Kita masih berduka atas bencana pandemi Covid-19 yang masih melanda Indonesia. Semoga kita bisa bersama-sama melewati masa sulit ini. Namun, ada hal menarik dalam paham keberagamaan kita, terutama respon para pemuka agama di Indonesia dalam menghadapi wabah ini.
Setelah keluar fatwa MUI dan Ormas Islam seperti Muhammadiyah tentang anjuran melaksanakan salat berjamaah dan salat jumat di rumah, sempat terjadi kehebohan di dunia maya. Biasa, arahnya adalah framing agar pemerintahan seolah anti Islam.
“Tanda-tanda kiamat.” “Orang kok dilarang ke masjid.” “Umat Islam jangan dijauhkan dari masjid.” Teman pembaca bisa mencari sendiri lah ungkapan bar-bar lainnya. Saya tidak tega dalam mencerna ucapan-ucapan hasutan, soalnya.
Hal menarik, ketika ternyata hampir semua tokoh agama mengamini fatwa MUI tersebut. Bahkan tokoh yang secara paham keagamaan lebih tekstualis pun sepakat. Tapi saya duga lebih karena Arab Saudi pun berfatwa serupa.
Ulama yang selama ini berperan sebagai “oposisi” dalam menjalankan tugasnya “nahi munkar” kepada pemerintah pun, tak melihat narasi anti Islam kepada pemerintah atas fatwa ini. Lihat pendapat seperti Aa Gym bahkan Habib Rizieq dalam implisit larangan melakukan majelis taklim.
Berfikir HOTS dalam Beragama
Argumen umum penolakan terhadap anjuran salat di rumah adalah pelarangan ibadah, serta kecemasan jika semua masjid kosong, lalu terjadi kiamat.
Kita berbaik sangka saja, dengan mansyukuri bahwa banyak masyarakat yang masih ghirah (semangat) agamanya kuat. Namun, sekali lagi, semangat beragama di Indonesia tidak diiringi dengan kemampuan ilmu agama yang mempuni.
Harus diakui, pengajaran agama di Indonesia selama ini lebih ditekankan kepada tutorial ibadah semata, bukan pemahaman agama. Oleh karenanya, paham keagamaan masyarakat lebih melihat kepada praktik bukan konsep beyond praktik tersebut, dalam istilah ulama disebut maqashid syariah (tujuan diberlakukannya syariat).
Mungkin harus diakui, pada masa lalu seluruh pembelajaran di Indonesia (termasuk pelajaran umum) menggunakan metode berfikir LOTS (Low Order Thingking Skills) atau berfikir tingkat rendah. Sehingga paham keagamaan di Indonesia berhenti pada taksonomi Bloom: mengingat – memahami – lalu mengaplikasikan. Diajari anjuran salat, paham kewajiban salat, lalu mengamalkannya.
K13 dan HOTS
Sebagaimana pemberlakuan kurikulum 2013 di Indonesia saat ini, pemahaman keagamaan di Indonesia harus beranjak pada taksonomi Bloom selanjutnya: menganalisis-mengevaluasi-lalu berkreasi. Tingkat berfikir pada ranah ini disebut berfikir tingkat tinggi atau HOTS (High Order Thinking Skills). Sebagai contoh, dari tingkat berfikir analisis pada kasus respon wabah corona adalah dengan melihat anjuran salat berjamaah dalam perspektif hukum taklifi (pembebanan perintah dan larangan).
Ulama secara sepakat (ijma) bahwa hukum dari salat berjamaah adalah sunnah muakkad (sunah yang dianjurkan), karena adanya besaran pahala dalam salat tesebut, serta faktor implementasi ketaatan mengedepankan Allah daripada semua aspek kehidupan. Sedangkan menjaga raga hukumnya adalah wajib, oleh karena itu Islam mengecam perilaku bunuh diri atau sesuatu yang menjerumuskan untuk merusak raga manusia, pada umumnya akan dihukumi sebagai sesuatu yang haram.
Oleh karenanya, sesuatu yang hukumnya sunnah muakkad tentu tidak bisa mengalahkan sesuatu yang mutlak wajib. Tapi saya tidak mengutamakan argumen ini, hanya ingin memperlihatkan contoh jika umat diajarkan berfikir HOTS dalam beragama.
Saya justru ingin umat memahami aspek ushul fiqih nya. Bahwa dalam memahami teks naskah agama (Quran dan Hadis), tidak bisa tidak terkait dengan ilmu ini.
Begini, dalam sebuah kalimat perintah dan larangan dalam agama ada beberapa disclaimer (peringatan aturan yang terkait) dan term of service (TOS) yang secara umum berlaku. Contoh, kewajiban salat. Ada disclaimer umum yang terkait dengan itu, bahwa jika seseorang tertidur, gila, lupa, (rufi’al qalam) bisa dihukumi tertentu.
Nah, maka ini terkait dengan apakah sesuatu teks tersebut mengandung ‘am (umum) yang bisa ditakhis (khusus) dengan melakukan if clause (jika-maka) pada setiap pengkhususannya.
If clause pun berlaku pada saat fatwa MUI tersebut dirilis. Dalam suatu hadis disebutkan, jika seseorang terkena suatu wabah menular, maka harus menghindari dari perkumpulan tersebut. Lebih melegakan sebenarnya jika pemerintah tahu daerah mana yang terkena wabah ini, sehingga umat bisa proporsional dalam melihat fatwa tersebut.
Ushul Fiqih sebagai Pembelajaran HOTS
Contohnya gini. Saat membahas satu teks keagamaan, kita akan dihadapkan pada beberapa aspek yang memenuhi taksonomi analsis. Di antaranya tentang mujmal (kurang jelas) atau mubayyan (jelas makna); muradif (satu makna) atau musytarok (homonim-homofon/banyak makna); mutlak (tidak terikat) atau muqayyad (terikat); dzahir (jelas) atau takwil (perlu pemahaman transenden); mantuq (eksplisit) atau mafhum (implisiti); nasikh (penghapus) atau mansukh (terhapus pemberlakuan hukumnya.)
Setiap ushul fiqih tersebut punya kaidah masing-masing yang mengandung konsekwensi hukumnya.
Oleh karena itu, melangkah satu taksonomi berfikir saja kita harus belajar holistik (menyeluruh). Belum nanti kita melanjutkan taksonomi “evaluasi” dan “berkreasi” yang berkait dengan metode-metode ijtihad yang muttafaq (sepakat) dan mukhtalaf (boleh berbeda).
(InsyaAllah, saya bahas di lanjutan tulisan ini nanti)
Ushul Fiqih sebagai soal AKM
Pemerintah telah menghapus ujian nasional (UN) dan mengganti dengan AKM (Assesment Kompetensi Minimal). Metode ushul fiqih ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai salah satu aspek AKM, karena memenuhi satu kriteria literasi sebagaimana mas Mendikbud bilang, bukan membaca, tapi memahami bacaan.
Jadi, memahami bacaan agama, perlu dibekali dengan ushul fiqih yang mumpuni. Mungkin ayahanda Abdul Mu’ti sebagai Ketua BNSP bisa mendengar usulan saya ini. Hehe.
Bayangkan, jika seluruh siswa kita dibekali pemahaman ushul fiqih yang mempuni, saya yakin tidak akan terlalu kaget dengan fatwa MUI tersebut.
Untuk lebih lanjut teknis ushul fiqih sebagai metode AKM bisa kita bahas di tulisan selanjutnya.