Fikih

Hukum Menaikan Harga Masker Saat Wabah Corona

5 Mins read

Gembira betul saya membaca berita Tokopedia menghapus permanen ribuan akun penjual masker, sanitizer, dan barang-barang kesehatan lain dengan harga selangit di tengah pagebluk Corona ini. Sungguh itu perilaku durjana yang amat sangat jahat sekali. Jahatnya jahat, kejinya keji, durjanya durja, haramnya haram, dosanya dosa. Itu di satu sisi.

Di sisi lain, saya sedih membaca jumlahnya yang ribuan, yang menandakan bahwa di negeri tercinta ini ternyata ada ribuan orang sebangsa setanah air yang tak lagi berperilaku sepatutnya manusia.

Ya, di kemanakan gerangan khittah kemanusiaan Anda sehingga sebegitu tega menaikan harga masker dan sanitizer dengan angka yang tidak masuk akal?

Praktik menjual barang-barang yang sangat pokok tingkat kebutuhannya (bahkan darurat) begitu dengan harga mencekik secara Ushul Fiqh dapat digolongkan ke dalam rumpun hukum riba. Tanpa ragu sedikit pun, segala praktik riba jelas haram mutlak.

Begini analisis Ushul Fiqhnya.

Apa itu riba? Secara mendasar dan umum, riba ialah jual beli dengan adanya kelebihan (tafadhul) dan penundaan (nasi’ah)  di dalamnya.

Ayat tentang keharaman riba ini sangat jelas dan terkenal. Wa ahallallahul bai’a wa harramar riba, (Allah Swt telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba), Q.S. al-Baqarah [2]: 275.

Saya tambahkan dua hadis sahih di sini:

Dari Ubadah ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam; kecuali ukuran yang sama dengan yang sama, barang yang sama dengan barang yang sama. Siapa yang menambah atau meminta tambah, sungguh ia telah berbuat riba.” (HR. Muslim).

Dari Umar bin Khattab, ia berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, “Emas dengan emas adalah riba kecuali begini dengan begini (tunai), gandum dengan gandum adalah riba kecuali begini dengan begini (tunai), kurma dengan kurma adalah riba kecuali begini dengan begini (tunai), syi’ar dengan syi’ar adalah riba kecuali begini dengan begini.

Baca Juga  Banyak Mudaratnya, Inilah Beberapa Dampak Buruk Poligami

Syi’ar adalah sejenis gandum yang biasa difermentasi menjadi minuman.

Saya takkan mengulas lazimnya kajian riba yang mesti menyoroti pertanyaan apakah bunga bank termasuk riba atau bukan. Tidak. Di tulisan ini, saya hanya akan fokus pada praktik menjual barang-barang kesehatan yang sangat dibutuhkan masyarakat dengan harga selangit di masa krisis ini.

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, ada ungkapan esensial beliau yang sangat menarik sebagai tafsir terhadap maqashid syariat (moral-ethic) yang dikandung hadis-hadis  pengharaman riba.

Makna yang dapat dinalar dari pengharaman riba ialah jangan sampai manusia saling menipu antarsesama mereka dan menjaga harta mereka satu sama lainnya. Dan itu wajib dilakukan pada urusan mendasar kehidupan.

Ungkapan esensial Ibnu Rusyd tersebut jika dikorelasikan dengan lima asas (al-kulliyat al-khams) yang menjadi muatan pokok maqashid syariat­ akan sepenuh-penuhnya mengerucut pada penjaminan tegaknya kemaslahatan hidup manusia. Dan memang itu belakalah tujuan utama diundangkannya syariat Allah Swt kepada kita semua. Anda bisa cek surat Al-Haj 78 dan al-Hujurat 10.

Al-kulliyah al-khams besutan Imam Suyuthi tersebut adalah: pertamahifdz al-nafs (menjaga kehidupan); keduahifdz al-din (menjaga agama); ketigahifdz al-‘aql (menjaga akal); keempathifdz al-nasl (menjaga keturunan); dan kelimahifdz al-mal (menjaga harta).

Dengan berlandaskan ungkapan esensial Ibnu Rusyd di atas yang bertujuan untuk menjamin terpeliharanya al-kulliyat al-khams bagi semua orang, kita bisa menarik pemahaman-pemahaman prinsipil berikut:

Pertama, barang-barang pokok.

Hidup kita akan sangat kacau jika barang-barang pokok yang menentukan langsung hajat hidup orang banyak, seperti makanan dan minuman, tidak dijamin dari jangkauan semua orang. Dari keenam jenis barang yang disebutkan secara tekstual dalam hadis Rasul Saw di atas, empat di antaranya terkait langsung dengan barang-barang pokok penopang kelangsungan kehidupan manusia.

Ketika barang pokok, sebutlah beras di negeri ini atau masker dan sanitizer pada era pagebluk Corona kini, ditransaksikan secara tafadhul dan nasi’ah, dapat dipastikan bahwa kekacauan sosial akan merebak, pula ketimpangan kualitas hidup dan bahkan keterancamannya. Orang-orang yang lemah secara ekonomi akan sangat terusik hajat hidupnya. Praktik jualan berdampak madharat begini jelas dilarang keras oleh Islam.

Baca Juga  Ada Keringanan dalam Puasa, Kenapa Tidak Dimanfaatkan?

Kedua, barang yang menentukan nilai tukar sekaligus jadi patokan publik.

Emas dan perak sebagai dua barang lain yang disebut tekstual dalam hadis di atas memiliki pengaruh yang signifikan pada stabilitas “nilai tukar”. Pada masa dulu, keduanya menjadi patokan segala ukuran dan takaran.

Dikarenakan perannya yang sangat krusial, masuk akal sekali jika kedua barang tersebut mestilah diproteksi benar keterjaminan nilai stabilnya. Peniadaan tafadhul dan nasi’ah di sini beraras pada maksud terwujudnya tujuan besar tersebut.

Jika asas “nilai tukar” (emas dan perak dalam teks hadis di atas) bisa kita pahami membawa dampak langsung pada keberlangsungan kualitas hidup orang banyak, maka masker dan sanitizer pun logis untuk dimafhumkan sederajat dengan emas dan perak pula dalam kondisi krisis ini.

Ketiga, barang yang bisa disimpan.

Prinsip ini, dikaitkan dengan jenis-jenis barang yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, memaksudkan perlindungan terhadap barang-barang pokok dari praktik penguasaan tunggal, monopoli, atau penimbunan yang pastilah akan berujung pada praktik-praktik zalim terhadap kebutuhan hidup masyarakat luas.

Kita tak bisa membayangkan dampak madharatnya umpama ada seseorang atau perusahaan yang menguasai barang-barang pokok bagi hajat hidup orang banyak dengan cara memonopoli dan menimbunnya, kemudian menjadikan sulit atau berat bagi masyarakat luas untuk memilikinya, sehingga dengan amat terpaksa mesti mau menebusnya dengan tafadhul yang mencekik. Unsur madharat dari harga selangit itulah yang menjadi mafhum mukhalafah pengharamannya.

Ketiga sifat dan syarat tersebut, yang menjadi dasar hukum asal (tekstual ayat dan hadis) atau ‘illat al-hukmi bagi pengharaman riba (al-adillah al-syar’iyah), jelas terpenuhi dengan benderang dalam praktik menguasai, menimbun, dan menjual masker dengan harga mencekik itu. Itu disebut mafhum mukhalafah dalam ilmu Ushul Fiqh.

Abdul Wahab Khalaf dalam ‘Ilmu Ushul al-Fiqh menerangkan bahwa mafhum mukhalafah merupakan metode penarikan suatu pemahaman dan penyimpulan hukum atas suatu hal/barang yang tidak diterangkan secara tekstual dalam dalil-dalil syariat (al-adillah al-syariah) tetapi mengandung sifat dan syarat yang sejajar dengan hal/barang yang disebut secara tekstual dalam dalil-dalil syariat.

Baca Juga  28 Mei 2022, Saatnya Mengoreksi Arah Kiblat

Penerapan mafhum mukhalafah pada (harga) masker bisa dijabarkan sejenis ini: memang tidak ada dalil syariat yang menyebut tekstual barang bernama masker dan sanitizer, tetapi dengan adanya kondisi sifat dan syarat yang kini menyebabkan masker dan sanitizer sejajar dengan kondisi sifat dan syarat dilindunginya enam barang yang disebut dalil syariat (hadis di atas), maka hukumnya pun serentak menjadi setara. Pergeseran konteks dari enam barang asal menjadi masker dan sanitizer kini, inilah yang disebut ‘illat al-hukmi (konteks hukum).

Tentu, barang bernama masker dan sanitizer itu kelak bisa bergeser lagi kondisi sifat dan syaratnya, sehingga status hukumnya pun bergeser, sesuai dengan ‘illat yang ada. Demikian pula dengan barang/hal lainnya yang mungkin saja kelak menempati sifat dan syarat setamsil.

Maka kesimpulan finalnya ialah siapa pun yang melakukan praktik tafadhul kepada harga masker dan sinitizer, hukumnya setara dengan hukum keharaman riba. Wujud nyata dari tafadhul ialah menguasainya, menimbunnya, dan menjualnya dengan harga mencekik yang pasti menimbulkan madharat menyusahkan, memberatkan, dan bahkan mengancam kelangsung hidup liyan.

Anda boleh tak sepakat dengan penyimpulan kajian metodis ini. Tetapi, berpagi-pagi betul mesti saya wedarkan di titik ini, inilah medan kajian Ushul Fiqh yang berpijak pada metode ilmiah istinbath hukum yang digunakan para ulama sejak dulu kala, lalu diwariskan ke generasi kita dan terus ke generasi berikutnya.

Atas dasar kajian berbasis metode ilmiah beginilah khazanah fikih kita bisa terus berdenyar hidup, maju, dinamis, dan progresif sesuai dengan dinamika zaman dan keadaan serta tempat setiap kita. Inilah kiranya di antara jalan rahmat Allah Swt yang dikaruniakan kepada kita, yang dengannya kita bisa menghirup pesona harmoni hidup bersama dalam samudra rahmatan lil ‘alaminWallahu a’lam bish shawab.

Selengkapnya di sini

Avatar
1 posts

About author
Esais dan cerpenis ini Wakil Ketua LTN PWNU DIY. Owner DIVA Press Group dan Kafe Basabasi. @edi_akhiles
Articles
Related posts
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…
Fikih

Apa Hukumnya Membaca Basmalah Saat Melakukan Maksiat?

2 Mins read
Bagi umat muslim membaca basmalah merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan segala aktivitas. Mulai dari hal kecil hingga hal besar sangat…
Fikih

Bagaimana Hukum Mengqadha' Salat Wajib?

4 Mins read
Dalam menjalani hidup tak lepas dari lika liku kehidupan. Ekonomi surut, lapangan pekerjaan yang sulit, dan beberapa hal lainnya yang menyebabkan seseorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *