Perspektif

Indonesiaku Krisis Negarawan, Surplus Politikus

4 Mins read

Belum genap sebulan sejak ditemukannya penderita pertama virus korona di Indonesia alias pada 1 Maret, per 19 Maret sudah ada 309 pasien yang positif terkena virus yang kali pertama muncul di Wuhan, Tiongkok, itu. Padahal, sehari sebelumnya masih di angka 227 kasus. Artinya, seharian kemarin ada 82 kasus anyar.

Persebarannya juga sudah merata, terutama di Pulau Jawa. Tercatat seluruh provinsi di Pulau Jawa sudah memiliki pasien kasus korona jenis baru yang disebabkan SARS-CoV-2 tersebut.

Dari 309 pasien itu, 25 orang dinyatakan meninggal dan 15 lainnya sembuh. Kalau dirata-rata sejak muncul kali pertama awal bulan ketiga lalu, lebih dari satu orang meninggal per hari. Itu sangat tinggi. Bandingkan, misalnya, dengan Malaysia. Kendati jumlah penderitanya paling tinggi di Asia Tenggara (790 kasus), yang meninggal tercatat hanya dua orang.

Jumlah kematian itu menjadikan Indonesia sebagai negara di urutan keempat dengan tingkat kematian atau case fatality rate (CFR) terbesar terkait dengan Covid-19. Urutan pertama dipegang Aljazair. Di negeri tersebut, meskipun jumlah kasus positif hanya 82 orang, 9 di antaranya meninggal. Itu setara 10,97 persen. Sementara itu, persentase kematian di Indonesia mencapai 8,09 persen. (Jawa Pos, Jumat 20 Maret 2020).

Di Asia Tenggara, hanya Filipina yang ”mengungguli” Indonesia. Negeri jiran mencatatkan 202 kasus korona dengan 19 kematian alias tingkat kematiannya 9,4 persen. Persentase CFR Nusantara yang kita cintai ini sekaligus mengalahkan dua negara dengan jumlah kasus yang sangat tinggi: Italia dan Iran. Italia “hanya” 7,94 persen, sedangkan Iran 6,1 persen. Data di atas tentu masih terus bergerak dinamis.

Di Jawa Timur, setelah sebelumnya “adem ayem”, tiba-tiba saja sudah muncul delapan penderita. Lantas, satu orang di Malang meninggal! Mengingat lonjakan yang cukup tajam belakangan ini, data tersebut sangat mungkin cepat berubah hanya dalam hitungan hari, bahkan jam.

Baca Juga  Menanggapi Sekularisme di Tengah Umat

Sikap Pemerintah

Sejak awal, pemerintah memang gelagapan dan terkesan tidak serius menghadapi virus yang oleh WHO kemudian ditetapkan sebagai pandemi global itu. Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, semestinya langsung wawas diri bakal dihinggapi virus tersebut. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang mengandalkan sektor pariwisata sebagai salah satu sumber pemasukan dalam negeri sehingga banyak bersentuhan dengan wisman. Di samping itu, negara kita mau tak mau masih menjadi negara maritim! Maka, lalu lintas manusia di negara kita menjadi hal lumrah belaka.

Karena itu, kalau kemudian pemerintah di awal-awal kurang tanggap mengantisipasi, patut dipertanyakan keseriusan mereka dalam mengurus negara ini. “Kasus korona membuat kita jadi tahu bahwa negara ini dikelola dengan cara yang tidak lebih baik dibandingkan dengan pengelolaan RT,” kata seorang akademisi muda, Fariz Alniezar.

Selain kurang peka, pemerintah cenderung tidak transparan dan belum solutif dalam turut membereskan persoalan yang dihadapi rakyatnya. Tidak transparan sebetulnya tidak serta-merta dimaknai membuka identitas pasien secara terang benderang. Sebuah problem yang menimpa kasus pasien 01 dan 02, keduanya seniman, yang identitasnya sempat terbuka ke publik dulu. Namun, setidaknya asal daerah pasien secara lebih spesifik disampaikan. Bukan apa-apa: agar kita semua mengetahui dan meningkatkan kewaspadaan kalau-kalau penderita berasal dari lingkungan sekitar kita.

Dengan penduduk yang amat banyak, ditambah lalu lintas manusia dari negara lain, Indonesia membutuhkan tindakan yang cepat dan bersifat massal. Namun, apa daya, alat tes virus korona yang kita miliki masih terbatas. Pemerintah lewat Kementerian BUMN memang dilaporkan telah memesan 500 ribu alat rapid test korona dari Negeri Tirai Bambu, namun masih menunggu izin dari Kemenkes, katanya. Entah kapan izin keluar dan alatnya bisa didayagunakan secara efektif.

***

Ini sebetulnya fundamental demi menampung aspirasi-aspirasi publik yang meminta diadakannya tes secara massal. Terutama untuk kalangan menengah ke bawah yang lebih rentan karena entah alasan bingung bagaimana periksa atau memang kebiasaannya yang abai begitu saja. Dalam hal ini, tidak ada jalan lain: pemerintah harus turun tangan jemput bola. Tentu dengan menggandeng pihak-pihak terkait yang siap untuk berfilantropi. Dan, kemarin Presiden Jokowi mengumumkan akan melakukan tes Covid-19 secara massal. Meski amat terlambat, better late than never.

Di sini, di provinsi tempat saya tinggal, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga masih irit bicara terkait dengan wabah yang mulai menghembalang wilayahnya. Padahal, tiba-tiba saja ada satu pasien yang meninggal di Malang. Hal itu tentu menimbulkan keresahan di benak warga Jawa Timur, yang notabene termasuk terakhir yang kena dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa.

Baca Juga  Makna Religius: Tak Sekadar Percaya kepada Tuhan

Dilansir CNN, Khofifah hingga kini belum memuat peta persebaran pasien positif korona. Ia mengaku khawatir data keberadaan pasien positif korona menimbulkan kekhawatiran masyarakat. “Jadi, ada kekhawatiran dari kami. Saya tidak ingin ada pengasingan daerah. Saya tidak mau terjadi kekhawatiran. Jadi, saya minta masyarakat jangan panik,” kata Khofifah di Gedung Negara Grahadi, Rabu (18/3), sebagaimana dikutip CNN. “Mari kita jaga bersama secara psikologis. Jadi, saya minta tolong teman-teman untuk tetap bisa menjaga suasana agar tidak panik,” tambahnya.

“Kami sih tidak merahasiakan. Hanya, kami melakukan tracing secara tertutup sudah dilakukan. Hari ini dari data-data yang kemarin diumumkan pemerintah pusat, maka hari ini tim tracing bekerja,” kata dia.

Bagi saya secara pribadi, pengumuman peta persebaran virus korona di Jawa Timur sangat penting disampaikan kepada publik. Khususnya untuk warga Jawa Timur sendiri. Hal itu diperlukan untuk meningkatkan kewaspadaan –alih-alih kekhawatiran seperti klaim gubernur– warga Jawa Timur agar tidak sembrono, berhati-hati, waspada, dan kemudian beraktivitas secara proporsional.

Krisis Negarawan, Bejibun Politikus

Krisis negarawan? Ya, kita jadi sadar bahwa dalam situasi darurat seperti saat ini, Indonesia ternyata krisis negarawan. Negarawan adalah orang yang ahli dalam kenegaraan. Negarawan adalah orang yang mahir dalam mengurus negara. Dan, karena itu, negarawan adalah orang yang piawai dalam mengurus rakyatnya. Pernyataan yang tumpang-tindih antara pusat dan daerah, ungkapan unfaedah dari seorang menteri, hingga ucapan berbau pencitraan publik dari pemerintah pusat maupun daerah adalah bukti-bukti yang terdeteksi sejak mula.  

Nahasnya, di samping krisis negarawan, kita surplus politikus. Menurut Ahmad Syafii Maarif soal beda negarawan dan politikus: negarawan memikirkan bangsa, politikus memikirkan diri sendiri. “Indonesia ini sangat kekurangan negarawan yang memikirkan bangsa 1.000 tahun ke depan, namun jumlah politisi sangat banyak,” kata Buya bergelar Bapak Bangsa itu. Kebanyakan pejabat memang tampak seolah memikirkan bangsanya, seperti terlihat mengurus rakyatnya, tapi sebetulnya mereka mementingkan diri sendiri. Mementingkan diri sendiri dapat dilihat dari, salah satunya, pencitraan publik. Kata-kata yang disampaikan tidak lugas, bersayap, dan mengandung pencitraan.

Baca Juga  Penggunaan Kata Sulit Membuat Kita Terlihat Pintar atau Bodoh?

Mencitrakan daerahnya baik-baik saja, padahal kemudian terdampak juga, bahkan sampai ada yang kehilangan nyawa. Gaya komunikasi seperti ini, seperti mencitrakan dirinya dan wilayah yang dipimpinnya, baik-baik saja sebetulnya justru menghadirkan ketidakbaikan di sisi lain. Maka, sampaikanlah apa adanya. Jangan ditutup-tutupi. Waspada, tapi tidak takut. Berkomunikasi yang lugas, tegas, jernih, dan tidak bersayap. Cara kerja negarawan itu senyap, tapi hasilnya nyata. Cara kerja politikus itu nyaring, tapi hasilnya hampa.

***

Kalau memang suatu wilayah perlu di-lockdown (penguncian wilayah) akibat peta persebarannya tinggi, menurut hemat saya, dilakukan saja. Yang penting, pasokan bantuan dari pemerintah terdistribusi dengan baik. Kita bisa belajar dari Taiwan dan Hongkong yang berbuah lumayan manis berkat isolasi. Meski dekat dengan Tiongkok yang merupakan pusat munculnya virus, angka kejadian di dua negara itu terbilang rendah. Lockdown dan tes massal mungkin cara terbaik saat ini di tengah social distancing yang urung efektif. Pemerintah mesti turun tangan dan jemput bola. Terutama kepada warga kelas menengah ke bawah. Diperlukan solusi yang jelas, benderang, akurat, dan cepat.

Kalau masih begini-begini saja, cara pemerintah membereskan persoalan-persoalan hidup kita seperti digambarkan Remy Sylado dalam sajak satire “Teori Mengentaskan Kemiskinan”: Jadilah miskin di dunia tapi kaya di akhirat, ketimbang kaya di dunia dan miskin di akhirat.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds