Feature

Belajar Adaptif Dari Suku Kokoda

5 Mins read

Tiga tahun yang lalu saya diterjunkan untuk melakukan pengabdian masyarakat bersama teman-teman, kami tergabung dalam satu tim pengabdian yang diterjunkan  oleh kampus dan Majelis Pemberdayaan Muhammadiyah (MPM Muhammadiyah) di sebuah kampung di Provinsi Papua Barat. Namanya kampung Warmon dimana dihuni oleh Suku Kokoda.

Suku Kokoda yang menempati kampung Warmon juga 90%  muslim, mereka adalah komunitas muslim asli Papua. Ketika pertama kali datang kami disambut antusias oleh warga terlebih anak-anak kecil yang sudah bersiap membawakan barang-barang bawaan kami begitu turun dari bus yang mengantar.

Begitu riang sekali anak-anak kampung Warmon menyambut kedatangan kami.. “Kaka sini biar sa saja bawa,” begitu terus sampai kami hanya membawa tas punggung masing-masing. Setelah sampai, kami langsung diajak berkeliling kampung dan ke danau tempat biasa anak-anak mandi serta main air. Mereka menyebutnya air kaca.

Saya kira dinamakan air kaca karena airnya sangat jernih. Ternyata bukan seperti itu justru airnya seperti air es teh dan agak keruh. Tapi tetap saja beberapa dari kami nyemplung karena ajakan anak-anak. Tapi rupanya memang seru sekali bisa mainan air bareng mereka anak-anak kampung warmon yang amat lincah melakukan salto di air.

Sembari mandi-mandi di air kaca beberapa gadis Kokoda menawari kami makan pinang. Menurut saya rasanya getir dan aneh, mungkin karena baru pertama kali itu saya makan pinang. Saya pun tak kuat untuk menelannya sehingga terpaksa dilepehkan, lain dengan teman-teman saya yang lain beberapa dari kami bisa menelannya dengan mudah. Katanya kalau makan banyak bisa bikin mabuk tapi gigi jadi putih ungkap gadis Kokoda.

Daerah Warmon memang cukup jauh dari pusat kota Sorong, pun letak kampungnya agak kedalam dan di daerah rawa. Sehingga banyak jentik—jentik nyamuk di kampung ini, kontur tanahnya juga selalu becek ketika hujan turun dan baru kering ketika kemarau panjang. Ada yang menyebut daerah ini tidak cocok dijadikan tempat tinggal. Susah resapan airnya sehingga sanitasi belum bisa dibangun dengan baik waktu itu.

Namun rupanya keterbatasan tempat tinggal bukan menjadi halangan bagi warga Warmon untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari. Sebagai suku yang awalnya nomaden (berpindah-pindah) dari satu tempat ke tempat lain maka tak heran jika dengan cepat masyarakat Warmon dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, pun lebih memilih tidak beralas kaki dan cuci kaki di air kubangan depan rumah ketika mau masuk rumah tinimbang harus beralas kaki karena ribet dan bisa terjerat masuk lumpur yang amat becek.

Baca Juga  Pertobatan Ekologis: Sebuah Seruan untuk Kembali Menyayangi Alam

Dengan kondisi lingkungn yang seperti itu tak heran jika beberapa orang dari rombongan kami terkena penyakit kulit seperti koreng atau kutu air. Nyamuk disana memang sangat ganas, sekali gigit esoknya langsung bernanah. Tapi herannya hal itu tidak berlaku untuk orang-orang sana. Saya pun heran kenapa, akhirnya saya tanyakan hal itu pada Mama-Mama disana.

Tak lama saya mendapat jawabannya, mereka menyebut pinang membuat ketahanan tubuh lebih baik. Mama Kokoda yang saya temui itu juga mmembandingkan beberapa dari kami yang terkena koreng dan tidak. Memang beberapa yang tidak terjangkit penyakit kulit memakan pinang sampai habis begitu pertama kali datang ke kampung ini. “Kalau ko makan pinang itu habis satu tak akan ko kena sakit disini”, begitu ungkap Mama-Mama Kokoda.

Bagi sebagian orang cerita diatas memang tampak tidak masuk akal tetapi masyarakat disana meyakini itu. Saya tidak makan pinang sampai habis saat pertama datang dan saya juga terkena koreng ketika disana. Peristiwa itu tentu saja tidak dapat disimpulkan buru-buru, bisa jadi saya korengan karena kulit saya yang sensitive atau karena saya tidak membersihkan kaki dengan antiseptic setelah cuci kaki di air genangan dll.

Hari ini kita memang telah mendasarkan semua hal pada akal, pada logika sebab-akibat otak kita dan obyektifitas sehingga apapun yang tidak bisa dinalar akan ditampik kebenarannya. Dalam pemikiran Timur khususnya flsafat jawa kita mengenal ilmu titen. Ilmu titen tidak hanya dipraktekan masyarakat jawa namun juga hampir masyarakat di Nusantara.

Titen berasal dari Bahasa Jawa -niteni- yang jika diterjemahkan Bahasa Indonesia kira-kira artinya mencermati. Menurut beberapa ahli filsafat Barat ilmu titen muncul karena ketidakmampuan akal merasionalkan apa yang terjadi dalam lingkungannya. Namun dalam pemikiran Timur ilmu ini ada rumusnya bukan asal tebak. Ilmu titen melihat hal-hal yang terjadi secara konstan, berulang-ulang dan terus menerus untuk diambil pelajarannya, sedangkan caranya yaitu dengan memanfaatkan tanda-tanda alam sebagai bahan kajiannya.

Dengan membaca alam itulah mereka dapat menentukan kapan berburu, ambil sagu, ambil kelapa, tangkap hewan, tanam lengkuas, jahe, padi di Jawa, dll

Begitu juga yang dipraktekan warga kampung Kokoda, mereka sudah terbiasa didatangi orang diluar komunitas mereka lalu diantaranya ada yang mau makan pinang ada yang tidak. Mereka tidak memakai ilmu-ilmu khusus, mereka hanya melihat dari kejadian berulang-ulang yang dijumpai. Dari situlah mereka menyimpulkan. Kalau dalam Bahasa medis mungkin ini juga harus diteliti apa kandungan pinang sehingga dikatakan memperkuat system imunitas manusia.

Baca Juga  Jangan Tergesa-gesa dalam Belajar Agama

Bagi masyarakat Kokoda mereka tidak memerlukan penelitian itu, mereka hanya menerka, membaca kejadian, dan memercayainya. Dalam kajian Psikologi Kesehatan, penyakit seseorang terkadang tidak timbul dari penyakitnya sendiri tetapi dari persepsi. Sebagai seorang mukmin kita sering mendengar bahwa Allah mengikuti prasangka hamba-Nya, dalam Hadist Qudsi dikatakan “Ana ‘inda dzonni ‘abdi bi” – “Aku (Tuhan) mengikuti prasangka hamba-Ku”.

Hadist tersebut mengingatkan kita agar selalu berkhusnudhon kepada takdir dan ketentuan Allah Swt sehingga ia memiliki sikap optimis dan kecakapan untuk menyandarkan dirinya hanya pada Allah semata.

Kini dengan perkembangan teknoloi infromasi ilmu-lmu seperti ‘titen’ tersebut menjadi kehilangan tempat di masyarakat, termasuk masyarakat jawa sendiri. Padahal tidak selamanya obyektifitas manusia dapat menjawab segala peristiwa alam. Ada beberapa hal yang sifatnya sudah ditetapkan oleh Allah Swt atau disebut Sunatullah.

Islam megajarkan kita sebagai umat muslim untuk juga membaca tanda-tanda alam. Allah Swt telah menciptakan alam dan segala isinya untuk kita dapat memimpinnya sebgai tugas “khalifah fil ardhi”, sehingga setiap terjadi kerusakan di alam manusia, maka Allah akan mengutus seseorang untuk memberi peringatan.

Allah Swt menghendaki manusia agar memperhatikan dan menjaga alam. Allah menjadikan  hal-hal yang berupa ibadah Mahdhoh juga ditandai waktunya dengan peristiwa alam, seperti waktu sholat, waktu imsak dengan terbitnya fajar, waktu Ramadhan dan syawal dengan melihat bulan dll.

Dengan hal-hal luar biasa yang digariskan Allah Swt tersebut lantas bagaimana bisa kita menyangkal pembacaan terhadap peristiwa alam. Dalam QS. Ali Imran: 190 – 191Allah Swt berfirman:

انَّ فىِ خَلْقِ السَّمَوَأتِ وَاْلأرْضِ واْختِلَفِ اْلّيلِ وَالنَّهَارِ لأيَتٍ لّأُوْلِى الْألبَبِ [190]  الَّدينَ يَدْكُرُونَ اللهَ قِيَمًا وَقُعُودًا وَعَلىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ السَّمَوَأتِ وَالْأرْضِ رَبَّنَامَا خَلَقْتَ هَدَا بَطلاً سُبْحَنَكَ فَقِنَا عَدابَ النَّارِ[191]

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambal berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka piliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali Imran: 190-191)

Baca Juga  Meneladani Akhir Hayat Abu Qilabah

Mungkin saat ini kita kurang jeli melihat pertanda, sampai pertanda yang amat jelas tidak kita hiraukan, hingga beberapa hari terakhir ini kita mulai sibuk menghadapi wabah COVID-19 yang semakin memakan korban di Indonesia.

Baru saja www.worldometers.info/coronavirus/ merilis laporan terbarunya pada 19/3 bahwa Indonesia menempati posisi tertinggi angka kematian suspect corona virus sebesar  25 orang dinyatakan meninggal dari total 309 positif corona. Setelah Indonesia angka kematian tertinggi Asia Tenggara adalah Filipina. Kondisi ini tentu sngat menghawatirkan.

Hal ini menjadi renungan kita bersama, menjadi bahan kontemplasi dan muhasabah kita semua kenapa bangsa yang diklaim tidak akan terkena korona karena qunut dan air wudhu ini akhirnya juga tetap menanggung dampakya sehingga sampai kapan virus yang dinyatakan pandemic global oleh WHO ini akan terus membayangi keselamatan kita?

Kini dunia kesehatan di seluruh dunia juga sedang berlomba-lomba untuk menemukan vaksin dari COVID-19 ini. Dunia kesehatan tanah air menyebut rempah-rempah dan jahe merah dapat menjadi penghambat dari tumbuhnya virus COVID-19. Mendengar berita itu masyarakat menjadi berlomba-lomba membeli rempah-rempah dan jahe. Loh bukannya rempah itu bumbu wajib masakan Nusantara ya, wedang ronde juga menu wajib di pengajian RT yang diadakan sampai larut malam.

Akhirnya kita sedikit tahu jawabannya, rupanya sudah banyak masyarakat Indonesia yang tidak lagi mengkonsumsi rempah-rempah untuk bumbu dapurnya. Masakan sayur lodeh, ikan asin, sambal bawang sudah banyak digantikan dengan makanan cepat saji yang bumbunya hanya garam dan micin. Padahal harganya lebih mahal daripada beli makan di warung samping rumah.

Tuhan kini seperti mengingatkan kita akan budaya Nusantara  yang adiluhung, yang mengikuti kehendak alam dan keberlangsungan manusia dan semua makhluk hidup lain. Hingga kembali ke alam, memaknai falsafah timur akan sangat berarti untuk menjaga kelangsungan hidup kita, untung-untung juga dijadikan gaya hidup. Hidup sehat dengan kembali ke makanan Nusantara, termasuk pinang yang membuat gigi putih.

Itulah cara hidup suku Kokoda yang patut kita contoh, berkemampuan adaptif menyatu dengan alam, melihat pertanda Tuhan lewat hukum sunatullah-Nya. Sekarang kita sama-sama berharap agar bangsa ini segera bangkit melawan wabah pandemic ini. Bersama-sama, tidak hanya pemerintah, NGO, Muhammadiyah dengan Covid-19 Command Center dan rumah  sakit- rumah sakitnya yang turut bahu membahu untuk bangsa namun juga kita sebagai masyarakat untuk kembali memerhatikan gaya hidup, yang sehat, dan mensyukuri kekayaan bumi Nusantara yang kaya akan khasiat.

Bersama ikhtiar bumi dan mengetuk pintu langit kita lakukan, semoga wabah ini segera diangkat oleh Allah Swt dan dapat diambil ibrah dari peristiwa ini oleh seluruh umat manusia di Bumi Allah ini.[].

4 posts

About author
Alumni FAI UMY, tinggal di Yogyakarta. Dapat dihubungi melalui [email protected]
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds