Perspektif

Pancasila, Hadiah dari Muhammadiyah untuk Umat dan Bangsa

3 Mins read

Gerakan anti Pancasila, infonya ternyata bukan hanya di Indonesia, tetapi juga sudah mendunia. Entah benar atau salah, ketika musim kampanye Pilpres 2019 kemarin, ada teman penulis di sebuah Negara di kawasan Timur Tengah yang, katanya, mengkampanyekan pentingnya negara Islam tegak di Indonesia. Istilah populer (yang belakangan ditakuti secara merata di segmen masyarakat tertentu), yaitu khilafah.

Mayoritas umat Islam di Indonesia, menurut teman tadi, ada bahkan banyak yang meyakini masih sangat mudah untuk diajak secara perlahan mendirikan pemerintahan (khilafah) Islam. Di mana pemerintahan tersebut dipimpin tidak lagi oleh seorang Presiden, melainkan oleh seorang khalifah seperti halnya pada awal-awal perkembangan agama Islam. Dimulai dari zaman Rasulullah, berikutnya zaman khulafa’ur rasyidin, lalu ke khalifah dari kalangan tabi’in (dinasti Umayah atau Mu’awiyah), hingga ke khalifah dari kalangan (dinasti) Abbasiyah. Otomatis, temannya teman tadi, ya, begitu, tak lagi peduli dengan Pancasila.

Riwayat Gerakan Anti-Pancasila

Di Indonesia sendiri, gerakan anti-Pancasila, disebut dengan gerakan bawah tanah, sebenarnya dimulai sejak sehari sebelum Proklamasi kemerdekaan. Ditandai dengan adanya para pejuang wilayah Indonesia bagian timur yang beragama Nasrani, meminta kepada Bung Karno supaya mencoret 7 kata dalam Piagam Jakarta. Kala itu, secara historis telah terjadi ketegangan (urat-syaraf) antarpenandatangan Piagam Jakarta dengan utusan Bung Karno yang meminta mencabut tandatangannya. Ternyata upaya tersebut gagal dan Piagam Jakarta tetap ada. Meskipun pada akhirna tidak dijadikan sebagai preambule (pembukaan) UUD 1945.

Kemudian, pada tahun 1980-an aura Revolusi Islam Iran (tahun 1979) mulai marak ke dan di Indonesia. Wajah sekte Syi’ah (dari revolusi Islam Iran tersebut) terlihat bermunculan di Indonesia, yang mau tidak mau terimbangi pula dengan tampak pula gerakan Sunni diwakili oleh mereka yang serius mengadopsi pemikiran Ikhwanul Muslimin (MI) Hasan al-Banna.

Baca Juga  Kalung Bunga untuk Rambo ISIS?

Dengan kata lain, bahwa mulai terasa ada gerakan dua wajah (syi’ah dan sunni) yaitu pada dan sepanjang tahun 1980-an. Kebetulan pada masa-masa itulah saya masih (bahkan memulai) jadi aktivis kampus. Prof. Din Syamsuddin dan Prof. Qomari Anwar (almarhum rahimahullah), pada tahun 1980-an, yang termasuk aktif memberi ceramah-ceramah dalam berbagai pengajian kampus (mahasiswa) yang kala itu dikenal dengan istilah “usrah”.

Bersamaan dengan kian maraknya pengajian-pengajian di kampus, ada juga kelompok-kelompok yang dalam istilah sekarang dikategorikan sebagai kelompok radikal atau bahkan ekstremis. Kelompok yang memang saya rasakan betul, ada gerakan-gerakan yang bersimpul pada kehendak massa untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Tepatnya menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam, bukan lagi berasaskan Pancasila. Sepanjang tahun 1980-an, yang saya rasakan, memang menjadi tahun-tahun heboh ideologis.

Hadiah dari Muhammadiyah

Seingat saya, pada tahun 1980-an itu, ketika Menteri Agama dijabat oleh Letjen TNI (Purnawirawan) H. Alamsyah Ratuperwiranegara, sibuk sekali untuk memahamkan masyarakat supaya menerima dan meyakini bahwa Pancasila sebagai dasar NKRI. Saya yang waktu itu baru saja memasuki jenjang pendidikan tinggi (mengawali kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah–UIN Jakarta), setelah Propesa (Program Pengenalan Studi dan Almamater), langsung diikutsertakan latihan kepancasilaan. Latihan ini disebut dengan Penataran P-4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) atau Ekja Prasetia Pancakarya (kalau tak salah).

Tidak lama kemudian, pada tahun 1980-an juga, ada kebijakan atau tepatnya penetapan UU Keormasan yang mewajibkan semua ormas mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal.

Menag Alamsyah Ratuperwiranegara, dalam hampir setiap kesempatan selalu mengatakan bahwa Pancasila adalah lima sila. Di mana masing-masing sila merupakan rangkaian (kalimat) filosofis yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Saat itu, MUI pun menerbitkan buku satu Pancasila dan Islam. Yang sangat saya ingat dari Alamsyah Ratuperwiranegara bukan hanya itu tadi. Melainkan pernyataan bahwa beliau berkali-kali, dalam setiap kesempatan, menegaskan Pancasila adalah hadiah terbesar dari umat Islam untuk Indonesia.

Baca Juga  Menggandrungi Buku, Tak Berarti Harus Jadi Profesor dan Menerbitkan Karya Ilmiah!

Kebetulan pula, ketika saya diberi tugas mengampu mata kuliah PKn di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT Indonesia), penegasan Alamsyah itulah yang senantiasa menjadi topik pembejalaran bareng mahasiswa. Kemudian karena penyampaiannya saya lakukan di kampus Muhammadiyah, maka saya pun, dengan penuh tanggung jawab akademis, tidaklah berlebihan jika saya menyampaikan bahwa yang dimaksud umat Islam oleh Menteri Agama itu adalah Muhammadiyah. Dengan kata lain, bahwa Muhammadiyah yang punya Pancasila dan menghadiahkannya kepada umat dan bangsa Indonesia.

Alasan saya ada tiga hal sederhana, tapi sangat bermakna. Pertama, perumus Pancasila pertama, bukan Moh. Yamin, melainkan Prof. Dr. Ir. H. Soekarno atau Bung Karno Rahimahullah, salah seorang tokoh besar yang dilahirkan oleh Muhammadiyah.

Kedua, yang menyetujui pencoretan 7 kata dalam Piagam Jakarta, yaitu Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu, Ki Bagus Hadikusumo Rahimahullah. Ketiga, yang menyelamatkan dan mengamankan negara Pancasila, yaitu Bapak TNI Jenderal Besar Soedirman, tokoh Muhammadiyah juga. Allahu a’lam.

Editor: Nabhan

Avatar
13 posts

About author
Noor Chozin Agham, dosen UHAMKA dan UMT Indonesia, Penulis Buku : ISLAM BERKEMAJUAN gaya MUHAMMADIYAH - Telaah terhadap Akidah, Akhlak, Ibadah, dan Mu'amalah Duniawiyah - UHAMKA Press, 2015
Articles
Related posts
Perspektif

Kurikulum Merdeka adalah Kunci Kemajuan Pendidikan Masa Kini

4 Mins read
Hari Pendidikan Nasional Tanggal 2 Mei (HARDIKNAS) merupakan momentum bagi setiap insan pendidikan untuk memperingati kelahiran pelopor Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara….
Perspektif

Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

2 Mins read
“Tunisia dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan”, tetapi sebaliknya “Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tapi jauh secara Kebudayaan”…
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *