Fikih

Ketika Hukum Haram Menjadi Halal dalam Islam

3 Mins read

Halal Haram – Dalam Islam terdapat rangkaian hukum yang menetapkan boleh atau tidaknya suatu perkara dilakukan atau dikonsumsi. Allah Swt menetapkan haramnya suatu perkara tidak lain karena perkara tersebut terdapat unsur yang memudaratkan untuk diri manusia. Begitu juga diperbolehkannya terhadap suatu perkara tidak lain karena terdapat unsur kebaikan bagi diri manusia.

Pada surat QS. Al-Baqarah: 168, Allah Swt memerintahkan umat manusia guna mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal lagi baik. Hal tersebut tentunya karena Allah Swt amat sangat cinta dan peduli terhadap keselamatan diri umat manusia.

Berikut bunyi terjemahan ayat 168 dari QS. Al-Baqarah:

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (QS. Al-Baqarah: 168).

Rasulullah Saw dalam sebuah hadis yang terdapat dalam kitab Al-Muwatha-nya Imam Maliki dan diriwayatkan dari Abi Sa’id Sa’d bin Malik bin Sinan Al-Khudri, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

لَا ضَرَرَ ولَا ضِرَارَ

Tidak memudaratkan dan tidak dimudaratkan

Berdasarkan hadis tersebut, Rasulullah menekankan kepada umatnya supaya jangan sampai berbuat mudarat atau kerusakan kepada diri orang lain. Begitu juga terhadap diri sendiri, juga jangan sampai memberikan kerusakan dan kemudaratan yang dapat memperburuk kesehatan dan terlebih lagi bila menjurus kepada kematian.

Suatu perkara yang sebelumnya dihukumi haram, dapat berubah seketika menjadi halal apabila dihadapkan dalam kondisi tertentu yang apabila tidak dilakukan maka akan berdampak pada kemudaratan diri atau orang lain.

Begitulah aturan hukum dalam Islam yang sangat mengedepankan aspek keselamatan dan menghindarkan terjadinya kerusakan.

Dalam kitab Al-ḻḍāḥ, yang berbicara tentang qawāidu al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih) dalam salah satu kaidahnya menyatakan:

Baca Juga  Heboh Haram Wisata ke Borobudur, Muhammadiyah: Wisata Itu Mubah

الضَّرَرُ يُزَالُ

“Kemudaratan itu dapat dihilangkan”

Berdasarkan kaidah fikih tersebut dapat dipahami bahwa setiap kemudaratan yang apabila hendak terjadi pada diri seseorang, maka kemudaratan tersebut dapat dihilangkan.

Untuk menghindarkan diri atau orang lain dari suatu mudarat menjadikan diri seseorang dihukumi boleh untuk melakukan atau mengkonsumsi sesuatu yang sebelumnya dihukumi haram.

Pada salah satu kaidah cabang dari kaidah “kemudaratan itu dapat dihilangkan”, menjelaskan bahwa seorang manusia apabila dalam keadaan darurat maka akan menjadikan dia diperbolehkan untuk mengkonsumsi sesuatu yang sebelumnya diharamkan.

Kaidah fikih tersebut berbunyi:

الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ المَحظُورَاتِ

“Adapun sesuatu karena kedaruratannya menyebabkan bolehnya melakukan sesuatu yang dilarang”

Batasan perkara darurat yang dimaksud dalam kaidah fikih tersebut ialah suatu keadaan yang apabila tidak dikerjakan, maka akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada diri seseorang.

Kerusakan tersebut, baik berupa tambah memburuknya kesehatan seseorang maupun bisa berakibat terhadap hilangnya nyawa.

Suatu yang sebelumnya diharamkan untuk dikonsumsi, baik yang ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun hadis, berubah seketika menjadi boleh atau halal dalam keadaan darurat tersebut.

Tidak terkecuali mengkonsumsi daging babi, anjing, bangkai, narkoba, dan khamar dengan berbagai macam jenisnya.

Namun, satu hal yang perlu dipahami bahwa meskipun diperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang haram tersebut dalam keadaan darurat, tidak lantas membolehkan kita untuk mengkonsumsinya sampai kenyang.

Ada batasan yang telah ditetapkan oleh para ulama fikih, sebagaimana sebuah kaidah fikih  yang terdapat dalam kitab farāidu al-bahiyyah dengan bunyi:

ما يَجُوزُ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

“Segala sesuatu yang diperbolehkan karena unsur kedaruratan, maka memiliki kadar ketetapannya”

Kadar ketetapan yang dimaksud dalam kaidah tersebut ialah sampai hilangnya kedaruratan. Apabila seseorang dalam keadaan yang sangat lapar dan tidak mendapati makanan apapun terkecuali daging babi.

Baca Juga  Ada apa dengan Dzulhijjah?

Maka jika dia tidak segera mengkonsumsinya akan menyebabkan pada kerusakan pada diri maupun menyebabkan kematian.

Sehingga keadaan yang seperti itulah yang menjadikan seseorang boleh untuk mengkonsumsinya dengan syarat menghilangkan rasa lapar pada diri dan tidak boleh sampai merasa kenyang.

Begitu juga dengan mengkonsumsi khamar. Apabila seseorang dalam keadaan sangat haus dan tidak mendapati minuman lain selain khamar dan bila tidak segera mengkonsumsinya maka akan menyebabkan kemudaratan pada dirinya.

Sehingga, bolehlah bagi dirinya untuk meminumnya sampai hilang rasa haus pada dirinya.

Selain dengan syarat tidak boleh sampai kenyang. Ulama fikih juga memberikan batasan supaya jangan sampai menghilangkan kemudaratan dengan menimpakan mudarat bagi orang lain, baik itu dengan mencuri, melukai, atau membunuh orang lain.

Begitulah Allah Swt menetapkan hukum kepada umatnya dengan tanpa membebani, melainkan memberikan kemudahan. Sebab sejatinya agama Islam itu mudah dan tidak sulit untuk diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagaimanapun tantangan yang dihadapi oleh seorang hamba dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, maka pasti Allah memberikan jalan keluarnya.

Editor: Yahya FR

Ahmad Masyhur
5 posts

About author
Lahir di Lombok Tengah, NTB. Minat kajian Sastra Puisi, seputar Timur Tengah, dan Kajian Keislaman. Beberapa tulisannya telah terbit dalam bentuk buku, artikel jurnal, dan di beberapa media. Sekarang sedang aktif mengajar di MAN 1 Yogyakarta.
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *