Report

Wasathiyyah itu Umat Terbaik, Bukan Umat Tengahan

2 Mins read

Sesi kelima Kolokium Nasional Interdisipliner pada 7 Maret 2020 menghadirkan para pengawal Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah di masa-masa awal, seperti Ahmad Najib Burhani (peneliti senior di LIPI dan ISEAS), Pradana Boy (Presidium JIMM), dan Idaul Hasanah (akademisi HKI UMM). Sesi kali ini memberi perhatian pada gerakan progresif Muhammadiyah di era tantangan zaman now.

***

Ahmad Najib Burhani, pada kesempatan bicaranya, ia menanyakan tentang problem kebaruan yang ada di Muhammadiyah.

“Kalau kita tidak bisa menyebut satu dua dan tiga kebaruan itu, artinya kita memang tidak punya kebaruan.” Ahmad Najib Burhani menyatakan bahwa perlu ada klasifikasi potensi yang membuat Muhammadiyah bisa bertahan selama 100 tahun belakangan, dan klasifikasi potensi yang akan membuat Muhammadiyah bisa bertahan selama 100 tahun ke depan.

Ia menekankan bahwa Muhammadiyah masih punya harapan, karena masih ada bahan bagi Muhammadiyah untuk membangun keyakinan bahwa Muhammadiyah masih komunitas terbaik. “Wasathiyyah itu konsepsinya bukan umat tengahan, tapi umat terbaik!” Tegasnya.

Persoalan lain yang diajukan Ahmad Najib Burhani adalah fundamentalisme dalam tubuh Muhammadiyah. “Bebebrapa PDM bahkan ringan hati mengakui Muhammadiyah sebagai bagian dari potret fundamentalisme Islam, saat beberapa intelektual muda berusaha membuktikan sebaliknya,” ia menerangkan. Padahal, menurutnya, ciri khas fundamentalisme ada beberapa, dan Muhammadiyah tidak terkategorikan dengan satu ciri pun di dalamnya. Muhammadiyah tidak pernah mewajibkan taklid pada syi’ar Muhammadiyah, tidak pernah menutup pintu amal usaha dari identitas yang berbeda, tidak pernah bersifat oposisi terhadap modernitas, tidak pula bersifat selektif terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang hanya menguntungkan Muhammadiyah sendiri.

“Bila kita kritis melihat karakteristik Muhammadiyah dan fundamentalisme, hasilnya adalah Muhammadiyah bukanlah gerakan fundamentalis. Sebab sedikit keterlaluan bila Muhammadiyah dianggap sebagai gerakan fundamentalis bila agenda-agenda utamanya adalah membangun masyarakat sehat, memulai gerakan pesantren nasional dan global, menginisiasi penyelamatan kebencanaan, pembelaan lingkungan hidup, memihak minoritas, dll,” paparnya.

Baca Juga  Ustaz Fattah Santoso: Empat Langkah Membangun Masyarakat Ilmu
***

Idaul Hasanah, pada kesempatan bicaranya, mengawalinya dengan pertanyaan seorang outsider, yakni Prof. Dr. Masdar Hilmy. “Kebaruan apa lagi yang akan ditemukan Muhammadiyah? Ini kritik penting untuk evaluasi,” ujarnya.

Idaul Hasanah mengajukan dua hal yang bisa digarap sebagai jalan baru. “Pertama, pendidikan berbasis keluarga dan masyarakat. Kedua, gerakan kepedulian pada lingkungan hidup,” jelasnya.

Dalam pendidikan, ia menekankan fungsi tradisional keluarga dan mengusulkan ‘pendidikan dari rumah’ dan meninggalkan model pendidikan outsourcing, yakni menyerahkan nasib pendidikan anak sepenuhnya pada sekolah saat seharusnya hal itu menjadi lahan garap keluarga.

Dalam lingkungan hidup, ia menyarankan adanya aksi nyata mengurangi sampah dan mengelola sampah sendiri. Hal itu harus juga dimulai dari lembaga-lembaga Muhammadiyah, dari acara-acara yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah.

***

Sharing ketiga disampaikan oleh Pradana Boy. Ia mengawalinya dengan penjelasan tentang mengapa kita selalu merasa tertinggal dengan komunitas lain. “Kita melakukan pencerahan dengan asumsi bahwa kita tertinggal, akhirnya kita betul jadi tertinggal.”

Menurut Pradana Boy, hal ini yang menyebabkan adanya keinginan Muhammadiyah mengejar ketertinggalan dari NU dalam kepesantrenan, sedangkan NU ingin mengejar Muhammadiyah dalam lembaga perguruan tinggi. “Tapi hal ini pun sulit, karena Muhammadiyah tidak punya tradisi pesantren dan NU tidak punya tradisi manajerial,” ia menekankan.

Pradana Boy menekankan, dengan mengutip pemikiran Muhammad Qutb, sejumlah penyakit umat Islam. Dua di antara persoalan teologis adalah kecenderungan su’uzhan (negative thinking) pada identitas laindan kecenderungan ashabiyah (primordialitas kelompok).

Beberapa di antara persoalan akhlak adalah kecenderungan untuk memproduksi kebohongan dan gosip, tiadanya amanah dan etos dalam bekerja, dan tiadanya azam untuk berpikir dengan sungguh-sungguh. “Kita bisa mengukur Muhammadiyah dengan parameter ini,” imbuhnya.

Baca Juga  PPIM UIN Jakarta Launching Penelitian Tren Beragama di Indonesia
Reporter: Nafi’ Muthohhirin
Editor: Yahya FR
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Report

Anak Ideologis itu Amal Jariyah

1 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Pendakwah muda Habib Husein Ja’far Al Hadar menyebut anak ideologis lebih baik daripada anak biologis. Alasannya, karena perjuangan dengan…
Report

Alissa Wahid: Gus Dur Teladan Kesetaraan dan Keadilan

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid memberikan tausiyah pada peringatan Haul Gus Dur ke-15 yang bertempat di Laboratorium Agama UIN…
Report

Alissa Wahid: Empat Faktor Penyebab Meningkatnya Kasus Intoleransi di Indonesia

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Qotrunnada Wahid atau Alissa Wahid menyampaikan bahwa ada empat faktor utama yang menyebabkan tren peningkatan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds