. Ia menyatakan bahwa salah satu faktor kesuksesan Muhammadiyah adalah adanya revolusi industri, secara khusus penemuan mesin cetak yang pada awal abad dua puluh sangat menjamur.

Di Jogjakarta, terdapat lebih dari 40 surat kabar, termasuk Suara Muhammadiyah. Surat kabar memainkan peran penting untuk menampilkan citra besar organisasi, sekalipun sesungguhnya organisasi itu kecil. “Di Sumatera pada tahun 1930, Suara Muhammadiyah sudah menjadi majalah favorit. Inilah cara Muhammadiyah menciptakan disrupsi, geger yang menggeser masyarakat tradisionalis menjadi masyarakat modernis yang rasional, otoritas-terdesentralisasi, dan literasi tinggi,” paparnya. Menurutnya, internet bisa digunakan ulang bagi Muhammadiyah untuk melakukan pembaharuan yang sama.

Baca Juga  Polemik Biaya Pendidikan di Masa Pandemi COVID-19
Reporter: Nafi’ Muthohhirin
Editor: Yahya Fathur Rozy
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds