Wabah Covid-19 memang merusak semua rencana baik kita, tak terkecuali bagi MSPP (Muhammadiyah Scholarship Preparation Program). Program tahunan yang diinisiasi oleh Majelis Dilktilitbang PP Muhammadiyah ini harusnya baru akan berakhir pertengahan April 2020.
Namun karena kedaruratan Covid-19 dan anjuran physical distancing, maka program karantina IELTS tiga bulan yang dilaksanakan di LPIDB UM Surakarta (UMS) dan Global English Pare ini terpaksa harus diakhiri sebulan lebih cepat.
MSPP dalam Pandemi Covid-19
Sejak kota Solo berstatus kejadian luar biasa (KLB) Senin 16 Maret 2020, diberlakukanlah local lockdown. Hal ini juga diadaptasi Rektor UMS dengan meliburkan aktivitas perkuliahan konvensional face to face diganti dengan kuliah daring. Tak terkecuali pelatihan IELTS bagi peserta MSPP.
Selanjutnya selang beberapa hari setelah adanya rilis BNPB mengenai kedaruratan Covid-19 yang diperpanjang hingga akhir Mei, disusul keputusan PP Muhammadiyah untuk menunda Muktamar hingga bulan Desember, praktis membuat program MSPP hanya bisa mengandalkan kelas daring. Hingga akhirnya Majelis Diktilitbang memutuskan untuk memulangkan seluruh 50 peserta MSPP dari berbagai daerah di Indonesia.
Program yang melibatkan kolaborasi pembiayaan dari Lazismu juga beberapa PTM besar seperti UMS, UMY dan UM Jember ini dikabarkan menelan total biaya hingga hampir 1 milyar rupiah. Program strategis ini sebenarnya memiliki tujuan mulia yakni membekali kader-kader muda persyarikatan untuk siap studi di Luar Negeri.
Berangkat dari semangat mempersiapkan kader Muhammadiyah yang siap menjadi pemimpin masa depan yang memiliki pergaulan global, kini sudah tercatat puluhan alumni dari dua angkatan sebelumnya yang sedang dan sudah melanjutkan studinya di berbagai benua baik untuk jenjang master maupun doktor. Sungguh sebuah noble investment bagi Muhammadiyah di masa mendatang. Termasuk strategi percepatan dan penyetaraan kualitas SDM persyarikatan di luar pulau Jawa.
Tahun Ujian
Selain kerugian materil dari sisi penyelenggaraan, dalam arti program yang tidak berjalan seperti yang direncanakan, outbreak (situasi luar biasa) Covid-19 juga merugikan para peserta. Dengan situasi ini, mereka kehilangan kesempatan belajar di bulan terakhir yang merupakan puncak pembelajaran sebuah training bahasa. Bulan terakhir harusnya berisi latihan soal yang intensif, kulminasi pemahaman, dan kemampuan menerapkan semua latihan harian yang telah dipelajari sebelumnya.
Alhasil, tidak ada lagi tutor yang membimbing dan memantau pengerjaan latihan soal secara langsung. Di bulan terakhir, peserta program yang berasal dari berbagai delegasi PTM dan Ortom ini idealnya tetap memanfaatkan pembelajaran mandiri dengan tugas yang dikerjakan dan dipantau secara daring.
Mereka tentu harus ingat bahwa status mereka tetap sebagai penerima beasiswa MSPP yang menemban amanah program hingga akhir. Kendati efektivitas pembelajaran daring memang tidak sebaik kelas luring, mereka tetap memiliki target untuk meraih skor IELTS yang mencukupi untuk dapat meraih beasiswa manca negara.
Dalam situasi lockdown seperti ini, segala rencana para pencari beasiswa memang tidak akan berjalan semulus tahun biasa. Berdasar penelusuran penulis, hingga saat ini lembaga penyelenggara resmi tes IELTS ataupun TOEFL seperti IALF dan British Council masih menutup sementara jadwal semua tes demi mencegah penyebaran wabah global ini hingga waktu yang belum bisa dipastikan.
Ini tentu akan berdampak pada kesiapan berkas para pelamar beasiswa tahun ini. Termasuk di saat yang bersamaan kita juga tidak tahu persis apakah tahapan seleksi beasiswa seperti AAS, Fullbright, Chevening, LPDP juga akan ditunda mengikuti perkembangan status wabah global ini.
Mungkin tahun ini memang masa ujian untuk kita semua. Covid-19 bukan hanya mengacaukan MSPP dan rencana studi para pencari beasiswa luar negeri, tapi juga telah membuat ujian nasional untuk siswa SD, SMP, SMA ditiadakan. Ibadah Ramadan dan lebaran juga menuntut dilaksakanan dalam senyap tanpa gempita. Bahkan wabah ini juga sangat mungkin membuat ibadah haji ditiadakan tahun ini.
Menjadi Digital Immigrant
Di sisi yang lain, setelah kurang lebih dua pekan menjalani physical distancing, nampaknya kita mendapat satu hikmah, yakni menjadi pembelajar digital. Bisa dipastikan seluruh pembelajar di dunia kini semakin akrab dengan tools e-learning. Kita para pembelajar di nusantara pun semakin lihai memanfaatkan kegunaan aplikasi semacam Zoom, Edmodo, Schoology termasuk Google Classroom.
Kendati dirasa tidak seefektif pembelajaran konvensional, dalam era digital, mungkin sudah saatnya para pembelajar membiasakan diri. Mengubah cara belajar mereka menjadi lebih adaptif dengan perangkat digital sekalipun sudah tidak berada pada situasi pendemi nasional bahkan global.
Meskipun belajar online itu berat, it’s not as easy as it sounds termasuk bagi penulis karena menuntut kedisiplinan dan kejujuran. Di waktu yang bersamaan, para pelamar beasiswa harus tetap menyiapkan diri dengan perangkat daring jika tahapan beasiswa dilanjutkan dengan mengandalkan perangkat e-test. Sebuah kutipan menyebutkan ‘you can’t control all that happens to you in this life, but you can control how you react to it’.
Jika kita bukan tergolong generasi digital native, mari menjadi digital immigrant yang siap menjadi pembelajar dalam situasi apapun.
Editor: Nabhan